Share

Terbelenggu Takdir
Terbelenggu Takdir
Author: atriaskhaer

1. Kamuflase Hati

“Nat, kita putus aja.”

Adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh seorang lelaki bernama Aditya Davendra. Wajahnya masih menampakkan rasa kesal, marah, kecewa, dan lelah. Kata-kata kasar juga sempat ia keluarkan untuk seorang gadis bernama Natya Lavani.

Gadis yang kerap disapa Natya itu terkejut. Siapa yang tidak? Pacarnya tiba-tiba datang dan menyuruhnya untuk keluar rumah menuju halaman pada malam hari, yang hampir menunjukan pukul 12. Mendengar kalimat pertama yang dikeluarkan pacarnya, membuat ia berusaha mengatur napas dengan mengepalkan tangan di dalam kantong kardigannya.

“Dit, kamu nggak bisa mutusin ini sendiri. Kamu tahu kalau aku itu kumpul sama temen-temen dari tempat kerja aku. Kamu juga udah tahu siapa mereka. Awalnya emang temen cewek aku banyak yang ikut, tapi mereka pulang duluan dan sisa yang cowoknya aja. Kamu nggak bisa mutusin aku cuma karena cemburu.”

“Nat. Jujur, gue udah capek banget ngadepin lo. Berapa kali sih gue udah bilang? Jangan kumpul-kumpul sama cowok lain dan jangan mau dianter pulang sama cowok lain. Tapi sekarang? Lo diem-diem ikut kumpul, terus dianter pulang juga. Lo bilang sama gue lo nggak ikut, tapi temen lo update status dan ada lo di sana. Coba kalau gue nggak cari tahu? Pasti lo bakal bohongin gue lagi.”

Adit memotong perkataan Natya—yang notabenenya sudah menjadi pacarnya selama 8 tahun sejak mereka duduk di bangku SMA. Dan sekarang Adit memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Natya.

“Dit, kamu pikir yang capek kamu aja? Aku juga, Dit! Kamu selalu ngelarang aku buat deket sama cowok. Padahal kamu tahu sendiri kalau di tempat kerja udah pasti ada cowok. Kamu bahkan nyuruh aku naik ojek tengah malem ketimbang aku dianter sama temen cowok aku yang udah kayak adik aku sendiri. Rasa cemburu kamu itu keterlalun, Dit.”

“Keterlaluan?” ulang Adit, kemudian dia tertawa. “Natya, gue cuma mau lo aman.”

“Aku aman, Dit. Aku aman selama pikiran kamu nggak terlalu negatif sama semua cowok di sekitar aku. Lagian arah rumah aku sama Faris juga sama, jadi sekalian aja pulang bareng. Apa salahnya sesekali?”

“Sesekali?” ulang Adit lagi, tidak terima. Wajahnya semakin memerah.

“Iya. Karena selama ini kamu nyuruh aku turun dari motor cowok lain tiap aku baru aja mau dianter pulang. Dit, kita ini udah pacaran 8 tahun, masa kamu nggak percaya sama aku?”

“KITA UDAH PACARAN 8 TAHUN HARUSNYA LO LEBIH PAHAM APA MAU GUE, BANGSAT!”

Amarah Adit sepertinya sudah tidak bisa dibendung lagi. Kata-kata kasar keluar dari mulutnya, bahkan dengan teriakan yang memekakkan telinga. Natya sangat terkejut, dan tentu saja tubuhnya bergetar karena tangis.

“Kamu … kamu bakal nyesel, Dit.” suara Natya parau. “Sama kayak kamu mutusin aku secara sepihak tahun lalu. Kamu minta aku kasih kesempatan buat balikan, saat itu aku masih sabar … tapi ini kesempatan terakhir kamu, dan aku nggak bisa sabar lagi.”

“Terserah! Gue juga udah muak sama cewek murahan kayak lo!”

Adit langsung meninggalkan halaman rumah Natya. Ia menaiki motornya dan segera berlalu dari sana. Natya sendiri hanya bisa membekap mulutnya agar tidak menangis terlalu keras, karena ia tahu di dalam rumahnya yang sederhana itu, ada nenek dan juga dua adiknya yang sudah tertidur.

***

1 tahun kemudian …

Natya Lavani, gadis berambut pirang sebahu itu sedang disibukan oleh setumpuk naskah yang harus ia baca dan sortir. Menjadi editor di sebuah perusahaan penerbitan bukanlah hal yang mudah. Mungkin saja banyak orang menganggap hal itu menyenangkan, tetapi sebenarnya itu pekerjaan yang sulit.

“Nat, makan siang keluar, nggak?”

Bahunya ditepuk oleh seseorang. Natya tidak mengalihkan tatapan pada naskah yang sedang dibacanya, namun ia tetap menjawab.

“Nggak, Ben,” jawabnya singkat.

Beno, teman satu divisi Natya yang tadi bertanya padanya mengangguk singkat. “Oke.”

“Lo masih aja nanya, Ben. Natya udah jelas lebih tertarik sama naskah daripada makan. Mungkin makanan dia itu kertas print-an.” celetuk salah seorang teman perempuannya di divisi yang sama, namanya Indah.

Meski Beno tahu Indah hanya melontarkan candaan, namun dirinya ikut meringis ngeri membayangkan Natya yang harus makan kertas HVS.

“Kalau gitu, gue sama Indah duluan ya, Nat. Lo jangan lupa makan.”

Beno dan Indah berlalu setelah mendengar jawaban Natya—yang sebenarnya hanya sebuah gumaman singkat saja. Sedangkan Natya, kembali memfokuskan dirinya 100 persen pada naskah dan segera mencatat kekurangan serta kelebihannya untuk dilaporkan pada Kepala Editornya.

***

Tiga jam berlalu sudah, Natya telah menyelesaikan beberapa naskah yang harus ia periksa lebih lanjut. Seharusnya Natya bisa menyelesaikan beberapa naskah itu dari kemarin, tetapi karena di sekolah adiknya ada pembagian rapor, ia harus menghadiri rapat wali terlebih dulu.

Sementara ia bernapas dan menunggu respon dari penulis atas hasil naskah yang telah diedit. Ia harus segera melaporkan dua naskah yang kemarin sudah mendapat persetujuan dari penulis, untuk mengirimkannya pada Pimpinan Redaksi sebagai pihak yang memberi approval tata bahasa.

Tubuhnya beranjak dari duduk, namun seketika sempoyongan dan hampir terjatuh kalau saja tidak ada Beno yang kebetulan melewati meja kerjanya.

“Astaga!” Beno terkejut. “Nat, lo nggak apa-apa?”

“Ah, sorry. Gue langsung berdiri tadi, makanya sempet gelap dan pusing. Thanks, Ben.”

Beno menghela napas panjang. “Nat, apa nggak sebaiknya lo kurangi jam kerja lo? Tadi juga jam makan siang lo pake buat kerja. Kalau lo tumbang, kerjaan gue juga yang jadi dua kali lipat.” omel Beno, dengan sedikit candaan di akhir kalimatnya.

“Gue cuma kelamaan duduk aja tadi.”

“Susah emang.” gumam Beno, menyerah menyeramahi Natya yang gila kerja.

“Gue mau ketemu Bu Retno dulu. Beliau ada di ruangannya, Ben?”

“Ada.”

“Trims.”

Natya langsung berlalu dari hadapan Beno menuju ruangan Pimpinan Redaksi. Dalam hati Natya merapalkan doa agar tidak perlu mengerjakan koreksi tambahan atau menghubungi penulis langsung.

Tok … tok … tok …

Natya mengetuk pintu ruangan. Terdengar suara wanita paruh baya mempersilakannya untuk masuk. Gadis berambut pirang pendek itu memeluk dua tumpukan naskah lebih erat, menarik napas panjang, kemudian membuka kenop pintu.

“Permisi, Ibu.”

“Eh, Natya! Sini-sini masuk. Saya mau bicara sama kamu.”

Natya yang kebingungan pun hanya menuruti perintah atasannya. Ia berjalan lebih dekat ke arah meja Bu Retno dengan senyuman sopan.

“Iya, Bu?”

“Lihat ini. Kamu berhasil membuat beberapa buku ini best seller! Ini semua berkat kamu yang selalu teliti untuk memilih naskah. Saya sempat ragu, tapi setelah dipertimbangkan dengan tim lain, ternyata hasilnya sukses!”

“Terima kasih, Bu.”

“Karena itu, Natya …”

‘Jangan, jangan lagi.’ Dalam hati Natya memanjatkan doa.

“Kamu bisa bujuk beberapa penulis yang sedang break untuk segera menulis lagi? Saya sudah minta Indah untuk menghubungi beberapa penulis, tapi mereka belum memberi jawaban. Kebanyakan dari mereka tidak percaya diri dengan tulisannya. Mungkin karena kurang dukungan editor cermat seperti kamu.”

“Saya ...”

“Kalau tidak juga dibujuk, mungkin mereka akan lari ke penerbit lain.”

“Tapi saya ...”

“Saya yakin kamu bisa, Natya. Kamu pandai menilai sebuah tulisan.”

Natya menghela napas pelan, ia berusaha tetap tersenyum sopan meski di dalam hatinya benar-benar ingin mengutuk.

“Baik, Bu. Akan saya coba.”

Adalah jawaban finalnya. Natya tahu mungkin dia akan menyesali hal ini.

***

Natya duduk di kursi kerjanya cukup lama setelah jam kerjanya usai. Ia memikirkan perintah yang diberikan atasannya itu. Sebenarnya menghubungi penulis adalah tugas seorang editor juga. Tetapi di kantor penerbitan tempatnya bekerja, mereka sudah punya peran masing-masing, dan Natya adalah editor yang berperan menyeleksi naskah yang masuk, mengoreksi bahasa atau PUEBI, dan menyerahkan hasil edit naskah kepada tim setter untuk membuat layout, barulah setelah itu menyerahkannya pada Kepala Redaksi setelah mendapat persetujuan penulis.

Tapi sekarang dirinya ditugaskan untuk “mengejar-ngejar” penulis yang sedang dalam masa vakum untuk memberikan “motivasi” yang sebenarnya adalah tugas milik teman satu divisinya, Indah.

Ponselnya melantunkan instrumen Fur Elise dari Beethoven, menandakan ada panggilan telepon yang masuk. Natya melihat nama yang tertera di layar, dan senyum kecil mengembang di wajahnya.

“Hai, baby.”

Baby pala lo gundul!”

“Nita ku sayang. Jemput gue di kantor dong.”

Natya berusaha mengeluarkan suara dengan nada merayu dan gaya yang manis kepada seorang gadis di seberang telepon yang ia sapa sebagai Nita—sahabatnya sejak SMA.

“Gue bakal jemput lo. Asal lo ikutin syarat yang gue kasih.”

“Syarat apaan sih, Nit. Gue udah capek gini balik kerja, jangan aneh-aneh.”

“Belum juga lo denger syaratnya apa! Pokoknya gue jemput. Syaratnya gue kasih tahu nanti kalau udah ketemu. Gampang kok!”

“Ya udah kalau gitu. Jemput ya, Nita ku sayang.”

Lalu Natya mematikan sambungan telepon secara sepihak. Ia duga saat ini sahabatnya yang super cerewet itu sedang bersumpah serapah pada ponselnya. Sedangkan dirinya mengembangkan senyum kecil, merasa senang menjahili Nita.

***

Natya menunggu Nita di lobi kantornya. Selang 15 menit, seorang gadis dengan rambut bob pendek berwarna biru gelap datang menggunakan motor metik. Natya sudah tidak heran lagi dengan penampilan Nita yang selalu nyentrik. Sahabatnya sejak duduk di bangku kelas satu SMA itu memang gemar sekali menggunakan pakaian model pop art, ditambah dengan gaya dan warna rambut yang selalu berubah sesuai keinginannya. Bertolak belakang sekali dengan Natya yang lebih menyukai gaya klasik dan vintage.

“Rambut lo ganti warna lagi, tuh.” kata Natya basa-basi.

“Iya. Bagus, kan?”

“Apapun gaya Nita, aku padamu.” Natya memberikan senyum manis andalannya.

“Kalau ada maunya,” cibir Nita pelan. “Ayok naik.”

Kemudian Natya naik di jok belakang motor metik kesayangan Nita. Jangan tanya bagaimana penampilan motor itu, karena sama nyentriknya dengan pakaian Nita sekarang.

Setelah 30 menit perjalanan panjang membelah kota Jakarta. Akhirnya Natya dan Nita sampai di paviliun Nita. Helaan napas lega terdengar dari keduanya. Panasnya Ibukota sepertinya tidak dapat ditandingi. Karena itu mereka segera masuk ke dalam untuk mendinginkan suhu tubuh.

“Lo udah balik ke Bogor?”

Natya bertanya ketika teringat sahabatnya itu berkata akan pulang beberapa hari. Nita memanglah bukan penduduk asli Jakarta, ia asli berasal dari Bogor. Namun memutuskan untuk bekerja di Jakarta, karena itu ia tinggal di paviliun yang disewakan.

“Oh. Udah dua hari lalu.” jawab Nita cepat, kemudian meletakan tas dan ponselnya di meja. “Gue ambil minum dulu.” lanjutnya, kemudian berlalu ke dapur.

Natya memutuskan untuk merebahkan diri di sofa tunggal ruang tamu yang minimalis. Ia menyalakan kipas angin untuk menyejukan diri. Beberapa detik kemudian, ponsel Nita berdering. Ada panggilan masuk dari seseorang. Natya yang sedang berada dekat dengan ponsel Nita, spontan melihat nama si penelepon.

Tubuhnya seketika menegang. Satu tahun ia berusaha untuk keluar dari kekungan bayang-bayang sang mantan yang memutuskannya sepihak. Namun sekarang dirinya melihat nama itu, nama mantan pacarnya ada pada layar ponsel sahabatnya.

“Nat, gue cuma ada air putih dingin aja. Siapa yang nelepon?”

Nita datang membawa dua gelas air putih dengan es batu di dalamnya. Sedangkan Natya masih dalam keadaan setengah sadar. Tatapan kosong dan bingung ia arahkan pada Nita dan ponselnya bergantian. “Nit, itu … bukan Aditya mantan gue, kan?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
starhee
omggg, si Nita kenapa?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status