Share

bab 3 : Bertaruh Nyawa

"Hei, apa kau mendengarkan?" Lien Hua melambaikan tangannya kesal, bukannya mendengarkan keluh kesahnya gadis itu malah melamun. jadi sejak tadi dia bicara dengan siapa? dengan angin? huh. menjengkelkan.

"Y-ya. Kau yang menemukanku?"

"Benar. Malam itu aku hendak mencuri ikan-ikan pak tua, bukannya berhasil aku malah melihatmu tersangkut di batang pohon yang hanyut. Mengapa kau bisa ada di situ, sih?"

"Aku tidak tahu."

"Apa kau kehilangan ingatanmu?"

Melihat Arumi menggeleng, gadis berambut cepol itu bergidik, sepertinya perempuan muda itu tidak waras.

Pakaian yang dikenakan gadis itu saat ditemukan juga aneh. Rasanya belum pernah dia melihat pakaian seperti itu di kota Wangliang.

Baju berwarna putih tulang dengan banyak sekali bebatuan yang menempel. Apa tidak terasa berat? Sejak kapan orang membuat pakaian yang digantungi batu kecil? iih. Sangat merepotkan.

Apa bebatuan itu juga yang membuatnya nyaris tenggelam? ck. benar-benar tidak berguna.

"Lien Hua. Apa Kau mengacau lagi?" paman Li muncul dengan mangkuk berisi bubur.

"Mengapa semua orang mencurigaiku?" sahutnya merasa jengkel, "Kaki dan bokongku masih terasa nyeri, untuk apa aku membuat masalah."

Paman Li terkekeh. "Itu karena kenakalanmu sendiri."

Mendengar ucapan paman Li, Lien Hua mencebik. Dia tidak selalu membuat masalah, kok. Dia hanya ingin bermain, tapi orang-orang tua di sini kolot. Mereka hanya suka memarahinya.

"Siapa namamu Nona?" tanyanya pada Arumi kemudian.

"Namaku Arumi."

"Aah, Arumii, itu nama yang indah. Apa kau sudah merasa lebih baik?"

"Ya. Terimaksih."

"Wajahmu terlihat asing, apa yang membuatmu bisa berada di tempat ini?'

"Kalau itu, aku tidak tahu. Maaf," jawab Arumi dengan wajah tertunduk. Mau bagaimana lagi, dia juga merasa bingung dengan keberadaannya di sini.

Paman Li menatap iba, "Kau berasal dari mana? mungkin kami bisa membantumu pulang."

Gadis itu dilanda kebingungan, apa yang harus dia sampaikan pada mereka, kalau dia bilang bahwa dia tiba-tiba masuk dalam drama yang mereka perankan apa mereka akan percaya? Bukanlah dia akan di cap sebagai orang aneh.

Kalau dia bicara jujur. Bisakah dia mempercayai mereka? Meskipun berperan sebagai protagonis di drama Pendekar Awan, belum tentu mereka bisa menerima keberadaan makhluk asing seperti dia.

"Aku tidak ingat," jawabnya kemudian. Menurutnya Ini adalah solusi ter-aman untuk saat ini.

Di setiap drama atau film yang dia tonton, dalam keadaan terdesak biasanya mereka selalu mengaku tidak ingat atau pura-pura amnesia untuk menghindari chaos atau mengamati hal sekitar sebelum bertindak.

'Ooh ... sungguh kasihan." Paman Li menatapnya khawatir, "Mungkin sebaiknya aku memberitahu ketua An untuk memberi obat yang lebih manjur."

"Paman, jangan berlebihan." teriak Lien Hua ketus, "bukankah sebaiknya Paman memintakan obat untukku? Bokongku sangat sakit. Aku tidak bisa duduk dengan tenang."

Paman Li menaikkan alisnya malas, "Berhentilah berpura-pura. Aku tahu kau tidak selemah itu. Bantu aku untuk mengambilkan minuman."

"Pamaan ...."

"Apa perlu kulaporkan pada ketua bahwa kau mencuri pil Dewa. Aku melihatmu menelannya sebelum dia menghukummu. Tanpa minum pil itu kau pasti sudah tidak bisa mengoceh lagi."

"Yaah, apa aku ketahuan?"

Tubuh terbungkuk Lien Hua kini telah tegak, sambil cengengesan dia berlari kecil menghampiri paman Li lalu menggosok-gosok ujung lengan bajunya, "Paman, jangan laporkan aku, yaa," bisiknya dengan wajah memelas.

"Aku akan menuruti semua perintah Paman, tapi lupakan masalah ini, ya. Paman kan tahu, aku ingin kuat agar bisa melindungi Yeye."

"Baiklah. Aku tahu." Paman Li mengibaskan tangannya, "cepat ambilkan minuman."

"Minuman segera datang." Sambil tertawa kecil Lien Hua meninggalkan kamar itu.

"Paman tahu kalau dia bersandiwara sejak tadi?" tanya Arumi heran, pantas saja Paman Li tidak menghiraukan keluh kesah Lien Hua. Ternyata gadis itu berbohong.

Dia merasa sedikit menyesal telah menaruh rasa iba mendengar erangan palsu gadis itu tadi.

"Dia memang gadis yang nakal, tapi dia tidak jahat," sahut paman Li, "kerjanya hanya bermain, sehingga membuat kepala pusing. Hehe, tapi itu yang membuat rumah ini terasa ramai dan menghibur." Bibir pria paruh baya itu merekah, menyunggingkan senyum hangat.

"Aku sudah membawakan minuman." Lien Hua menenteng sebuah teko kecil dan gelas putih dari keramik. "Apa aku juga perlu menyuapinya makan?"

"Apa perlu seperti itu Arumi?" Dua pasang mata itu menatapnya lekat. Lien Hua dengan senyum mengejek dan Paman Li dengan ekspresi kasihan.

"Aku bisa sendiri," jawabnya cepat sambil menjangkau mangkok bubur lalu menyuapkannya ke dalam mulut.

"Baiklah, kalau begitu. Istirahatlah. Jangan lupa minum obatmu setelah makan." Paman melirik beberapa pil yang dia bawa bersama bubur.

"Kalau kau ingin ke kamar kecil, berjalanlah sedikit ke belakang. Dia berada tepat di sebelah kamar ini."

"Baiklah. Terimaksih."

Setelah berbasa-basi sebentar Paman Li dan Lien Hua meninggalkan kamar itu.

Arumi menarik nafas lega, beban berat yang dirasakan sejak tadi hilang seketika. Rasanya sangat canggung berinteraksi bersama mereka, meskipun mereka sangat baik dan perhatian. Namun atmosfer udara yang dirasakannya cukup berat.Terlebih di tempat aneh ini.

Tapi dia tidak boleh menyerah. Arumi menelan bubur pelan, bagaimanapun dia harus bertahan hidup. Dia tidak boleh mati sebelum kembali pulang ke rumah. Apa yang akan terjadi dengan tubuhnya jika dia mati di sini.

Bayangkan berapa khawatir dan histerisnya kedua orang tuanya mengetahui bahwa anak gadisnya telah menghilang. Memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk merinding.

Semua ini gara-gara Ryan. Kalau saja dia tidak berselingkuh dan menggagalkan pernikahan, ini tidak akan terjadi. Dia pasti tidak akan terjatuh.

Arumi menggeleng, tidak. Ini bukan salah Ryan. Salahnya sendiri yang semberono. Bisa-bisanya dia hendak terjun ke sungai Kapuas hanya karena lelaki brengsek itu.

Sehebat apa Ryan sampai membuatnya putus asa seperti ini. Dia cantik dan kaya. Bisa dengan mudah mendapatkan pengganti Ryan. Kenapa dia bisa senaif itu sih?

"Dasar bodoh." Arumi memukul dahi dengan ujung sendok. Patah hati ternyata bisa membuatnya gelap mata dan bertindak nekat.

KRIEETT ....

Suara daun jendela terbuka.

Arumi menoleh. Bola matanya bergetar menatap bayangan yang masuk melalui daun jendela yang terbuka pelan. Belum sempat dia bangkit atau bersuara, sebuah benda tajam tiba-tiba sudah menekan lehernya. Arumi menelan liur.

Mati aku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status