Segera aku melompat dari brankar, menuju ke pintu keluar. Celaka! Pintunya macet, tidak bisa terbuka. Tiba-tiba saja embusan angin berhawa panas memukul punggungku. Pandangan ini langsung menoleh ke belakang.
Terlihat di gorden sana, kaki yang menjuntai tadi perlahan melayang mendekat dengan ditutupi gorden di bagian atasnya. Darah yang merembes di kakinya yang pucat menodai lantai keramik putih.Aku makin panik dan terus memutar-mutar kenop pintu dengan cepat. Berharap pintu ini bisa terbuka. Tidak hilang akal, aku mencoba memukul-mukul daun pintu dengan keras."Tolong! Ada orang di luar? Tolong aku!" Suaraku meninggi juga panik. Terlebih lagi gorden dengan kaki yang menjuntai itu makin mendekat. "Tolong ak---!"Napasku tercekat diiringi dengan dengan tubuh yang membeku saat kurasakan sebuah tangan yang sedingin es mendarat di pundakku."Jangan ganggu aku. Kumohon pergilah!" Aku langsung berjongkok sembari menutup wajah ketakutan.Tanganku yang tadinya mengelus-elus puncak kepala Alisa dengan sayang, sekarang menjadi gemetar pasca mendengar suara menyeramkan itu. Terlihat Alisa sudah terlelap tenang, berbeda denganku yang tengah gemetar ketakutan. Kemungkinan besar suara yang menyambung nyanyianku tadi, ialah Alina. Dia pasti akan menerorku lagi. Aku menunduk dalam, mencoba menarik napas yang terasa tercekat. Berusaha untuk mengendalikan perasaan yang gemetar ketakutan. Perasaan ini bisa menelanku sewaktu-waktu. "Jangan takut, Tania. Ingat, derajat manusia lebih tinggi dibanding setan!" bisikku tegas. Aku berusaha mensugesti diri agar berani. "Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta khudzuhuu sinatuw walaa naum. Lahuu maa fissamawati wa maa fil ardli man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa biidznih ....""Kyaaaakkk ... akan aku bunuh kamu, Tania!"Seiring dengan lantunan Ayat Kursi yang kulafalkan, jeritan amarah menggema di ruangan 5×5 meter ini. A
Atmosfer di sekitar serasa menipis. Membuatku merasa sesak napas. Mata ini terus memelotot memerhatikan darah yang terus merembes dari kedua paha perawat di sebelah brankar Mamah, serta daging segar di bawahnya yang seperti bergerak-gerak. 'Siapa perawat itu? Apakah dia manusia atau ...?' batinku gemetaran. Aku perlahan mendongak, hendak melihat bagian atas perawat itu yang sedang terhalang oleh brankar Mamah. Kosong. Tidak ada siapa pun di hadapanku. Hanya ada layar elektrokardiogram. Perawat yang bernama Yulia tadi tiba-tiba saja menghilang. Aneh, padahal jelas-jelas ada seorang perawat tadi yang datang. Merasa penasaran, aku kembali berjongkok, hendak mengecek kembali ke bawah brankar. Tidak ada juga. Hanya ada lantai keramik putih yang menyambut pandangan ini. Namun, tiba-tiba saja ada sepasang kaki penuh darah jatuh menjuntai dari brankar Mamah. Terayun-ayun pelan sambil sesekali terdengar nyanyian lirih dari atas. Aku menelan ludah denga
Pagi kembali tiba lagi. Seperti biasa, sepulang dari melaut Fadli akan langsung mengambil Alisa di rumah. Aku memberikan balita menggemaskan itu ke ayahnya. "Kenapa wajahmu murung seperti itu, Nia?" Fadli menatapku lekat. Aku mengembuskan napas kasar. "Sebaiknya ... kamu jangan lagi menitipkan Alisa kepadaku," ucapku berat. Teringat dengan ucapan para warga semalam yang seakan-akan melabeliku sebagai wanita murahan. Mereka memang tidak mengatakannya langsung, tetapi arah pembicaraan mereka sangat jelas mengarah ke hal tersebut. "Kenapa, Nia? Apa Alisa terlalu merepotkanmu?" Wajah Fadli terlihat sendu. Aku menggeleng lemah. "Alisa sama sekali tidak merepotkanku. Hanya saja ...." Ucapanku menggantung. Pandangan ini menoleh ke kiri-kanan. Benar saja, para tetangga sedang mengintai kami dari kejauhan. Mereka pasti berpikiran yang macam-macam lagi tentang aku dan Fadli. "Kenapa, Nia? Kenapa kamu terlihat tidak nyaman seperti itu
Langkah ini melewati taman yang lumayan sepi. Untuk sampai dengan cepat ke rumah Polisi Joshi, jalan yang paling cepat ialah, melewati taman ini. Polisi itu tinggal di rumah sewa yang berada di dekat pantai. Angin berlalu-lalang dengan agak kencang. Membuat diriku yang hanya mengenakan kaus panjang berkain tipis sedikit kedinginan. Akhir-akhir ini memang cuaca sering hujan disertai angin kencang. Aku berhenti melangkah saat melewati salah satu lampu taman. Pandangan ini melirik ke arah lampu yang berkedap-kedip itu. Entah kenapa, aku tertarik untuk memerhatikan lampu di dalam kaca tersebut. Bayangan diriku terpampang di kaca penutup lampu taman itu. Sekonyong-konyongnya aku juga melihat satu bayangan lagi di belakangku. Berpakaian putih dengan wajah berlumuran darah. Dia menatapku dengan mata memelotot merah. "Astagf---"Sontak saja hal itu membuat tubuhku membeku. Jantung berdebar kencang, sedangkan tanganku gemetar kedinginan. Bukannya memali
"Kyaaa ... lepaskan aku! Menjauh! Dasar pembunuh!"Aku tersentak sambil berteriak kencang. Napasku memburu disertai degup jantung yang berdentam-dentum, sedangkan kening dan pelipisku meluncur keringat dingin. Mataku mendelik ketakutan menyapu seisi ruangan. "Aku di mana?" gumamku kembali kebingungan dengan tempat sekarang berada. Aku sedang duduk di ranjang berukuran king dengan seprei bermotif loreng. Ruangan ini didominasi dengan warna kuning gading di dindingnya juga beberapa aksesoris di dalam kamar. Di samping kanan terdapat meja rias. Pandangan ini terpaku pada beberapa minyak rambut pria di atas meja itu. Kamar ini terasa familer, tetapi kamar siapa? Pikiranku menerawang. Namun, kepalaku malah berdenyut kesakitan. Adegan pembunuhan yang dialami oleh Alina terlintas di pikiran, seolah-olah slide film yang ditayangkan di depan mata. Aku memijit pelipis seraya menunduk dalam, berharap bisa mengatasi rasa sakit. Namun, mataku mala
Ketukan serta suara yang memanggil dari luar rumah, mengalihkan pandangan Polisi Joshi. Dia yang tadinya hendak mengatakan syarat biaya operasi Mamah, diurungkannya dan memilih keluar kamar. Selang beberapa menit, wanita berhijab putih tulang itu masuk ke kamar dengan membawa peralatan medisnya. "Saya periksa dulu lukamu, yah?" ucapnya ramah. Aku mengangguk dan duduk di sofa. Dokter yang bernama Wina itu juga ikutan mendudukan dirinya di sofa. "Apa yang terjadi kepadamu? Saya lihat lukamu seperti cakaran hewan buas? Kamu dari mana semalam?" Sembari menurunkan setengah kemeja dan memeriksa lukaku, Dokter Wina memberondongku dengan banyak pertanyaan. Ketika hendak menjawab pertanyaan Dokter Wina, pandanganku teralihkan oleh seseorang yang baru saja datang dari pintu masuk. Sontak saja mataku membulat dengan tangan yang menyilang di depan dada. Pipi ini juga tiba-tiba memanas melihat tatapannya yang tajam. "Em, maaf." Polisi J
Balita menggemaskan itu sedang terlelap dengan wajah yang pucat di atas brankar. Seteleh mendengar perkataan Fadli kalau Alisa demam tinggi dan sedang dirawat di rumah sakit, aku langsung memutuskan untuk menjenguk sekaligus juga ingin melihat kondisi Mamah. Aku melupakan bahwa harus ke tempat kerja. "Sejak kapan Alisa demamnya?" tanyaku sembari mengusap kepalanya sayang. "Sejak siang kemarin, dia menangis terus dan semalam puncaknya. Tubuh dia demam tinggi dan selalu menangis. Dia memanggil-manggil ibunya juga denganmu."Aku mengembuskan napas berat. Bagaimana sekarang? Tanpa sadar aku sudah mengikat tali kasih sayang dengan balita malang itu. Ingin merawatnya, tetapi orang-orang akan berpikiran buruk lagi, menganggapku sebagai wanita yang tidak baik. Namun, jika mengacuhkannya dan memilih tutup mata dan telinga tentang semua yang terjadi kepadanya, aku juga tidak sanggup. Aku sudah menyayangi Alisa seperti anakku sendiri. "Tantan."
"Ayolah, seteleh ini aku akan berikan apa pun yang kamu mau, Tania." Pak Jarot meraih pergelangan kakiku. "Lepas!" Satu tendangan membuat pria tua itu terjungkal. "Kurang ajar kamu!" geram Pak Jarot menatapku marah. Aku berusaha bangkit dan berlari dengan kondisi yang masih terpincang-pincang. Suasana di sekitar terbilang cukup sepi, peternakan Pak Jarot berada jauh dari pemukiman warga. Aku terus berlari dengan Pak Jarot yang mengejar dengan cepat. Kondisi kakiku yang kesakitan mempersulit dalam berlari. "Mau lari ke mana kamu, Tania?" Suara Pak Jarot menggelegar. Aku mengutuk diri sendiri karena dengan bodohnya ke tempat ini tadi. Dalam pelarian, aku terus berseru meminta tolong. Berharap ada seseorang yang mendengarkan. Celaka, terdengar deru motor bising Pak Jarot di belakang sana. Itu berarti dia mengejarku dengan motornya. Aku terus berlari tanpa mememdulikan kaki yang kesakitan. Keringat mulai menbanjiri wa