Share

Kapan jalan-jalan lagi?

Waktu yang semakin beranjak siang membuat warung ibu Diana semakin ramai oleh pengunjung. Naila sibuk dengan pekerjaannya. Menyiapkan makanan pesanan pengunjung, mengangkat peralatan makan yang kotor, membersihkan meja bekas makan, bahkan mencuci piring dan gelas.

"Ade."

Naila mengurungkan niatnya untuk membawa piring dan gelas kotor ke belakang warung, ketika di lihatnya sosok lelaki gagah itu bergegas menghampirinya.

"Abang." Ada binar di matanya. Sekilas ia mengamati penampilan laki-laki yang baru datang itu. Semakin hari sosoknya terlihat semakin menawan di dalam pandangannya..

"Abang mau makan apa?" tanyanya.

"Apa saja, Ade. Asal jangan masakan yang rasanya agak manis. Abang tidak suka."

"Silahkan Abang pilih sendiri. Ade gak tahu makanan kesukaan Abang," ucapnya.

Laki-laki itu mengamati berbagai macam masakan yang ada di hadapannya, kemudian menunjuk ayam goreng bumbu kuning.

Naila tertawa dengan menu makanan yang sudah di pilih oleh laki-laki itu.

"Jangan ikut-ikutan seleranya Nayra, Bang." Akan tetapi, tak urung dia tetap menyiapkan pesanan pengunjung spesialnya ini.

Naila menyerahkan piring berisi ayam goreng, lalapan dan tak lupa sambal terasi khas Banjar.

"Abang duduk aja dulu ya. Biar Ade ambil nasi dan minuman buat Abang," ucap Naila.

Laki-laki itu membawa sepasang kakinya menuju salah tu meja kosong dengan sebuah piring di tangan kanannya. Ia tersenyum tipis melihat perempuan muda itu kembali menghampiri dirinya.

"Ade." Sebuah suara yang membuat perempuan muda itu bergegas mendekat.

"Ada apa Bang?"

"Coba deh, kamu bikin sambal terasi seperti ini, tapi nggak usah pakai gula. Di lidah Abang, sambal seperti ini terasa manis dan Abang kurang suka," ucapnya.

"Oh, maaf ya, Bang. Ade tidak tahu. Sebentar ya, Ade akan membuatkannya buat Abang." Perempuan itu kembali bergegas ke belakang.

Tak memerlukan waktu yang lama buat Naila untuk membuat sambal pesanan laki-laki itu. Hanya kurang lebih sepuluh menit. Naila sudah kembali ke meja Ammad dan meletakkan sebuah piring kecil.

Ammad mengambil sepotong tempe goreng dan mencocolnya dengan sambal.

"Gimana Bang?" Di bibirnya terlukis sebuah senyuman.

Dia mengacungkan jempolnya.

"Lain kali kalau Abang yang makan, sambalnya yang seperti ini aja ya? Di banyakin cabe dan garamnya juga tidak apa-apa. Malah makin sedap,"

Naila geleng-geleng kepala.

"Ade tidak bisa membayangkan gimana rasanya sambal tanpa penggunaan gula sama sekali," ucap wanita itu.

Ammad tertawa lepas.

"Suka-suka Abang lah." sahutnya.

"Masakan Banjar itu manis. Kalau masakan Medan itu cenderung asin dan pedas. Perut Abang mual kalau makan masakan yang manis." Dia mulai asyik dengan suapannya.

"Makanya selama dua bulan di sini, Abang selalu bingung cari makan. Bahkan di sini, nasi goreng aja rasanya manis," keluhnya.

"Iya deh, Bang. Datang saja ke warung ini kalau mau makan. Ntar Ade masak makanan sesuai request Abang," ucap Naila.

"Akan tetapi, bayar ya," canda Naila.

Laki-laki itu tertawa terpingkal-pingkal.

"Iya dong. Ini kan warung makan. Bisa-bisa Abang di amuk yang punya warung kalau tidak bayar." Dia menatap Naila yang duduk di hadapannya dengan pandangan khasnya.

"Tenang aja, Mad, kalau mau di masakin terus sama Naila sesuai keinginan, tinggal di halalin saja," celutuk ibu Diana.

Rupanya wanita separuh baya itu mendengar percakapan mereka.

"Wah.. Ide bagus ini, Bu. Sayangnya, Naila nggak bakalan mau," sahutnya.

"Memangnya sudah pernah di coba, Mad?"

"Belum sih."

"Makanya di coba dulu, Mad. Siapa tahu Naila mau," ucap ibu Diana sambil tersenyum.

"Ihh  .. apaan sih?" protes Naila.

"Kalian ngomong apa? Awas, jangan macam-macam ya," gertaknya.

Kedua orang itu kembali tertawa bersamaan. Suara tawanya bahkan membuat pengunjung lain menoleh pada mereka.

"Tak usah malu-malu begitu, Naila. Ammad ini orangnya baik kok. Dia juga menyukai Nayra. Kurang apa lagi?"

"Naila cuma berteman, Bu. Hanya teman," sahut Naila.

"Teman biasa apa teman tapi mesra? Hayoo ...."

Naila segera memilih ambil langkah seribu. Berlari menuju belakang warung dengan menyembunyikan wajahnya yang memerah bak kepiting. Sayup-sayup didengarnya tawa  Ammad dan ibu Diana kembali memecah keramaian suasana warung sederhana itu.

❣️❣️❣️

Malam sudah semakin larut, tapi pembicaraan mereka tadi siang masih saja terngiang-ngiang di telinga Naila. Dia benar-benar tak habis pikir dengan cara bercanda keduanya yang menurutnya sangat tidak lucu.

Entah kenapa hatinya merasa bimbang. Siapa yang benar dan siapa yang berdusta? Ucapan dari siapa yang harus dia percayai?

[Bang, apakah benar apa yang  Abang bilang tadi siang di warung?]

[Hahaha.. Abang cuma bercanda. Jangan di ambil hati ya]

[Sejak kenal sama Abang, Ade selalu di godain sama ibu Diana. Ade malu]

[Biar aja De. Yang tahu hubungan kita seperti apa, cuma kita sendiri. Abang sebenarnya sayang sama Ade, tapi hanya sebagai sahabat. Tidak apa-apa, kan?]

[Makasih ya, Abang udah perhatian sama Ade dan juga Nayra]

[Sama-sama, Ade. Abang juga terima kasih karena sudah boleh berteman sama Ade]

[Ya udah, sekarang Ade bobo ya. Besok kan harus kerja lagi]

[Oke, Abang. Sekarang Ade bobo]

[Abang juga bobo ya. Jangan begadang]

[Pastilah, Dek manis. Setelah selesai mengerjakan laporan, Abang bobo. Oke?]

[Oke. Met malam, Abang]

[Met malam Ade]

Naila meletakkan ponsel ke tempat tidur, lalu merebahkan tubuhnya di pembaringan. Raganya begitu lelah setelah bekerja seharian. Di tambah lagi dengan hatinya. Sosok gagah itu lagi-lagi terbayang di pelupuk matanya.

Ah, betapa sulitnya meraba isi hati seseorang. Jangankan hati orang lain, hatinya sendiri pun dia tak pernah menyelam sampai ke dasarnya.

❣️❣️❣️

Allahu Akbar ...

Allahu Akbar ...

Subuh ini terasa begitu berbeda. Meskipun hawa dingin seakan menembus sampai ke tulang sumsum, Naila tetap berusaha menunaikan kewajibannya dengan sebaik mungkin. Hanya kali ini, ia memilih menunaikan shalat subuh di kamarnya.

Seusai shalat subuh, ia membimbing putrinya untuk menyetor hafalannya. Saat ini Naila sedang menghafal surah-surah pendek di juz 30.

"Mama," katanya manja. Gadis kecil itu memposisikan dirinya di dalam rangkulan Naila. Saat ini mereka sudah berada di dapur.

"Iya, sayang. Ada apa?"

"Kita sarapan apa pagi ini?" Gadis kecil itu mengerjapkan mata mungilnya saat melihat sang ibu tengah sibuk mencari bahan makanan yang bisa di masak.

Akhirnya Naila menemukan sebutir telor di rak penyimpanan.

"Mama masak nasi goreng saja ya? Di dalam magic jar masih ada sedikit nasi." Naila menjawab sembari memecahkan telor ke mangkok kaca berukuran kecil.

"Iya, Mama,"

Pepatah yang mengatakan bahwa anak adalah peniru ulung barangkali benar. Gadis kecil itu begitu memperhatikan apa yang di lakukan oleh ibunya. Bahkan sampai detil sekalipun. Sesekali ia bertanya kepada ibunya dan Naila selalu berusaha untuk menjawab sebisanya.

"Alhamdulillah, nasi gorengnya sudah siap," kata Naila. Wanita itu mengambil tiga buah piring, sendok dan gelas.

"Sarapan dulu, Nak. Jangan lupa berdoa," suruh Naila.

Perempuan itu mendaratkan tubuhnya di kursi tepat di samping ibunya. Ia mulai menikmati nasi goreng yang masih hangat itu setelah sebelumnya merapal doa.

"Mama, kapan ya, om Ammad kembali mengajak kita jalan-jalan? Nayra pengen ketemu om Ammad lagi."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status