LOGIN“Dia kembali,” bisik seseorang, nyaris tak terdengar. Lingga tidak menghentikan mereka. Ia berjalan di sisi Zhiya, sejajar—bukan setengah langkah di depan seperti raja, bukan pula di belakang seperti penjaga. Sikap itu sendiri adalah pernyataan. Malam itu, tidak ada perintah. Tidak ada lonceng ritual. Tidak ada tetua yang dipanggil. Zhiya menghentikan langkahnya di koridor sebelum Aula Air Tua. Ia menoleh pada Lingga, dan untuk sesaat, semua beban raja, kutukan, dan bulan hitam seolah menjauh. “Tidak malam ini,” katanya pelan. “Aku kembali… bukan sebagai jawaban dunia.” Lingga menatapnya, membaca sesuatu di wajahnya yang tidak tertulis dalam ramalan mana pun. “Lalu sebagai apa?” Zhiya tersenyum tipis—lelah, jujur. “Sebagai seseorang yang merindukanmu.” Kata-kata itu jatuh sederhana, tanpa dramatisasi. Justru karena itu, Lingga terdiam lama. Wibawa raja itu luruh perlahan, digantikan oleh sesuatu yang lebih manusiawi. Ia mengangguk. “Kalau begitu… ikut aku.” Merek
Tidur itu datang pelan, seperti seseorang yang menutup mata dengan sadar—bukan karena lelah, melainkan karena siap. Zhiya merasakan dirinya melayang, menembus lapisan sunyi yang kini tak lagi asing. Saat kakinya menyentuh tanah, hawa dingin merambat naik dari telapak kaki, membawa aroma tanah basah dan air tua. Qingzhou. Namun kali ini, ia tidak berada di istana. Di hadapannya terbentang Sungai Bayangan—perbatasan yang hanya muncul saat dua dunia saling menoleh. Airnya tidak mengalir seperti sungai biasa. Ia bergerak lambat, memantulkan langit gelap yang bukan langit, seolah setiap riaknya adalah potongan ingatan yang tenggelam. Di seberang sungai itu, seseorang berdiri. Lingga. Ia tidak terikat, tidak terluka. Jubahnya sederhana, rambutnya terikat longgar. Cahaya samar dari entah mana membingkai siluetnya, membuatnya tampak nyata—lebih nyata dari semua kemunculannya sebelumnya. “Kau datang,” kata Lingga, suaranya membawa kelegaan yang tidak ia sembunyikan. Zhiya mel
Malam-malam berikutnya, pikiran itu tidak lagi sekadar bayangan. Ia menetap. Zhiya duduk sendirian di pantai, pasir dingin menyentuh telapak kakinya. Laut berkilau gelap, memantulkan cahaya bulan yang kian menipis. Di kejauhan, mercusuar berputar pelan—penanda arah bagi kapal yang ragu. Ia menatapnya lama, lalu menunduk, menyadari ironi yang membuat dadanya sesak. Selama ini ia bertahan di Aetheria karena tubuhnya ada di sini. Karena kehidupan yang seharusnya. Karena rasa aman yang masuk akal. Namun Qingzhou memanggilnya bukan sebagai pelarian. Melainkan sebagai tujuan. Ia teringat wajah Lingga saat berkata ia merindukannya—bukan permintaan, bukan tuntutan. Hanya kebenaran yang dibiarkan berdiri apa adanya. Ia teringat kematian yang disaksikannya, pengorbanan yang tak pernah diberi pilihan. Dan ia teringat kata-kata ibunya: jangan pergi karena ditarik—pergilah karena memilih. Zhiya menutup mata. “Aku tidak ingin kembali sebagai roh yang terseret,” bisiknya pada angin l
Udara di kamar itu kembali berubah. Bukan seperti mimpi yang runtuh, melainkan seperti kenyataan yang bergeser setengah langkah. Cahaya lampu meredup tanpa padam. Bayangan di sudut ruangan memanjang, lalu berhenti—terlalu teratur untuk sekadar permainan cahaya. Zhiya merasakannya lebih dulu daripada melihatnya. Ia menoleh perlahan. Di dekat jendela, di tempat tirai tipis bergoyang pelan, sebuah bayangan berdiri. Bukan hitam pekat, melainkan berlapis—seperti siluet yang diisi cahaya redup dari dalam. Garis bahunya tegas. Posturnya dikenalnya terlalu baik. “Lingga…?” suaranya nyaris tak keluar. Bayangan itu bergerak satu langkah maju. Lantai kayu tidak berbunyi, namun keberadaannya terasa—menekan udara, menenangkan sekaligus menggentarkan. “Aku tidak ingin kau melihatnya dengan cara itu,” suara Lingga terdengar. Bukan gema, bukan bisikan. Nyata. Berat. “Tapi kau memang harus tahu.” “Lingga, aku, tak sanggup melihatmu menderita seperti itu,” lirih Zhiya dengan air mata ya
Hari-hari setelah malam itu berjalan lambat, seolah waktu di pesisir Aetheria kehilangan kebiasaan lamanya. Zhiya tenggelam dalam pikirannya. Ia tetap bangun pagi, membantu ibunya di rumah, berjalan menyusuri pantai saat matahari naik rendah. Dari luar, ia tampak baik-baik saja—lebih sehat bahkan, dibanding saat ia terbaring tak sadar di rumah sakit. Namun di dalam dirinya, kata-kata Lingga terus berulang, berlapis-lapis, tak mau diam. Bulan hitam akan naik. Rohmu akan tertarik kembali. Setiap kali angin laut menyentuh kulitnya, Zhiya bertanya-tanya apakah itu benar-benar angin, atau hanya cara lain dunia lain mengingatkannya. Saat malam tiba dan bulan biasa menggantung pucat di langit, ia menatap terlalu lama, menunggu sesuatu yang tidak seharusnya datang. Tidurnya dangkal. Dalam mimpi, ia tidak selalu kembali ke Qingzhou. Kadang hanya koridor kosong tanpa lentera. Kadang suara langkah kaki yang berhenti tepat di belakangnya. Kadang bayangan Lingga yang berdiri jauh, ti
Beberapa hari berlalu dengan ritme yang pelan—ritme yang sengaja dipilih agar tubuh Zhiya benar-benar belajar tinggal. Pagi itu, sinar matahari jatuh lembut di kamar rawat. Zhiya duduk setengah bersandar, sudah tanpa infus, hanya monitor kecil yang sesekali berbunyi tenang. Ibunya duduk di kursi dekat jendela, mengupas apel dengan gerakan hati-hati, seolah setiap potongan adalah doa kecil agar semuanya baik-baik saja. Arga berdiri di ambang pintu ketika dokter masuk, membawa map tipis. “Kondisi pasien stabil,” katanya. “Hari ini boleh pulang, dengan catatan istirahat total. Tidak begadang, tidak stres berat.” Zhiya tersenyum kecil. “Siap, Dok.” Setelah dokter pergi, ibunya menoleh. “Kita pulang ke rumah ibu dulu,” katanya tegas namun penuh sayang. “Apartemenmu terlalu sunyi untuk orang yang baru kembali.” Zhiya mengangguk. “Aku juga ingin itu.” Arga membantu membereskan barang-barang kecil. Saat semuanya siap, Zhiya berdiri pelan, merasakan lantai dingin di telapak kakinya







