Sua berbalik cepat. Bayangan seseorang memanjat masuk dengan ringan dan hening. Hanya satu orang yang bisa sesantai itu di malam yang bahaya ini.Rai Yuan.Sua langsung berdiri. “Anda mengikutiku?” Nadanya tajam.Rai melompat turun dari bingkai jendela, tak menghiraukan nada gadis itu. Ia menghampiri, lalu mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari balik jubah panjangnya.“Aku datang ke kediaman ini untuk memberimu sesuatu,” katanya tenang. “Dan ketika kau kabur tanpa sepatah kata pun, aku penasaran. Sekarang aku tahu… ini mungkin akan berguna.”Sua menatapnya curiga, lalu melirik ke kotak itu. Rai membukanya perlahan. Di dalamnya tergeletak satu set jarum akupuntur perak yang mengilap, terikat rapi dengan kain merah halus.Suatu kebetulan yang nyaris terlalu sempurna. Sua menatap kotak kayu itu—jarum-jarum perak yang terikat rapi dengan kain merah, berkilau di bawah cahaya lentera. Sebuah hadiah yang terlalu tepat untuk waktu dan kondisi seperti ini.Matanya menyipit.“Anda membuntuti
"Apa kau selalu keluar seperti ini setiap malam?" ujar lelaki itu sedikit membungkuk, hingga wajahnya terekspos oleh cahaya lentera— Rai Yuan."Yang Mulia?" Sua benar-benar tidak mengerti apa yang ada di benak lelaki ini. "Apakah Anda sedang memiliki suatu urusan di Kediaman Perdana Menteri?""Ya, urusan untuk bertemu denganmu," balasnya.Dahi Sua mengernyit. "Bertemu, denganku?"Rai mendekatkan wajahnya, tersenyum menggoda di hadapan Sua seraya berkata, "iya. Hanya untuk menemuimu."Sua menoleh cepat, langkahnya sedikit mundur. Kemunculan Rai yang mendadak, membuat jantungnya semakin berdebar tidak karuan.Ia menegakkan tubuh, menjaga jarak, menatap lelaki itu dengan campuran curiga dan waspada. Lentera yang tergantung di dinding memantulkan cahaya temaram ke wajah Sua yang masih mengenakan pakaian pelayan.“Aku tidak sedang bermain-main malam ini, Yang Mulia,” ucap Sua tegas, suaranya sedikit berbisik. “Aku ingin menemui ibuku.”Wajah Rai berubah. Tatapannya menjadi lebih serius, me
“Muntah darah…?” Mata Sua membulat.Tanpa pikir panjang, Sua berdiri dan melangkah cepat ke pintu. Namun langkahnya terhenti begitu melihat dua pengawal berjubah gelap berdiri di depan lorong. Mereka menyilangkan tombak di depan pintu keluar.“Maaf, Nona. Perintah Tuan Perdana Menteri, Anda tidak diperbolehkan meninggalkan kamar. Hukuman Anda belum selesai,” kata salah satu pengawal tegas.Sua menatap mereka tajam. “Ini tentang ibuku. Aku harus—”“Perintah tetap perintah, Nona. Kami hanya menjalankan tugas.”Sua menggertakkan gigi. Ingin sekali ia menerobos mereka, tapi ia tahu apa yang akan terjadi bila ia memaksa. Pengawal itu tak bergeming. Wajah mereka datar, seperti batu.Bae Ya yang menyusul dari belakang, menarik lengan Sua. “Biar aku yang bicara. Aku akan menghadap Perdana Menteri.”Sua ingin mencegahnya, ia tahu bahwa memohon kepada sang ayah tidak ada gunanya. Tapi Bae Ya sudah berlari pergi. Hal ini menimbulkan rasa cemas dalam hati Sua. "Astaga, bagaimana bisa ia pergi tan
Sua membalas dengan senyum tipis. “Hanya sedikit perawatan. Biasa, pelayan harus merawat dirinya sendiri. Tidak seperti calon pengantin.”Cai Ji tertawa pelan. “Ah, soal itu… Aku hanya ingin mampir sebentar, memberitahumu kabar baik.” Ia duduk tanpa diundang di sisi ranjang Sua, menyilangkan kaki dengan anggun yang dibuat-buat. “Sepekan lagi, aku akan menikah dengan Liu Chang.”Sua menatapnya, tenang. “Selamat,” ucapnya datar, nyaris tanpa ekspresi.Senyum Cai Ji makin melebar, tapi matanya bersinar licik. “Oh, jangan bersikap seolah Kakak tak peduli. Aku tahu betul Kakak mencintainya. Tapi lihat, akhirnya dia memilihku. Mungkin karena aku lebih… cocok.”Sua masih tak bereaksi, hanya menundukkan kepala sedikit. 'Seorang jalang dan seorang pengkhianat memang sangat cocok,' batinnya, tanpa mengubah raut wajah. Ia terlalu terbiasa menyembunyikan luka di balik senyum dingin.“Aku akan merebut segalanya darimu,” lanjut Cai Ji sambil mencondongkan tubuh, berbisik penuh kesombongan. “Liu Cha
Sua kembali ke kamarnya tepat sebelum fajar menyingsing. Udara dini hari masih menusuk kulit, menyisakan embun tipis di ujung daun yang tampak dari jendela luar.Akhirnya, Sua tiba di sebuah ruangan remang dan tenang. Di atas ranjang empuk miliknya, Bae Ya terlelap dalam posisi menyamping, selimut setengah menutupi tubuhnya. Wajah gadis itu tampak damai, bahkan senyum kecil terukir samar di sudut bibirnya.Bae Ya, pelayan muda yang selama ini tidur beralas tikar dan jerami, kini merasakan kemewahan kasur empuk dan bantal sutra untuk pertama kalinya.Sua menghampirinya perlahan, lalu mengguncang bahunya pelan. "Bae Ya... bangun. Kita harus segera bertukar pakaian."Gadis itu mengerjap pelan, mengusap matanya yang masih berat. "Nona...? Sudah pagi?" gumamnya, suaranya serak oleh kantuk. Begitu sadar bahwa ia tengah tidur di tempat Sua, Bae Ya segera bangkit dan nyaris terjatuh karena panik.Sua tersenyum kecil, meski wajahnya pucat karena lelah. "Tenang saja. Kau bebas tidur dimanapun.
Rai menunduk sedikit, menatap Sua sejenak untuk memastikan kesediaannya. Ketika gadis itu mengangguk pelan, tanpa berkata apa pun lagi, ia meraih tubuh mungil Sua dengan satu gerakan cepat.Dengan kedua lengannya yang kokoh, Rai mengangkat gadis itu dalam posisi bridal carry, seolah-olah berat tubuhnya tak seberapa. Napas Sua tercekat sejenak, jantungnya berdebar kencang saat pipinya bersentuhan dengan dada bidang pria itu."Aku akan bergerak cepat. Pegangan!" bisik Rai, nyaris seperti angin.Tanpa membuang waktu, Rai melesat dari tempatnya berdiri. Gerakannya begitu ringan dan terlatih, seperti bayangan yang meluncur di bawah cahaya bulan. Ia menyusuri sisi luar pagar, memanfaatkan kegelapan malam dan dedaunan yang rimbun untuk menyembunyikan langkahnya. Sua bisa merasakan hembusan angin malam yang dingin memukul wajahnya, tapi lengan Rai yang hangat menjaganya tetap nyaman.Satu lompatan ringan membawanya ke atap bangunan samping. Di bawah, para penjaga tampak berjaga dengan waspada
"Yang Mulia Pangeran!" ujar Sua pelan. Wajahnya menatap sosok pria di hadapannya penuh harap."Berkeliaran di tengah malam, apakah ini kebiasaanmu?" Tangan kuat pria itu menggenggam erat dan menarik Sua hingga mendarat dalam dekapannya. Tubuh mungil Sua seketika terperangkap dalam dada bidang Rai yang hangat.Sua terdiam. Dalam keheningan itu, ia bisa mendengar detak jantung Rai. Mereka saling bertatapan, mata Sua yang jernih seperti danau tenang bertemu dengan sorot tajam namun hangat milik Rai. Ada sesuatu yang tak terucap, tapi terasa jelas di antara keduanya.Sua buru-buru mendorong dada Rai dengan kedua tangannya, meski tak sekuat genggaman pria itu. Wajahnya memerah, kesadaran bahwa jarak di antara mereka terlalu dekat. Ia mengalihkan pandangannya, menatap ke samping, menghindari tatapan intens yang seolah bisa menembus isi hatinya."A-aku hanya mencari tanaman herbal," balas Sua gugup menatap sembarang arah.Rai menunduk sedikit, menyadari bahwa ada senyum samar di bibir gadis
Sua berlari secepat mungkin tanpa suara, melompat di balik pagar tanaman, merunduk dan berjalan cepat kembali ke lorong belakang kediaman. Tubuhnya gemetar oleh ketegangan, tapi otaknya bekerja cepat.Tak disangka, baru beberapa langkah ia berada di suasana yang mengangkan, Sua tiba-tiba berhenti. Dari balik bayang-bayang pepohonan, ia melihat sesuatu yang membuatnya mual.Liu Chang dan Cai Ji. Dua sejoli yang dikenal itu berdiri berdekatan, terlalu dekat. Liu Chang menelusuri pipi Cai Ji dengan ujung jarinya, sementara gadis itu tertawa pelan, matanya berbinar penuh gairah."Untuk merayakan kemenanganku," kata Cai Ji dengan suara lembut, jemarinya menggenggam erat tangan lelaki itu."Bagaimana jika seseorang menemukan kita?" Liu Chang bertanya, namun tangannya sangat lincah menelusuri setiap tubuh gadis itu hingga membuat desahan ringan."Jangan khawatir, aku memegang kelemahan ayah. Tidak akan ada yang berani menyentuhku!" balasnya dengan wajah menggoda, seolah dunia hanya milik ber
Sua menoleh pelan. "Apa yang kau lihat?"Bae Ya mendekat, wajahnya pucat. "Kepala pelayan … menyebut nama Nyonya Su.""Mereka membawa Nyonya ke aula, dan setelah itu, beliau dibawa pergi, dikurung di paviliun barat," lanjut Bae Ya.Sua menggenggam erat seprai, matanya mulai memanas. "Itu tidak masuk akal. Ibu tidak pernah keluar dari kamarnya selama berbulan-bulan! Bahkan untuk keluar ke taman saja, beliau harus ditemani dua pelayan.""Tuan Perdana Menteri mungkin sudah menyiapkan semua ini," kata Bae Ya. "Ia tahu bahwa semua orang menganggap Nyonya Su sudah tidak waras, dan sekarang ia menggunakan tuduhan ini untuk menyingkirkannya."Sua menutup matanya sejenak, menenangkan diri. Napasnya perlahan menjadi teratur kembali. “Aku tahu ayah tidak pernah benar-benar peduli pada Ibu. Tapi kali ini, dia melangkah terlalu jauh.”"Ayah bilang, dia akan mengurus kepala pelayan itu. Jadi, seperti inikah cara ia mengurusnya? Ck ck." Tak butuh waktu lama bagi Sua untuk menyimpulkan sikap ayahnya.