Accueil / Romansa / Tawanan Hasrat Raja Lingga / Roh Zhiya Mulai Goyah

Share

Roh Zhiya Mulai Goyah

Auteur: QuinzeeQ
last update Dernière mise à jour: 2025-12-22 12:23:41

Di Aetheria, waktu berjalan tanpa menunggu siapa pun.

Apartemen Zhiya sunyi—terlalu sunyi. Tirai jendela masih tertutup sejak pagi, dan tidak ada balasan dari pesan Arga sejak semalam. Awalnya ia mengira Zhiya hanya kelelahan. Namun ketika siang bergeser ke sore dan telepon tetap tak terangkat, kegelisahan itu berubah menjadi firasat buruk.

Arga berdiri di depan pintu apartemen dengan napas tertahan. Ia menekan bel sekali. Tidak ada jawaban. Sekali lagi. Tetap sunyi.

“Zhiya…” panggilnya pelan, lalu lebih keras.

Ia membuka pintu dengan kunci cadangan yang pernah Zhiya titipkan untuk keadaan darurat. Udara di dalam terasa pengap—bukan panas, melainkan stagnan. Lampu mati. Jam dinding berdetak lambat, terlalu nyaring di tengah keheningan.

Arga melangkah masuk, jantungnya berdebar cepat. “Zhiya?”

Ia menemukannya di kamar.

Zhiya terbaring di ranjang, mata terpejam, wajahnya pucat. Napasnya ada—namun dangkal, seolah tubuhnya hanya mengingat kewajibannya untuk bertahan. Ujung j
Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Chapitre verrouillé

Latest chapter

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Tubuh Yang Tak Kunjung Sadar

    Di Aetheria, kepanikan tidak lagi bisa disamarkan sebagai kekhawatiran biasa. Arga duduk di tepi ranjang sejak entah kapan. Jam dinding sudah berpindah beberapa kali, namun Zhiya tetap tak bergerak. Napasnya masih ada—tipis, teratur dengan cara yang membuat jantung Arga justru semakin berdebar. Seperti tubuh yang bertahan hanya karena lupa bagaimana caranya berhenti. “Zhiya…” Ia menggenggam tangan perempuan itu lebih erat. Dingin. Terlalu dingin untuk seseorang yang keningnya panas. Ia berdiri, mondar-mandir di kamar sempit itu, lalu kembali lagi. Ponselnya sudah berada di tangannya sejak tadi, layar menyala dengan nomor darurat yang belum juga ia tekan. Setiap detik berlalu seperti pengkhianatan. “Kenapa kamu belum bangun?” suaranya pecah. “Kamu bilang cuma mimpi. Kamu bilang kamu bisa kembali kapan saja.” Zhiya tidak menjawab. Arga menempelkan telinganya ke dada Zhiya, memastikan detak jantung itu masih ada. Ada. Namun lemah. Seolah jaraknya semakin jauh dari dunia ini.

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Keputusan Akhir

    Keheningan Aula Putih kembali menegang—namun kali ini, bukan karena sihir atau ancaman perang. Raja Jizhou berdiri perlahan. Tongkat kekuasaannya tidak lagi menjadi penopang wibawa, melainkan beban yang ditariknya dengan susah payah. Matanya tidak tertuju pada Lingga, juga tidak pada para saksi Yongzhou. Pandangannya jatuh pada lantai batu—tempat kebenaran akhirnya menuntut nama. “Cukup,” katanya pelan. Satu kata itu menghentikan segalanya. “Aku tidak datang untuk memperdebatkan ritual,” lanjutnya, suaranya serak. “Atau untuk menukar perjanjian dengan alasan kuno.” Ia mengangkat kepala, menatap lurus ke depan. “Aku datang karena kemarahanku sendiri—dan itu membuatku buta.” Bisik-bisik mereda. Bahkan napas para penjaga terdengar jelas. Raja Jizhou melangkah maju satu langkah. “Putriku, Lusi, bertindak di luar batas. Bukan sebagai tunangan Qingzhou, bukan sebagai alat politik—melainkan sebagai seseorang yang menyalahgunakan darah kerajaannya.” Zhiya merasakan dada sesaknya

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kejahatan Yang Terungkap

    Aula Putih dipenuhi cahaya siang yang dingin. Tidak ada musik. Tidak ada dupa. Hanya lantai batu pucat yang memantulkan langkah para tamu—langkah yang terukur, sarat makna. Bendera Qingzhou berdiri di tengah, diapit panji Jizhou dan Yongzhou, disusun sejajar, tak satu pun lebih tinggi. Konfrontasi antar kerajaan dimulai tanpa aba-aba. Raja Jizhou memasuki aula dengan jubah biru tua berbordir emas, wajahnya keras, matanya menyapu ruangan seolah sedang menghitung kemenangan. Di belakangnya, para menteri dan jenderal berdiri kaku. Dari sisi lain, perwakilan Yongzhou duduk tenang—datang sebagai saksi, bukan pihak. Lingga berdiri di pusat aula. Tidak di singgasana. Zhiya berdiri setengah langkah di belakangnya. “Aku menuntut penjelasan terakhir,” suara Raja Jizhou menggema, dingin dan tajam. “Putriku—tunanganmu—dikurung tanpa pengadilan. Aliansi diinjak. Kehormatan Jizhou dipermalukan.” Hening menegang. Beberapa pasang mata beralih ke Zhiya, mengenalinya sebagai inti dari semua d

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Roh Zhiya Mulai Goyah

    Di Aetheria, waktu berjalan tanpa menunggu siapa pun. Apartemen Zhiya sunyi—terlalu sunyi. Tirai jendela masih tertutup sejak pagi, dan tidak ada balasan dari pesan Arga sejak semalam. Awalnya ia mengira Zhiya hanya kelelahan. Namun ketika siang bergeser ke sore dan telepon tetap tak terangkat, kegelisahan itu berubah menjadi firasat buruk. Arga berdiri di depan pintu apartemen dengan napas tertahan. Ia menekan bel sekali. Tidak ada jawaban. Sekali lagi. Tetap sunyi. “Zhiya…” panggilnya pelan, lalu lebih keras. Ia membuka pintu dengan kunci cadangan yang pernah Zhiya titipkan untuk keadaan darurat. Udara di dalam terasa pengap—bukan panas, melainkan stagnan. Lampu mati. Jam dinding berdetak lambat, terlalu nyaring di tengah keheningan. Arga melangkah masuk, jantungnya berdebar cepat. “Zhiya?” Ia menemukannya di kamar. Zhiya terbaring di ranjang, mata terpejam, wajahnya pucat. Napasnya ada—namun dangkal, seolah tubuhnya hanya mengingat kewajibannya untuk bertahan. Ujung j

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Pertemuan 3 kerajaan

    Tekanan dari Jizhou tidak berhenti pada surat. Tiga hari kemudian, bendera biru-perak Jizhou terlihat dari menara pengawas barat Qingzhou—berbaris rapi di kejauhan, cukup jauh untuk disebut “kunjungan”, cukup dekat untuk disebut ancaman. Genderang tidak ditabuh, panji perang tidak dikibarkan, namun pesan itu jelas: kami menunggu perintahmu menyerah. Di ruang strategi, para penasihat berkumpul. Peta terbentang di meja batu, batu-batu penanda digeser perlahan. Lingga berdiri di ujung meja, wajahnya tenang, suaranya tegas. “Qingzhou tidak akan memindahkan Putri Lusi,” katanya. “Dan tidak akan menyerahkan siapa pun.” Seorang menteri tua menarik napas berat. “Yang Mulia, Jizhou tidak akan mundur tanpa simbol kemenangan. Mereka menginginkan wajah.” Semua mata beralih—tanpa disadari—ke arah Zhiya yang berdiri sedikit di belakang Lingga. Zhiya melangkah maju sebelum Lingga sempat bicara. “Aku tidak akan menjadi simbol siapa pun,” katanya tenang. “Namun aku bersedia menjadi alasan.

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Konflik antar kerajaan

    Ketenangan pagi itu tidak bertahan lama. Seusai sarapan, suara langkah cepat memecah ritme istana. Seorang pengawal masuk dengan wajah tegang, berlutut di ambang pintu ruang dalam. “Yang Mulia,” katanya, “utusan dari Kerajaan Jizhou telah tiba. Mereka menuntut penjelasan.” Lingga berdiri, ekspresinya langsung berubah—tenang, namun mengeras di sudut-sudutnya. “Tentang apa.” “Putri Lusi,” jawab pengawal itu hati-hati. “Mereka mempertanyakan mengapa ia masih ditempatkan di Istana Dingin.” Zhiya yang berdiri di dekat jendela merasakan hawa ruangan menurun. Nama itu bukan asing. Istana Dingin—tempat yang tidak digunakan untuk menghukum secara resmi, namun cukup untuk membuat seseorang dilupakan. “Mereka meminta audiensi langsung,” lanjut pengawal. “Dan… nada mereka tidak bersahabat.” Lingga mengangguk singkat. “Siapkan Aula Timur. Aku akan menemui mereka.” Pengawal mundur. Lingga berbalik dan mendapati Zhiya menatapnya dengan sorot penuh pertanyaan—bukan tuduhan, melainkan ke

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status