Roman keluar dari ruangan karyawan.
“Nah, ini Orangnya yang memijat saya tadi. Dia berlagak tidak sopan langsung meninggalkan saya, padahal masih ada sisa waktu untuk memuaskan saya!” ujar Silvia menunjuk Roman.Roman terkesiap mendengar penuturan Silvia. Padahal, ia sudah bekerja sesuai prosedur di panti pijat itu. “Dia berbohong Pak, saya sudah bekerja seperti biasanya dalam melayani Tamu.”“Bohong kamu!” Silvia bersikukuh.Pria yang bertanggung jawab di panti pijat itu pun turut menyalahkan Roman, meski sekalipun Roman bekerja sesuai prosedur karena pada dasarnya tamu adalah raja yang wajib di manjakannya.“Cukup Roman, kamu bersalah. Seharusnya kamu tidak mengurangi waktu pada Nyonya Silvia.”Roman mengusap wajahnya kesal. Padahal, ia sama sekali tidak bersalah. “Saya benar-benar tidak habis pikir sama Bapak, kenapa saya yang salah? Sudah jelas—.”“Cukup Roman!” Pria paru baya itu membentaknya--membuat Roman terdiam dalam sekejap, lalu balik menatap Silvia.“Lantas, apa yang harus kami lakukan? Roman sudah mengaku bersalah Nyonya.”Silvia tersenyum penuh kemenangan, pasalnya ucapan seperti inilah yang dia harapkan.“Saya meminta Pria ini khusus memijat saya, jangan kau kasih Tamu selain saya, apa kau sanggup mengabulkan permintaanku?”Otak licik pria itu langsung berjalan, dan berusaha memanfaatkan keadaan ini. “Baiklah, tapi ada harga yang pantas harus Anda bayar Nyonya.”“Kau tidak perlu khawatir, berapa pun akan saya bayar,” ucap Silvia angkuh sambil mengambil selembar kertas lalu memberikannya pada pria paruh baya itu.“Tuliskan berapa nominal yang kau perlu!” Silvia meletakkan kertas itu tepat di depan pria yang jadi penanggung jawab di panti pijat itu.Roman berusaha mengiba pada pria yang saat ini menjadi penanggung jawab atas terapis di tempat itu. Tapi, sama sekali tidak direspon.“Besok malam aku akan kembali, dan saya harap Pria muda ini sudah bisa tersenyum padaku!” Silvia menatap remeh terhadap Roman. Kemudian, meninggalkan panti pijat.Setelah kepergian Silvia, Roman berusaha memohon agar tugasnya diganti dengan orang lain. Pasalnya, Roman tidak ingin berhadapan kembali dengan Silvia.“Jika bisa saya tidak mau memijat Perempuan itu Pak.”Pria itu menatap sinis pada Roman. “Berani sekali kau memohon padaku? Tugas kau memijat dan memuaskan pelanggan. Paham kau!”Ia pun meninggalkan Roman yang masih mematung.Hari pun telah berganti, dan Roman kembali bekerja seperti biasanya. Namun, ada yang berbeda dengan malam ini. Biasanya, ia sudah mendapatkan beberapa pelanggan. Tapi, kali ini dia belum mendapatkan satu orang pun pelanggan. Lantaran, Silvia telah memesannya terlebih dahulu.Saat Roman berada di dalam ruangan karyawan, tiba-tiba saja notifikasi pesan grup W******p masuk. Ternyata petugas kasir memberitahu Roman, jika Silvia—pelanggannya telah sampai.“Roman, tamu kamu sudah sampai. Dia menunggu di ruangan privasi, ingat Roman kamu harus memuaskannya. Jangan lupa bersikap ramah juga padanya berikan pelayanan terbaik pada Tante Silvia,” pesan dari seorang kasir melalui grup W******p terapis di panti pijat itu.Roman lantas bergegas menuju ruangan privasi, di sana Silvia telah menunggunya. Saat suara pintu terbuka Silvia langsung memalingkan wajahnya, dan tersenyum menyambut Roman.“Akhirnya kau datang padaku Pria muda, mendekatlah,” pintanya seraya melambaikan tangan.Roman mengepalkan kedua tangannya. “Apa Wanita seperti Anda tidak pernah merasakan cinta? Apa Anda akan puas dengan menyewa jasa Pria seperti saya? Atau Anda tidak laku lagi?”Entah dari mana keberanian itu terkumpul, Roman mengatakan kalimat pernyataan yang menyinggung Silvia.“CIH!” desis Silvia tersinggung dengan ucapan Roman.“Untuk apa kau bertanya seperti ini? Lagi pula Pria pemuas sepertimu tidak pantas bicara soal cinta. Karena Pria sepertimu hanya uang, dan uang yang dipikirkan benar, kan?” tukas Silvia sinis.Tentu saja ucapan Silvia itu membuat Roman tersinggung, karena pada dasarnya ia sama sekali bukan pria yang haus akan uang.“Anda pikir saya Pria seperti itu?!”“Ya, tentu saja. Kau Pria murahan bukan?”“Cukup!” Roman mengeratkan rahangnya menatap dengan kesal pada Silvia.Silvia lantas marah pada Roman. Pasalnya, Roman begitu sinis padanya.“Berani sekali kau menatapku seperti itu? Cepat, lebih baik kau lakukan pekerjaanmu. Cuci kakiku!” perintahnya sambil terduduk di kursi.Meskipun begitu Roman tetap melakukan pekerjaannya seperti biasa.“Lakukan pijatan di bagian itu,” Silvia menunjuk pergelangan kakinya.Tanpa sepatah kata pun Roman melakukannya. Hingga Silvia tertidur di kursi itu, merasakan sensasi pijatan dari Roman sang terafis andal di panti pijat tersebut.Setelah itu Roman mencuci kaki Silvia, dan melakukan pemanasan pijat di kaki tamu agungnya tersebut. Lalu pindah memijat bagian tangan.Pada saat Roman melakukan pijatan di tangan, entah kenapa tiba-tiba Silvia membuka matanya.“Emmm,” Silvia mendesah, dan tersenyum menggoda Roman yang sedang memijat tangannya. “Apa kau tidak berniat menjadi kekasihku? Jika kau bersedia, aku akan memberikan fasilitas yang tidak pernah kau dapatkan di mana pun,” ucapnya menggoda.Namun, Roman hanya diam. Dia tetap fokus pada pijatannya. Membuat Silvia kesal, karena Roman bersikap acuh padanya.“Pria sombong, tatap mataku!” Silvia meraih wajah Roman dengan tangannya. Membuat wajah Roman mendekati wajahnya. “Kau harus menjadi simpananku, ‘paham?!”“Saya hanya seorang tukang pijat, apa Anda tidak malu Nyonya?” Roman berusaha menolak.Lagi-lagi Silvia kesal karena dipanggil nyonya. “Kemarin kau panggil saya Ibu, sekarang kau panggil saya Nyonya. Apa tidak ada panggilan yang pas untuk saya?!”“Apa harus saya panggil Anda Tante?”Dalam sekejap Silvia tercengang, “Tante?”“Ya, sepertinya sangat pas jika panggilan itu untukmu Tante,” ucap Roman.Silvia berusaha terima, dengan panggilan itu. Meskipun hatinya tidak suka di panggil Tante oleh Roman—pria yang di inginkannya.“Bolehlah kau panggil saya Tante, tapi dengan satu syarat kau harus mau menjadi pacarku, atau simpananku. Deal?” Silvia mengulurkan jemari tangannya tepat di depan wajah Roman.Kali ini Roman mencoba melunak pada Silvia, pasalnya dia sudah lelah menjadi bulan-bulanan Tante yang haus belaian itu. Lagi pula ini akan sangat menguntungkan baginya.“Bagaimana Roman, apa kau bersedia menjadi pacarku?” ulang Silvia bertanya.“Baiklah, saya bersedia Tante,”Silvia sangat bahagia mendengarnya. “Ahahaha ... sudah kuduga kau akan menerimaku. Lagi pula aku memiliki segalanya, mulai detik ini kau akan kuberi fasilitas yang belum pernah kau dapatkan,”“Terima kasih Tante, tapi saya rasa itu tidak perlu!” Roman menolak fasilitas dari Silvia.“Saya tidak ingin mendapatkan penolakan Roman, saya hanya ingin mendengar kata ya dari bibirmu ini,” Silvia meraih mulut Roman, lalu mengelus bibir yang terasa lembut itu.“Tante, kita baru saja pacaran,” Roman menepis tangan Silvia.“Apa bedanya, lagi pula kau sudah menikmati tubuhku kan?”‘Sial! Apa tujuan Perempuan Tua ini sebenarnya?’ batin Roman terus melakukan aktifitas memijat kaki Silvia."Tapi... restu Kakek adalah segalanya bagiku," suara Roman bergetar, menahan emosi. "Aku ingin membangun keluarga dengan keyakinan bahwa aku tidak mengkhianati harapan Kakek. Silvia... dia mungkin belum sempurna di mata Kakek, tapi aku percaya, bersama aku, dia akan menjadi lebih baik." Rezenzo menghela napas panjang. Matanya menatap dalam ke arah cucunya, mencoba membaca ketulusan di balik sorot mata Roman. Rezenzo menunduk sejenak. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara detak jam tua yang terdengar samar. Perlahan, ia mengangkat pandangannya, menatap wajah cucunya yang penuh harap. "Aku... tidak buta terhadap perasaanmu, Roman," ucapnya pelan. "Dan aku tahu, jika kau sudah berbicara sejauh ini, itu berarti kau benar-benar serius." Ia mengalihkan pandangannya ke jendela, melihat hujan gerimis yang mulai turun. "Aku hanya takut kau akan terluka. Tapi mungkin... mungkin aku juga harus belajar percaya. Percaya bahwa kau bisa membuat keputusan yang benar." Roman hampir tak p
"Kalian akan menerima balasannya, aku tidak akan pernah bisa menerima semua ini!" Fred mengumpat. Roman beralih menatap wajah pesaingnya, "Oh ya? Kalau begitu aku tunggu!" dengan nada mencemooh. Fred kesal dan berusaha memukul, tapi di cegah oleh anak buah Roman. "Jangan sentuh Tuan kami, ayo cepat pergi!" salah seorang anak buah Roman mengusir paksa Fred keluar dari gedung perusahaannya sendiri. "Brengsek!" Fred berjalan dengan diseret oleh sekuriti dan anak buah Roman, sementara Shania hanya bisa mengikuti papanya dari belakang. Shania tidak banyak bertingkah, saat ini ia berusaha mencari aman supaya Roman tidak bertambah membencinya. "Pergi kalian jangan pernah menginjakan kaki di perusahaan ini lagi!" seorang pria yang bertugas mendampingi Roman berkata dengan angkuh terhadap Fred dan Shania. Dian kini merasa bahagia, akhirnya perusahaan yang di bangun oleh kedua orangtuanya kini kembali ke tangannya, Dian tersenyum dan berkata dalam hati. 'Ibu... aku telah membalas
"Daddy akan secepatnya mengabulkan permintaanmu Nak, tenang saja," Fred merangkul putrinya berusaha menenangkan Sania agar tidak menangis lagi. Dalam hati Sania berbicara, "Yes semoga kali ini Daddy benar-benar mengabulkannya," Lalu ia mengusap air mata kepura-puraannya, "Baiklah Dad's terima kasih, kalau begitu aku pergi dulu ya," pintanya. "Ya sayang..." Sejak pertama kedua ayah dan anak itu sedang berbicara, Dian diam-diam mengamati percakapan mereka ia tahu apa yang harus ia lakukan kali ini. "Nona kau sedang apa di sini?" tanya Antonio yang tiba-tiba saja muncul tanpa ia sadari. "Astaga Pak Anton, kamu membuatku kaget saja. Ada apa Pak?" Antonio gugup pada saat itu, lantaran jarak wajahnya dengan wajah perempuan di depannya terasa sangat dekat sekali. "A-aku..." "Baiklah kalau kau tidak mau bicara, aku pergi!" dengan cepat Dian pergi demi menghindari Antonio. "Nona Dian aku..." ucapan pria itu kembali terpotong, ia hanya berdiri di depan Dian. Dian menggelen
Langkah Silvia terhenti ketika mendengar suara lantang dari pria yang tidak lagi muda, dan tidak mengharapkan kedatangannya. "Kakek, aku datang..." "Diam Roman! Bawa pergi Wanita ini, aku tidak mau ditemui kau dengan dia!" Rezenzo memotong ucapan Roman. Mata Silvia terlihat berkaca-kaca, ia merasa sedih karena kehadirannya tidak di harapkan. Ia berniat kembali tapi dihentikan oleh Roman. "Tidak Silvia, kau jangan pergi!" larang pria itu. "Tapi aku tidak di harapkan di sini Rom, untuk apa aku berada di sini," lirihnya. "Ya bagus kau tahu diri," Rezenzo mengumpat. Akan tetapi Roman tetap memegang erat tangan perempuan yang ia cintai dan tidak membiarkannya pergi. "Roman aku," "Sstt sudahlah! Jangan bicara lagi, tetaplah di sini bersamaku," Meski dengan enggan Silvia menuruti permintaan kekasihnya, walaupun Rezenzo tidak menyukai keberadaan dirinya di sana. "Kalian pergi! Aku tidak ingin melihat kalian di sini!" usir pria yang tidak lagi muda itu. Namun, kali ini Sil
Sorot mata Silvia semakin tajam ketika melihat Fred dan Selena bertengkar di hadapannya, pasalnya ia meminta bertemu dengan Fred bukan ingin melihat pertengkaran mereka tapi ingin menuntut Fred mengakui di hadapan publik kalau sebenarnya mereka telah bercerai jauh sebelum ia mengenal cucu pengusaha terkenal kaya raya itu. "Hentikan!!!" Silvia berteriak demi menghentikan pertengkaran di antara mereka. "Kedatanganku kemari bukan untuk melihat perkelahian kalian, aku hanya minta kau klarifikasi di depan publik!" tukasnya geram. Namun, permohonan Silvia mendapatkan penolakan. Karena Fred bersikukuh masih ingin Silvia kembali seperti dulu. "Klarifikasi? Tidak akan ada Silvia! Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu!" Silvia mengepalkan tangannya ia merasa frustasi. "Kita tidak akan pernah bisa Fred, kau mengerti? Seandainya dulu kau tidak melakukan hal bodoh, mungkin aku masih mau bertahan denganmu tapi kau berkhianat dengan jalang ini!" "Aku bukan jalang, Kau yang tidak
"Tuan, saya mohon berikan saya kesempatan," Dian memohon tatkala ia dipecat oleh Rezenzo "Tuan..." Tok! Tok! Tok! Perempuan itu terus mengetuk pintu supaya si pemilik rumah itu mau membukakan pintu untuknya, namun usahanya itu nihil. Malah yang keluar menemuinya bukanlah Rezenzo tetapi dua orang ajudan yang bersiap mengusirnya secara paksa. "Tolong pergi Dian! Kau sudah diperingatkan sejak awal bukan? Tapi, kenapa kau malah melanggarnya?" salah seorang dari dua orang itu menatap Dian, ia merasa kasihan namun tidak mungkin menolong perempuan itu. "Saya tahu saya salah, tapi..." "Pergilah, kami mohon jangan persulit pekerjaan kami!" usir pria itu dengan suara baritonnya. Dian menunduk pasrah, ia pun segera pergi meninggalkan rumah itu, bahkan dia di larang untuk memberi tahu Roman soal pemecatan ini. Sementara ketika dia pergi, Roman masih dalam perjalanan pulang, Pemuda itu sangat bahagia sekali setelah sekian lama ia bertemu kembali kekasihnya. "Aku bersumpah... kali