“Dirga mulai mendekati pimpinan Cheng. Di sebelah utara.”
Saga sudah memperkirakan hal itu sejak menyadari kemunculan Dirga di pesta ini. Dirga tak pernah mendengarkan peringatannya dengan baik, kebodohoan itu jugalah yang membuat Sesil jatuh dalam cengkeramannya. Skenario terburuk, pria itu tak akan menyerah untuk mendapatkan Sesil dan akan menggunakan segala cara untuk mengusiknya. Membuat Saga semakin tertantang dalam permainan ini. “Apa kau sibuk, Max?”
Max menggeleng sekali. Ia punya janji menyapa beberapa teman, tapi malam masih panjang untuk memulai rencananya. Pesta juga sepertinya belum benar-benar dimulai.
“Temani Sesil. Kalian bisa mengobrol sedikit sambil mengawasinya untukku. Jangan sungkan memperingatkannya jika dia mulai bertindak tak masuk akal.”
Sesil memutar kepala dan melemparkan pelototan mata tersinggung dengan kata-kata Saga.
Saga menunduk, mengecup kening Sesil dan berbisik, “Aku tak
Sesil menggerutu karena Jon yang tak kunjung datang setelah sepuluh menit berlalu. Ia berjalan melintasi halaman yang luas menuju jalanan yang sepertinya mengarah ke gerbang. Mencari tempat yang jauh dari pengawal bersetelan hitam putih yang berjaga di depan pintu tunggal. Ia ingin menunggu sambil meratapi kesendiriannya tanpa orang lain mengetahui bagaimana menyedihkan dirinya di antara kemewahan yang membungkus tubuhnya.Sesil mengamati bangunan bertingkat tiga yang tampak megah di hadapannya. Yang mau tak mau mengingkatkannya akan rumah Dirga. Menyadari bahwa tingkat sosialnya dan Dirga memang jauh berbeda meskipun ia mengakui ketulusan cinta Dirga untuknya. Dan sekarang ...Sesil mendongak, menatap balkon yang ada di samping bangunan ketika satu gerakan tertangkap sudut matanya. Maniknya menyipit mengenali salah satu dari dua sosok yang tengah berbincang di atas sana adalah Saga. Dengan seorang wanita mengenakan gaun berwarna perak dan berambut hitam legan da
Beberapa menit yang lalu pria itu menyeretnya agar mereka segera pulang sampai mengeluh hanya karena ia haus dan ingin minum. Dan sekarang, Saga membuatnya menunggu sedangkan pria itu bersenang-senang dengan wanita lain. Bercumbu di sudut balkon yang sepi dan dengan keremangan yang melingkupi keduanya. Membiarkannya sendiri dan menunggu di tengah jalan seperti orang tolol. Pria itu memang pandai mempermainkan emosinya.Rasa dingin yang berasal dari logam di antara jemari tangan mengalihkan perhatian Sesil. Hatinya mendadak semakin mendidih menatap cincin yang disematkan Saga di hari pernikahan mereka. Cincin pernikahan sialan! batin Sesil sambil menarik cincin tersebut dan melemparnya ke arah halaman berumput sangat luas di hadapannya sekuat tenaga. Lalu mengembuskan napas dengan keras merasakan kepuasan yang entah kenapa malah terasa menjengkelkan. Mungkin ia jengkel karena cincin yang ia buang sangat cantik dan indah. Mungkin juga karena ia takut Saga akan menyuruh
“Pergilah!” usir Saga pada perawat yang sedang mengoleskan salep pada tumit Sesil dengan sangat lambat.Perawat itu mematung lalu mendongak dengan ketakutan. Wajah tampan Saga menakjubkan, dengan mata sebiru lautan yang menghanyutkan wanita mana pun. Tetapi, aura berbahaya yang menyelubungi pria itu adalah sesuatu yang dijauhi secepat mungkin.“Tinggalkan semua itu di sini. Aku yang akan melakukannya sendiri,” jelas Saga tak sabaran. Ia sudah biasa terluka dan merawat lukanya sendiri dengan benar tanpa bantuan seorang dokter. Tentu merawat luka seringan lecet karena sepatu berhak tinggi bukanlah masalah.Perawat itu masih tak bergerak. Hendak menjelaskan bagaimana cara merawat luka lecet itu dengan benar. Tetapi, aura mencekam yang memenuhi udara di sekitar mereka membuatnya membeku. Belum lagi dengan pistol nampak jelas bersarung di pinggang Saga, membuatnya semakin menggigil oleh ketakutan.Mata Saga mendelik, siap memakan perawa
“Kau mungkin bisa memaksa kita menjadi pasangan, Saga. Tapi kautahu kita tak akan bisa menjadi orang tua.” Sesil memecah keheningan ketika mobil yang mereka tumpangi mulai keluar dari halaman rumah sakit dan membelah lalu lintas yang padat. Setelah mereka bangun jam delapan pagi, Sesil bersikeras meminta pulang. Ia merasa dirinya sudah kembali bugar setelah tertidur dan tak mendapatkan keluhan apa pun. Ia beralasan merasa pusing mencium bau rumah sakit. Beruntung alasan tak masuk akalnya diterima oleh Saga tanpa perdebatan sekecil apa pun.“Kita sudah menikah.” Saga menjawab dengan enggan masih dengan kepala menghadap ke depan. Entah apa yang dipikirkan pria itu ketika mengurut-urut dagunya yang tak gatal sejak masuk ke mobil. Bahkan pria itu tak banyak mengeluh dan terkesan menutup mulut dengan permintaan atau penolakan Sesil yang biasanya akan menjadi masalah besar.“Ini bukan pernikahan ...”Saga menoleh. “Terima saja
“Apa kauingin sesuatu?”“Jangan bertanya jika kau memang tak akan mengabulkannya.” Sesil menggumam lirih sambil membalik buku yang ada di pangkuannya tanpa menggerakkan kepalanya sedikit pun untuk pria itu.“Biasanya wanita hamil menyukai berdekatan dengan ayah si bayi, kurasa aku tak keberatan jika kau tiba-tiba begitu bernafsu padaku.”“Jangan bermimpi dengan mata terbuka, Saga.” Sesil mengangkat wajahnya dan menatap dengan sinis ke arah Saga. Pria itu baru saja keluar dari kamar mandi. Masih dengan rambut basah dan hanya mengenakan handuk di pinggang. Titik-titik air masih membasahi dada bidang pria itu yang terekspos bebas. Aura kejantanan yang begitu kuat dan keras sesaat mengirimkan sinyal gelenyar aneh ke pikiran Sesil yang sedikit konslet. Lalu, gelenyar itu menyebar ke seluruh tubuh dan membuat seluruh tubuhnya melemah. Dan semakin tak terkendali saat pria itu mulai mendekat dan duduk di sofa tunggal di sa
Gedoran keras di pintu mengagetkan Sesil dari lamunannya. Sesil terkesiap kaget, memutar tubuh bersandar pada wastafel, dan menatap pintu dengan ngeri. Apa Saga mulai naik darah? Apa pria itu menyadari kebohongannya secepat ini? Tidak, mungkin dari awal pria itu memang sudah mengetahui kebohongannya. Pria itu tahu segalanya, bahkan pikiran terdalam yang berusaha ia tutup rapat-rapat sekalipun. Tubuhnya membeku dan kedua tangannya yang memegang pinggiran wastafel mulai berkeringat.“Apa kau pikir aku tak tahu apa yang kaulakukan di dalam sana? Aku bahkan tak bisa berkata-kata dengan ketololanmu, Sesil,” geram Saga dengan kedua tangan terkepal. Rahang pria itu mengeras, seolah menahan emosi yang meluap-luap tak terkendali.Setelah semua kesabarannya menghadapi sikap Sesil sejak di rumah sakit, dan wanita itu masih berpikir bisa mempermainkannya lebih jauh. Ia tak menyangka Sesil menipunya mentah-mentah begini. Ia hampir percaya semua kebohongan wanita itu, ji
Alec terdiam sejenak. Lalu beralih mengamati wajah Sesil. “Dan sepertinya kau tidak terlalu senang. Apa Saga akan merawat anak kalian?”Sesak itu datang lagi ketika kepalanya hendak mengangguk mengiyakan. Jadi ia hanya terpaku dan menatap Saga di kejauhan dari samping tubuh Alec.“Apa dia juga berjanji akan melepaskanmu lengkap dengan nyawamu?”Sesil tersentak. Matanya membelalak tak percaya. Apa yang dimaksud Saga melepaskannya itu adalah membunuhnya? Sesil menelan ludahnya yang serasa seperti gumpalan batu. “Aa ... apa maksudmu, Alec?”Alec mengibaskan tangan di depan wajah dengan kekehan ringannya. “Kau tahu, Saga sangat pandai memanipulasi pikiran orang. Memanipulasi kata-kata tentu jauh lebih mudah. Aku hanya ingin kau memastikan kesepakatan apa pun yang kau buat dengan Saga, buatlah setidaknya pria itu membiarkan nyawamu masih melekat di tubuhmu. Serusak apa pun kau, bernapas melebihi segalanya, Ses
Sesil menatap dua pelayan yang masuk dan meletakkan nampan berisi daging panggang, berbagai macam sayuran yang ditusuk jadi satu, segelas jus berwarna merah, dan saus sebagai pelengkap. Air liur Sesil seketika membasahi seluruh mulutnya dan ia segera mengambil tempat di sofa untuk mulai menyantapya. Ia tak menahan diri untuk memenuhi perutnya dengan semua santapan nikmat itu. Sikap Saga yang menyebalkan dan memeras emosi Sesil, membuatnya lebih sering merasa lapar.Mungkin diagnosis dokter yang salah. Mengatakan bahwa nafsu makan wanita hamil berkurang di trimester pertama. Mual dan muntah karena mencium bau makanan. Tetapi Sesil, saat ia mencium bau makanan, ia merasa liurnya hampir menetes dan ia akan memakan apa pun demi menuntaskan mulutnya yang tak pernah ingin berhenti mengunyah.Tanpas sadar, salah satu kamera menyala dan terfokus hanya pada Sesil. Menangkap sekecil apa pun ekspresi yang melintas di wajah mungil itu. Termasuk saus yang belepotan di sisi bibir Se