Birawa membuka matanya yang terpejam, dia merasakan seluruh badannya sakit dan ngilu. Matanya yang mengerjap kesilauan karena cahaya yang berasal dari batu tempatnya berada. Birawa yang memandang berkeliling menyadari dia berada di sebuah ruangan yang tertutup kabut aneh.
"Apa aku sudah mati," gumam Birawa bingung.
Birawa memandang berkeliling ternyata badannya terbaring di atas batu putih bercahaya dan mengeluarkan aroma seperti bau stanggi.
Birawa mencoba bangkit sambil memperhatikan sekeliling ruangan berkabut tempatnya berada.
Ketika berhasil duduk Birawa merasakan pertengahan dadanya terasa sangat sakit menekan-nekan membuat keringat sebesar biji jagung keluar dari kening Birawa.
"Apa yang terjadi dengan diriku, di mana aku berada sekarang?" gumam Birawa bingung.
Walaupun pertengahan dadanya terasa sakit berdenyut, namun Birawa tetap memaksakan dirinya untuk beranjak dari batu putih tempatnya terbaring.
Baru saja kaki Birawa akan menyentuh tanah sebuah teguran membuat dirinya menarik kembali kaki yang sudah terjulur ke lantai ruangan itu.
"Sebaiknya kamu tetap berada di atas batu putih itu, sebab jika kamu meninggalkan batu itu, akan sangat bahaya buat tubuhmu, racun yang mendekam di dalam dadamu akan bekerja memutus semua urat di tubuhmu!" Sebuah teguran suara berat mengagetkan Birawa.
Birawa yang kaget mendengar teguran itu spontan menolehkan kepalanya ke arah suara yang menegur. Tidak jauh darinya, duduk dalam posisi bersila satu sosok tubuh lelaki kurus dengan rambut riap-riapan di atas sebuah batu pipih yang berwarna hitam.
"Siapa kakek, apa aku ada di akhirat?" tanya Birawa sembari menutupi rasa kaget yang dirasakan.
"Pangeran Birawa kamu masih hidup dan sekarang ada di kediamanku, mungkin namaku sudah tidak banyak di ingat orang sebab aku sudah puluhan tahun tidak muncul, dahulu aku di kenal dengan nama Tapak Malaikat," jawab orang tua bernama Tapak Malaikat sambil mengelus janggut putihnya yang jarang-jarang.
Birawa mengernyitkan keningnya sambil mengingat-ingat tentang nama orang tua yang duduk tidak jauh darinya itu. Sedetik kemudian Birawa langsung menjatuhkan badannya berlutut menghadap Tapak Malaikat yang duduk dengan mata terpejam.
"Maafkan aku yang tak tahu tingginya Gunung Banape yang ada di hadapanku kek, terimalah salam hormatku," Birawa berkata dengan posisi berlutut sambil membungkukkan badannya.
Birawa ingat kalau almarhum gurunya dahulu sering bercerita mengenai tokoh legendaris yang ditakuti di mana-mana karena ketinggian ilmunya, dan sekarang orang yang dulu sering Birawa dengar ceritanya duduk tepat di hadapannya.
"Sudahlah aku sudah tidak berada di rimba persilatan lagi, jadi tak perlu segala peradatan itu," jawab Tapak Malaikat dengan santai sambil tersenyum.
"Kek terima kasih juga karena menyelamatkanku, aku yakin kemarin kakek yang membawaku kesini, oh ya di mana kita sekarang kek?" tanya Birawa yang masih dalam posisi berlutut.
"Kamu beruntung karena aku tidak sengaja lewat pada waktu yang tepat, sebab terlambat sedikit saja aku membawa kamu kesini, dapat di pastikan nyawamu akan melayang," jelas Tapak Malaikat sambil berdiri dari tempatnya berada.
"Apakah kakek tahu bagaimana keadaan Ayahanda Raja dan Keluarga yang lain?" tanya Birawa lagi.
Si kakek mendengar pertanyaan Birawa berhenti sebentar kepalanya mendongak ke atas, baru kemudian lanjut mengambil gelas bambu yang ada di atas sebuah rak kayu.
"Raja dan Keluarga yang lain baik-baik saja, sebaiknya kamu jangan memikirkan mereka dahulu, aku yakin mereka sekarang berada di tempat yang aman, yang perlu kamu perhatikan sekarang adalah keadaan kamu, di dalam diri kamu terpendam sebuah racun yang bernama Penghancur Jiwa, racun itu merupakan racun kelas satu yang berasal dari alam siluman jadi sangat susah untuk menyembuhkannya, kamu perlu melakukan semedi selama satu purnama di atas batu yang kamu duduki itu untuk membuang racun di tubuhmu, di tambah minum ramuan yang sudah aku buat, setelah itu jika racun itu sudah hilang dari tubuhmu aku akan menurunkan berapa kesaktian kepadamu terlebih jurus yang membuat aku di kenal yakni Tapak Malaikat, sebab kesaktian yang kamu punya sangat mustahil bisa bertahan di rimba persilatan sekarang ini, tapi setelah itu kamu harus membantuku melaksanakan satu tugas," jawab Tapak Malaikat sambil menyodorkan gelas yang dia pegang.
"Apa ini kek?" tanya Birawa sambil menerima gelas yang di sodorkan Si Kakek.
"Itu cairan yang mampu memusnahkan racun yang ada di dalam dirimu, setelah meminum itu sampai habis kamu harus mulai melakukan semadi selama satu purnama," jelas Si Kakek kepada Birawa.
"Oh ya kek dari tadi kakek belum menjawab pertanyaanku, kita sekarang ada di mana?" tanya Birawa dengan rasa penasaran.
"Kamu sekarang berada di tempat yang aman di Timur Kerajaan yakni kediamanku yang bernama Goa Srigala, aku sengaja membawa kamu ke sini sebab hanya batu cahaya jiwa yang kamu duduki itu yang bisa menghentikan racun di dalam tubuh kamu," jawab Si Kakek dengan santai.
Mendengar jawaban si kakek, Birawa tidak berkata lagi, sebab Birawa tahu Goa Srigala merupakan sebuah tempat yang tidak pernah didatangi orang karena terkenal angker, tidak dinyana sekarang Birawa sendiri berada di dalam goa yang selama ini selalu Birawa hindari untuk mendatanginya.
Dengan cepat tanpa ragu Birawa menenggak cairan yang ada di dalam gelas bambu yang dia pegang, perlahan rasa pahit masuk kekerongkongan Birawa, tapi begitu masuk rongga dada rasa pahit itu langsung berubah menjadi hawa panas.
"Sebaiknya kamu mulai melakukan semadi untuk menghancurkan racun yang mendekam di tubuhmu, selama kamu semadi dalam satu pernama ini aku akan meninggalkan kamu, sebab ada pekerjaan yang akan aku lakukan," terdengar suara Tapak Malaikat berkata kepada Birawa.
"Baik Kek, aku akan mulai semadi dan sebelumnya terima kasih atas pertolongan kakek," jawab Birawa dengan mantap.
Kakek Tapak Malaikat tidak menjawab apa yang di katakan oleh Birawa dia hanya memandang Birawa yang sudah mulai masuk ke alam semedinya.
Birawa menutup semua inderanya menyatukan diri dengan alam dan sibuk berada di alam batiniah semedinya.
Tapak Malaikat melihat Birawa sudah masuk ke alam semedi langsung beranjak meninggalkan tempat itu, badannya menghilang di mulut Goa Srigala.
******
Satu purnama lengkap Birawa melakukan semadi, ketika pagi datang tepat hari terakhir melakukan semedi, Birawa membuka matanya, di mulut goa Birawa melihat sinar matahari yang menembus kabut tebal aneh yang selalu ada di Goa Srigala.
Birawa memandang berkeliling Goa Srigala, namun tidak melihat keberadaan Kakek Tapak Malaikat. Sementara itu perut Birawa mulai merasakan lapar dan memanggil untuk diisi, sebab selama satu purnama perut itu tidak pernah diisi apapun kecuali angin.
Birawa berusaha menahan rasa lapar untuk menunggu Kakek Tapak Malaikat datang namun semakin di tahan rasa lapar tidak bisa diajak kompromi sama sekali, akhirnya Birawa segera berdiri dari batu putih tempatnya melakukan semadi, sebelum melangkah perlahan Birawa menarik nafas dalam-dalam sambil merasakan dadanya yang terkena racun, terasa ringan sekarang bagian dada itu, Birawa tidak merasakan kesakitan seperti satu purnama sebelumnya.
Selain rasa sakit sudah hilang Birawa juga merasa badannya terasa lebih ringan, setiap kali Birawa berjalan tidak ada suara yang di timbulkan menandakan kalau tenaga dalamnya sudah jauh meningkat, mungkin efek dari semadi selama satu purnama.
Ketika turun dari batu putih Birawa mengedarkan pandangan matanya berkeliling, kemudian dengan langkah mantap Birawa keluar dari dalam goa, Birawa melihat di depan goa terdapat deretan pohon pisang yang tumbuh subur.
"Sambil menunggu kakek Tapak Malaikat ada baiknya aku mengambil pisang di sana untuk mengisi perutku," gumam Birawa sambil terus melangkah menuju deretan pohon pisang.
Sekitar lima belas menit kemudian Birawa sudah duduk bersila pada batu besar di samping mulut goa, Birawa terus terus mengunyah pisang matang yang baru saja dia ambil, tanpa menyadari sepasang mata dari tadi mengintai keberadaannya.
"Aku harus pergi dari sini dan menemui Ayahanda, kalau memungkinkan aku harus merebut kembali Kerajaan yang di rampas secara paksa oleh Adipati Arya," Birawa bergumam pada dirinya sendiri badannya bergetar menahan emosi.
"Namun kemana Kakek Tapak Malaikat kenapa aku tidak melihatnya, aku harus meminta petunjuk pada beliau dahulu sebelum pergi," gumam Birawa lagi.
Birawa bangkit berdiri dari tempat duduk untuk menyusuri halaman depan goa mencari keberadaan Kakek Tapak Malaikat, baru berapa langkah Birawa berjalan, dari arah belakangnya Birawa merasakan sambaran angin deras.
Dengan cepat Birawa membuang dirinya kesamping menghindari serangan angin yang membokongnya.
"Kadal kurap, kau akan mampus hari ini!"
Brakkkk...!
######
Birawa berlari kecil memasuki sebuah hutan yang terkenal angker yang bernama Hutan AdriKetika memasuki hutan ini dia sudah merasakan ada beberapa pasang mata yang mengikutinya.Berapa kali dia mencari orang yang mengintainya, tapi dia tidak dapat mengetahui keberadaan orang yang mengintainya.Kalau tadi Birawa berlari kecil, sekarang dia berjalan santai dengan sengaja untuk memancing orang yang mengintainya itu keluar."Berhenti!" bentakan menggelegar memenuhi Hutan Adri mengagetkan Birawa.Setelah mengatasi kekagetannya Birawa menatap ke depan yang mana terdapat bukit kecil di sana.Di hadapannya berdiri berkacak pinggang seorang lelaki tinggi besar dengan tangan dan leher di penuhi dengan akar bahar sebagai hiasan.Birawa menatap tajam orang di hadapannya, belum sempat dia memberikan pertanyaan sebut suitan keras keluar dari mulut orang itu.
Krakkk!ByurrrTerdengar bagian tubuh lawan patah ketika tendangan kaki Birawa mengenai bagian selangkangan leleki itu, suara tulang patah itu juga di ikuti dengan jatuhnya tubuh ke dalam laut.Tubuh lawan yang hilang keseimbangan begitu terkena tendangan keras dari Birawa langsung terbanting dan melayang ke arah laut, tubuh itu kemudian tenggelang di dalam air laut dan hilang begitu saja.Beberapa anak buah bajak laut yang tersisa ketika melihat pimpinan mereka dikalahkan dengan cepat membuang senjatanya masing-masing sebelum kemudian mereka berdua berlutut tanda menyerah.Birawa melihat apa yang dilakukan oleh sisa bajak laut itu dengan langkah tenang mendatangi mereka, sewaktu birawa mendatangi mereka, muka para bajak laut menjadi pucat."Tuan, ampuni nyawa kami, kami menyerah," ucap salah satu ornag dari mereka dengan suara memelas."Kali ini aku mengampuni kalian semua, sekarang juga kalian angkat kaki dari sini. Namun ingat sete
Semua orang yang ada di atas kapal berseru ngeri mendengar suara leguhan seperti itu, hampir semua orang menyangka kalau Birawa sudah terkapar di geladak kapal dengan nyawa yang minggat dari badannya.Namun perkiraan semua orang menjadi kecele, karena Birawa walau termundur berapa langkah nampaknya tidak mengalami luka sama sekali.Sebalik Suryo Menggolo juga termudur berapa langkah, kening lelaki itu nampak mengernyit menahan ngilu pada tangannya.Pada saat serangan dahsyat dilayangkan oleh Suryo Menggolo, Birawa yang menyadari kalau serangan lelaki itu tak main-main dengan cepat langsung memainkan Jurus Langkah Malaikat.Dengan mengandalkan kecepatan jurus itu, Birawa memitingkan badannya sedikit kesamping, tangannya dengan cepat menyusup untuk memukul sambungan siku lawan.Benturan dua kekuatan membuat keduanya sama-sama termundur ke belakang sejauh dua tindak."Haram Jadah!" umpat Suro Menggolo sambil menggerakkan tangannya yang te
Birawa yang merasa tidak punya pilihan lain, selain membantu mempertahankan kapal yang dia tumpangi.Dengan gerakan ringan segera melesatkan badannya, untuk menyongsong anak buah dari bajak laut.Sekali melompat Birawa melewati berapa orang anak buah Juragan Jatmika, pedang di tangannya benar-benar menjadi pedang maut.Kemana pedang dia ayunkan selalu memakan tumbal dari bajak laut, melihat Birawa sudah lebih dahulu mengamuk, hal ini menambah semangat dari anak buah Juragan Jatmika."Serang...!" teriak menggelegar dari orang yang tadi memberikan pedang pada Birawa, mengobarkan semangat anak buahnya.Orang itu tiada henti berdecak kagum pada Birawa, walaupun awalnya semangatnya sempat kendor. Namun melihat apa yang Birawa tunjukkan membuatnya menjadi punya harapan lagi.Bukan tanpa alasan anak buah Juragan Jatmika turun semangatnya melihat Bajak Laut Suryo Menggolo, karena reputasi para bajak laut itu tidak diragukan, sudah banyak selama ini
Matahari baru saja menampakkan sinarnya dari peraduan, di tengah cahaya mentari pagi itu terlihat satu sosok berlari cepat menuju ke tempat kapal-kapal yang biasa berlabuh di Selat Sunda.Sosok itu tak lain merupakan Birawa, setelah berpamitan dengan Ayahnya dan rakyat kerajaan, dengan cepat Birawa langsung melanjutkan perjalananya menuju Selat Sunda, untuk mencari tumpangan penyebrangan menuju Jawadwipa."Paman, apakah ada kapal yang bisa di tumpangi untuk menyeberang?" tanya Birawa kepada seorang di sampingnya, ketika dia sedang duduk disalah satu warung makan, menunggu kapal yang akan menyeberang."Ada Kisanak, tapi mungkin agak siang, hari ini biasanya Juragan Jatmika akan membawa barang dagangannya ke negeri seberang," jawab lelaki pemilik warung yang berumur sekitar empat puluh tahun itu dengan ramah."Apakah Paman, bisa mencarikanku tumpangan?" tanya Birawa sambil meletakkan berapa keping koin di hadapan lelaki itu."Sepertinya kamu bukan be
agi hati ketika matahari menyinari mayapada rakyat berbondong-bondong mendatangi istanah, mereka bergerombol menyambut kedatangan Raja Ambimayu yang merupakan raja yang mereka cintai namun harus menyingkir karena penghianatan Arya.Rakyat bersorak-sorai menyambut raja yang sudah hampir sepuh tersebut bersama keluarganya yang setelag sekian lama meninggalkan istanah akhirnya kembali.Matahari baru telah terbit di atas Istanah Kerajaan Bandar Agung, harapan rakyat terpancar melalui sinarnya yang terang."Selamat datang kembali di istanah, Yang Mulia." Suprana bersama Jayanegara menunduk takzim menunggu Raja Abimanyu di tangga istanah."Terima kasih, kita tidak bisa terlalu lama berdiam diri sebab rakyat di luar menunggu dengan harapan besar pada kita, kita harus mulai melakukan pembenahan," jawab Raja Abimanyi kepada dua orang abdi setianya.Mereka mengikuti langkah Eaja Abimanyu memasuki istanah yang selama ini telah dia tinggalkan.Sementara