Thomas terbangun dengan tubuh terasa berat. Kepalanya masih berdenyut akibat ledakan yang hampir merenggut nyawanya. Saat kesadarannya pulih sepenuhnya, ia menyadari bahwa dirinya berada di dalam markas Heptagon di Afrika Selatan. Bau khas antiseptik memenuhi udara, sementara suara alat medis berdenging pelan di sekitarnya.
Ia mencoba bergerak, tetapi rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya. Di kursi dekat ranjangnya, Dante duduk dengan ekspresi lelah, tubuhnya masih dibalut perban akibat luka yang ia derita saat serangan di kamp pemberontak.
"Akhirnya kau bangun," Dante berkata, suaranya terdengar berat.
Thomas mengerang pelan sambil menatap sekeliling. Di sudut ruangan, Isabelle sedang memeriksa laporan intelijen, sementara Jamal duduk dengan tangan terlipat, ekspresinya serius.
"Berapa lama aku tidak sadarkan diri?" Thomas bertanya, suaranya serak.
"Hampir dua hari," jawab Isabelle tanpa menoleh. "Kami berhasil keluar dengan nyawa di tangan, tetapi ini belum selesai, Thomas."
Sebastian N'Dour masuk ke dalam ruangan dengan langkah tegap. Matanya menyapu mereka satu per satu sebelum akhirnya tertuju pada Thomas. "Kita punya masalah besar."
"Black Dawn." Thomas menyebut nama itu dengan tegas, mengingat percakapan yang ia dengar sebelum mereka disergap.
Sebastian mengangguk. "Kami akhirnya berhasil mengonfirmasi keberadaan mereka. Black Dawn bukan sekadar kelompok bayangan biasa mereka adalah organisasi yang memiliki jaringan yang sangat luas, setara dengan Heptagon."
Jamal menyandarkan tubuhnya ke dinding, "Jadi kita tidak hanya berurusan dengan pemberontak kecil? Ini adalah perang besar."
"Dan perang ini baru saja dimulai." Sebastian menatap mereka dengan serius.
Identitas Organisasi Bayangan
Sebastian meletakkan sebuah tablet di meja, menampilkan berbagai informasi tentang Black Dawn. Di layar, tampak gambar beberapa orang yang wajahnya kabur, serta diagram jaringan operasi mereka.
"Black Dawn telah beroperasi dalam bayangan selama lebih dari satu dekade. Mereka memiliki kepentingan dalam berbagai konflik global, dan yang lebih buruk lagi, mereka tampaknya memiliki dukungan dari beberapa elemen di pemerintahan dunia."
Isabelle menyipitkan matanya. "Mereka bahkan cukup pintar untuk tetap berada di luar radar kita selama ini. Itu berarti mereka memiliki akses ke intelijen tingkat tinggi."
Sebastian mengangguk. "Kami mendapatkan informasi bahwa mereka tidak hanya menargetkan Heptagon. Mereka ingin mengendalikan seluruh jalur ekonomi kriminal dunia, mulai dari perdagangan senjata hingga manipulasi politik global."
Thomas mengepalkan tangannya. "Dan mereka sudah mulai bergerak di Afrika."
"Bukan hanya di Afrika," lanjut Sebastian. "Kami memiliki bukti bahwa Black Dawn mulai memperluas operasi mereka ke Amerika Selatan, Eropa, dan bahkan Asia."
Dante menggelengkan kepala. "Jadi kita bukan hanya melawan satu kelompok. Kita melawan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira."
Sebastian menyilangkan tangannya. "Yang lebih mengkhawatirkan adalah, berdasarkan dokumen yang berhasil kami amankan dari kamp pemberontak, mereka sedang merancang sebuah operasi besar-besaran yang akan terjadi dalam waktu dua tahun ke depan."
Thomas menatap Sebastian dengan tajam. "Apa maksudnya?"
Sebastian menatapnya dengan ekspresi tegang. "Mereka sedang bersiap untuk mengguncang stabilitas global. Dan kemungkinan besar, pemilu AS 2004 adalah salah satu target utama mereka."
Rencana Serangan Balik
Keheningan menyelimuti ruangan saat kata-kata Sebastian meresap dalam benak mereka. Pemilu AS 2004? Jika Black Dawn memiliki rencana untuk mengendalikan hasil pemilu, ini berarti mereka memiliki koneksi dengan kekuatan politik tingkat tinggi.
Thomas mengatur napasnya sebelum berbicara. "Apa langkah kita selanjutnya?"
Sebastian mengetuk layar tabletnya, menampilkan gambar sebuah bangunan besar di tengah hutan Afrika Tengah. "Salah satu pusat operasi Black Dawn berada di Kinshasa, Republik Demokratik Kongo. Itu adalah titik awal kita."
Dante mengangkat alis. "Dan kita akan menyusup ke sana?"
Sebastian mengangguk. "Kita tidak bisa menyerang secara terbuka, itu akan memicu perang skala besar. Jadi kita akan menyusup sebagai pedagang senjata dan mencoba mendapatkan akses ke dalam jaringan mereka."
Jamal tertawa kecil. "Jadi kita akan bermain sebagai musang di kandang singa?"
"Kurang lebih begitu," jawab Sebastian. "Tapi kali ini, kalian tidak akan bekerja sendiri. Ada seseorang yang sudah lama berada di dalam Black Dawn."
Isabelle menyipitkan matanya. "Siapa?"
Sebastian menekan sebuah tombol, dan pintu ruang rapat terbuka. Seorang wanita dengan rambut hitam panjang dan mata tajam melangkah masuk.
"Namaku Eleanor Kane. Kalian bisa memanggilku Shade."
Thomas memandangnya dengan curiga. Wanita ini memiliki aura dingin, dan jelas bukan orang sembarangan.
"Eleanor adalah agen Heptagon yang telah menyusup ke dalam Black Dawn selama tiga tahun terakhir," jelas Sebastian. "Dia akan menjadi kontak utama kalian selama operasi ini."
Eleanor menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berbicara. "Aku tidak tahu apakah kalian bisa dipercaya. Misi ini bukan untuk anak-anak."
Thomas merasakan ketegangan dalam ruangan itu meningkat. Eleanor jelas tidak menganggap mereka cukup kompeten untuk menangani Black Dawn.
"Kami tidak datang ke sini untuk bermain," jawab Thomas dengan suara tenang tetapi penuh ketegasan.
Eleanor menyeringai kecil. "Kita lihat saja nanti. Karena begitu kita masuk ke dalam markas Black Dawn, tidak ada jalan keluar."
Sebastian menghela napas. "Besok kalian akan berangkat ke Kinshasa. Persiapkan diri kalian, karena ini bukan sekadar misi biasa."
Thomas menatap layar tablet yang menampilkan markas Black Dawn. Misi ini berbeda dari yang sebelumnya. Jika mereka gagal, dampaknya tidak hanya pada Heptagon, tetapi juga keseimbangan dunia.
Dan ini hanyalah permulaan dari perang yang lebih besar.
Agen Ganda dalam Black Dawn
Eleanor Kane berdiri di depan mereka dengan ekspresi dingin dan penuh penilaian. Matanya tajam, memindai satu per satu anggota tim Thomas seolah sedang menilai kelayakan mereka.
"Aku sudah tiga tahun berada di dalam Black Dawn," Eleanor memulai, suaranya datar namun berwibawa. "Jangan buat kerja kerasku sia-sia dengan kesalahan bodoh."
Jamal menyilangkan tangan di dadanya. "Kami bukan amatir."
Eleanor mengangkat sebelah alisnya. "Aku belum yakin soal itu."
Thomas memperhatikan Eleanor dengan seksama. Wanita ini jelas bukan orang sembarangan. Jika ia mampu bertahan tiga tahun di dalam organisasi sebesar Black Dawn tanpa terbongkar, berarti dia memiliki keterampilan luar biasa dalam penyamaran dan manipulasi informasi.
Sebastian N'Dour akhirnya berbicara, menghentikan ketegangan di antara mereka. "Eleanor akan menjadi penghubung utama kalian begitu masuk ke dalam markas Black Dawn di Kinshasa. Dia akan memastikan kalian mendapatkan akses ke jaringan internal mereka."
Isabelle menyipitkan matanya. "Jadi bagaimana kita bisa masuk?"
Eleanor melirik mereka sekilas sebelum mengeluarkan sebuah perangkat kecil dari sakunya dan meletakkannya di meja. "Kita akan menyusup sebagai pedagang senjata. Aku sudah mengatur pertemuan dengan salah satu eksekutif Black Dawn di Kinshasa. Kalian akan masuk sebagai pemasok baru yang ingin menjalin kerja sama."
Dante menghela napas. "Dan jika mereka tidak percaya?"
Eleanor tersenyum tipis. "Itulah sebabnya kita akan membawa sesuatu yang mereka inginkan. Senjata eksperimental dari jaringan pasar gelap di Timur Tengah. Jika kita bisa meyakinkan mereka bahwa kita memiliki akses ke barang berkualitas, kita akan mendapatkan kepercayaan mereka."
Thomas menyilangkan tangannya. "Berarti kita harus bisa berakting dengan sangat baik."
Eleanor mengangguk. "Selama kalian bisa mengikuti instruksiku, kita tidak akan punya masalah."
Jamal mendecakkan lidahnya. "Aku tidak suka diperintah oleh orang yang baru saja kutemui."
Eleanor menatapnya tajam. "Dan aku tidak suka bekerja dengan orang yang berpikir dengan ototnya saja."
Sebastian menepuk meja dengan keras, menghentikan perdebatan. "Cukup. Kalian semua punya tugas masing-masing. Jangan biarkan ego kalian merusak misi."
Mereka semua terdiam, tetapi ketegangan masih terasa di udara.
Thomas tahu bahwa ini akan menjadi misi paling berbahaya yang pernah mereka jalani.
-------------> Bersambung
Langit mulai berubah menjadi warna jingga saat senja menjelang. Angin dingin berembus melewati lapangan akademi, membawa keheningan yang terasa semakin berat. Di tengah area terbuka itu, Thomas berdiri berhadapan dengan Alex, Diego, dan Flynn tiga sosok yang dulu ia kenal sebagai teman seperjuangan, tetapi kini telah menjadi sesuatu yang lebih. Thomas tidak segera berbicara. Matanya menyapu wajah mereka satu per satu, mencoba menemukan jejak masa lalu di balik perubahan besar yang kini terpampang di hadapannya. Namun, yang ia lihat adalah sesuatu yang lebih kuat, lebih tajam mereka bukan lagi hanya sekadar rekan, mereka adalah saudara dalam peperangan. Alexlah yang pertama melangkah maju, dengan ekspresi percaya diri yang tetap sama seperti dahulu. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya menatap Thomas. Bukan hanya rasa hormat, tetapi juga kebanggaan. "Jadi, kau akhirnya kembali." Suara Alex terdengar mantap, tanpa keraguan sedikit pun. Thomas mengangguk pelan. "Aku tidak pe
Ia menghindari pukulan lurus dengan gerakan slipping, memiringkan kepala hanya beberapa inci dari tinju George.Hook kanan datang cepat, tetapi Thomas mengangkat sikunya untuk menangkis, merasakan benturan yang nyaris mematahkan tulangnya.Saat tendangan putar melesat, Thomas melompat mundur, menggunakan momentum George untuk memperhitungkan serangan balasan.Dan di situlah momen itu datang.Saat sikutan George mengarah ke lehernya, Thomas menurunkan tubuhnya, merendah, lalu meluncurkan uppercut langsung ke ulu hati George.DUG!Untuk pertama kalinya, George terdorong mundur.Thomas tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan kecepatan yang ia pelajari dari pertarungan ke-99, ia menyerang balik.Elbow strike ke rahang.Tendangan rendah ke lutut.Sebuah pukulan straight ke arah dada.Namun, George bukan lawan yang mudah. Saat serangan ketiga hampir mengenai, George tiba-tiba berbalik, menggunakan energi Thomas sendiri untuk menjatuhkannya dengan teknik grappling.Thomas terhuyung, teta
Serigala itu tidak sendiri. Ada lima ekor lain yang mengintainya dari balik pepohonan.Thomas tahu bahwa ia harus bertarung.Ia mengambil tongkat besar yang terbakar di ujungnya dan mengayunkannya ke arah serigala pertama. Hewan itu mundur, tetapi lima lainnya bergerak mendekat. Ia tidak bisa melawan mereka semua.Pilihannya hanya satu "Lariiiii."Dengan cepat, ia berbalik dan berlari melewati hutan, napasnya tersengal. Ia melompati akar pohon, menerobos semak-semak, sementara suara cakar-cakar tajam mendekatinya dari belakang. Ia tidak bisa berhenti.Setelah hampir satu menit penuh berlari, ia melihat celah sempit di antara dua batu besar. Tanpa berpikir panjang, ia meluncur masuk dan menekan tubuhnya ke dalam ruang kecil itu. Serigala-serigala itu berhenti di luar, menggeram marah, tetapi tak bisa menjangkaunya.Ia menunggu, menahan napas, hingga akhirnya suara mereka menghilang.Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia menyadari satu hal: tempat ini tidak akan memberinya belas kasihan. J
Ia menggoreskan bilahnya ke telapak tangannya sendiri. Darah segar menetes ke dalam gelas kosong di tengah mereka.Tanpa ragu, Flynn mengambil pisau itu dan mengikuti, menyayat telapak tangannya sendiri sebelum meneteskan darahnya ke dalam gelas. "Setiap misi, setiap pertempuran, setiap kejatuhan… kita tetap satu."Alex, dengan tatapan penuh tekad, mengulangi ritual yang sama. "Kita tidak akan pernah berdiri sendirian. Kita adalah satu jiwa dalam empat tubuh."Akhirnya, Thomas mengambil pisau itu, merasakan dinginnya baja di kulitnya sebelum menyayat telapak tangannya sendiri. Darahnya bercampur dengan darah saudara-saudaranya, mengukuhkan sumpah yang lebih kuat dari sekadar kata-kata.Ia mengambil gelas itu, memutarnya pelan sebelum meneguknya. Darah hangat mengalir di tenggorokannya, bukan sebagai simbol kelemahan, tetapi sebagai bukti tak terbantahkan bahwa mereka telah memilih jalan yang sama. Tanpa ragu, gelas itu berpindah ke Alex, lalu ke Diego, dan terakhir ke Flynn. Mereka me
Setelah berminggu-minggu menjalani latihan intensif di akademi, Thomas mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia menjadi lebih cepat, lebih kuat, dan lebih waspada. Namun, dalam setiap latihan, ia juga mulai menyadari batasannya. Meskipun telah melalui berbagai skenario pertempuran, Thomas tahu bahwa ia masih jauh dari kata siap untuk menghadapi ancaman Black Dawn yang sesungguhnya.Sebuah komunikasi rahasia terjadi di salah satu markas Heptagon. Mr. Ice, salah satu The Council, telah berbicara dengan George Simbian secara langsung."Anak itu punya potensi," kata Mr. Ice dengan suara dingin khasnya. "Tapi dia belum siap. Jika dia ingin bertahan dalam perang berikutnya, dia harus menjadi lebih dari sekadar prajurit biasa."George menyilangkan tangan. "Kau ingin aku melatihnya secara khusus?""Ya. Tapi aku tidak ingin kau menawarkan diri. Jika Thomas benar-benar siap, dia akan datang kepadamu sendiri."George mengangguk paham. "Baik. Jika dia cukup cerdas untuk menyadari kelemahannya,
Thomas tersenyum, tetapi ia tahu ada kebenaran dalam ucapan mereka. Ia memang berubah. Setelah melihat kematian, menyaksikan bagaimana Heptagon mengendalikan dunia kriminal, dan mengalami langsung pertarungan brutal, ia tidak bisa kembali menjadi siswa biasa yang hanya menjalani pelatihan tanpa memahami konsekuensinya.Keesokan harinya, Thomas kembali ke rutinitas akademi tetapi dengan nuansa yang berbeda. Di lapangan latihan, setiap tatapan yang diarahkan padanya terasa berat. Sebagian besar siswa lain melihatnya dengan rasa hormat, beberapa dengan iri, dan yang lain dengan waspada.Tidak seperti biasanya, Saat sesi Latihan kali ini, George Simbian adalah instruktur hari itu menggantikan Antonov, dan dia telah menanti terlebih dahulu dilapangan. "Hayooo….berkumpul lebih cepat, PARA BAJINGAN, kalian fikir kita sedang-piknik". Mendengar teriakan George. para siswa panik, berlari dan segera cepat membentuk barisan. Diego mendengar suara yang tidak asing baginya, spontan menepuk jidatn