“Nit, itu … bukan Aditya mantan gue, kan?”
Mulut Nita terbuka hendak mengatakan sesuatu, namun tidak ada kata yang keluar. Kedua tangannya yang sedang memegang gelas juga ikut bergetar.
Melihat reaksi Nita, Natya tahu bahwa itu memang benar Aditya mantannya. Natya hanya menggeleng tidak percaya, bibirnya mengeluarkan tawa kecil. Natya menertawakan kebodohannya sendiri.
“Nita ...”
“Natya, dengerin penjelasan gue dulu.” Nita dengan cepat memotong.
Natya langsung teringat perkataan Nita saat berbicara melalui telepon. “Syarat apa yang lo bilang di telepon?”
“Itu ...”
“Ada hubungannya sama ini, 'kan?” kali ini Natya yang memotong kalimat Nita.
“Ada. Tapi ini bukan seperti apa yang lo pikirin sekarang.” Nita meletakkan minuman di meja. kemudian duduk di hadapan Natya.
“Emang apa yang gue pikirin, Nit?” Natya tertawa pelan di akhir kalimatnya.
“Gue nggak pernah berniat nusuk lo dari belakang, oke?”
“Oke.” jawab Natya cepat. Setengah tak acuh.
“Jadi, selama ini Adit selalu nanya tentang lo. Selama setahun ini, Nat.” wajah Nita bersungguh-sungguh. “Tapi gue tahu lo nggak akan mau ketemu dia, kan? Gue tahu lo masih kecewa sama keputusan Adit. Tapi, Nat … dia sempet depresi dua minggu setelah mutusin lo, dia nyesel.”
Natya sukses tertawa, “Nyesel …”
“Nyokapnya berusaha ngebuhungi lo. Tapi lo waktu itu ganti nomor, bahkan lo hapus semua akun sosmed lo dan bikin yang baru. Jadi nyokapnya ngehubungi gue.”
“Karena itu sampai sekarang dia terus ngehubungi lo buat nanyain gue?” tebak Natya.
Nita terdiam sesaat, nampak berpikir. “Iya. Tapi gue nggak pernah berani bilang sama lo.”
“Kalau gitu, mulai sekarang lo nggak perlu lagi ngasih tahu tentang gue ke dia. Gue emang kecewa sama lo, Nit. Karena lo seolah ngekhianati gue, bukan karena lo berhubungan sama Adit, tapi karena lo ada di pihak dia dan ngasih laporan soal gue ke dia.”
Wajah Nita tampak bimbang. “Gue bisa lakuin itu, tapi nggak mungkin secara tiba-tiba atau nanti dia curiga.”
“Terserah lo!”
“Natya.” Nita menghela napas sekali lagi. “Syarat yang gue mau dari lo sebenernya adalah gue pengen lo cari cowok lagi, Nat.”
“Cari cowok? Lo bercanda?”
“Maksud gue, sebagai alasan supaya Adit nggak nanyain lo terus. Dan demi diri lo sendiri juga.” kata Nita, wajahnya menampilkan ekspresi yang serius.
“Gue belum ada niatan, Nit. Lagian gue ngerasa capek dan lagi pengen sendiri dulu. Sama kerjaan gue sendiri aja udah ribet, ditambah harus pacaran.”
“Natya, umur lo udah 26 tahun. Katanya lo mau nikah di umur segini, ‘kan?”
“Tapi nggak harus dicari, Nit. Nanti juga dateng sendiri.”
“Mana ada! Pokoknya lo harus ikutin saran gue. Kalau lo nggak lanjut juga nggak apa-apa, nggak ada salahnya juga buat nyoba, ‘kan? Selain supaya Adit nggak nanyain lo terus, lo jadi punya seseorang yang ngingetin lo buat makan.” ekspresi Nita terlihat serius ketika mengucapkan itu.
“Nggak ada hubungannya sama gue makan atau nggak.” wajah Natya berubah datar.
Jika Nita mulai membahas soal makan, maka akan ada banyak sekali ceramahan yang keluar dari bibir cerewetnya itu. Dan berapa kalipun Natya mendapat omelan dari Nita, tidak ada satupun yang benar-benar masuk ke dalam telinganya.
“Eating disorder lo itu-”
“Semakin parah?” potong Natya cepat. Sudah hafal dengan omelan Nita.
“Bakal semakin parah kalau lo sendiri nggak peduli sama pola makan lo, Natya.”
“Yang penting gue makan, Nit.”
“Tapi lo itu …”
Kalimat Nita selanjutnya tidak didengarkan oleh Natya. Ia sibuk melamun dan berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan. Kalau Adit terus bertanya soal dirinya, dan dia sekarang tahu hal itu, maka masalah yang menyelimuti jiwa dan hatinya tidak akan pernah usai. Tapi kalau harus mencari pacar hanya karena tidak ingin kehidupannya diusik lagi oleh Adit, juga hal yang sangat egois.
Natya Lavani, dirinya saat ini lebih merasa lelah karena mendengar ocehan Nita yang selalu sama setiap harinya. Karena sahabatnya itu tidak akan pernah menyerah untuk memintanya mencari pacar, atau mencoba terapi agar eating disordernya itu membaik.
Akhirnya ia memutuskan. Lagi pula, Nita juga melakukan hal itu demi kebaikannya, ‘kan?
“Oke.”
“Oke apa?”
“Oke gue mau cari cowok.”
“SERIUS?”
“Asal lo nggak ngomel mulu, capek gue dengernya.”
“OKE-OKE!” Nita mendadak jadi semangat. “Lo unduh dulu aplikasi pencari jodohnya.”
“Hah? Pakai aplikasi?”
“Iyaaa.” Nita mengangguk semangat.
“Nggak dulu deh kalau gitu. Males.”
“NATYA! LO UDAH MAU TADI! NGGAK BOLEH BERUBAH PIKIRAN!” pekik Nita.
“Ah berisik. Ya udah, apa namanya?”
“Vinder. Lo langsung registrasi aja pakai email.” tatapan Nita tak beralih dari layar ponsel Natya, memastikan agar sahabatnya itu benar-benar melakukan apa yang ia katakan.
“Udah, nih. Terus?”
“Lo isi data diri, termasuk hobi dan pekerjaan. Kalau bisa pasang foto lo yang paling cakep.”
Selang beberapa menit, Natya sudah melengkapi data dirinya. Mereka sempat memperdebatkan apa yang harus ditulis pada kriteria pria yang dicari; Natya hanya ingin kolom tersebut diisi dengan kata-kata “bukan pencemburu dan tidak protektif” tetapi Nita bersikukuh menambahkan “pintar masak” dan “punya pekerjaan yang layak”. Akhirnya Natya hanya menurut, karena Nita tidak akan mau kalah tentang apa yang menurutnya lebih baik.
“Selesai! Nanti lo bisa cari-cari cowok di fitur yang ini, lo tinggal geser aja layarnya, kalau ke kanan suka, ke kiri nggak suka. Terus cara lo tahu kalau ada orang yang nge-pick lo, bakal muncul tulisan match. Nah, kalau kalian mau chatan, bisa di kolom ini.” Nita sibuk menjelaskan cara menggunakan aplikasi pencari jodoh itu. Natya hanya bisa mendengarkan saja dan menganguk paham.
“Nit.” Panggil Natya tiba-tiba.
“Apa?”
“Menurut lo, kenapa gue bisa punya eating disorder?”
Nita menghela napas. “Lo udah nanya hal ini berapa kali sama gue?”
“Gue masih nggak percaya.” Natya mendadak lesu.
“Dokter yang bilang sendiri, Nat. Bahkan lo udah ngedatengin 3 Psikolog, dan jawabannya sama, ‘kan?”
Natya mengangguk. “Tapi gue nggak percaya ternyata pengaruh Adit di hidup gue sebesar itu. Padahal udah setahun lebih, Nit. Harusnya gue udah baik-baik aja.”
“Satu banding delapan, Natya. Lo baru setahun putus sama dia, sedangkan kalian udah pacaran selama 8 tahun. Gue paham kenapa pengaruh dia besar banget buat lo, ya walaupun sekarang lo udah nggak sayang sama Adit.”
“Tapi kenapa harus eating disorder?”
“Kan Dokter udah bilang, Nat. Alam bawah sadar lo itu selalu nginget tempat-tempat yang udah lo kunjungi sama Adit selama 8 tahun pacaran. Dan kebanyakan dari tempat-tempat itu adalah restoran atau café, wajar setiap lo ke tempat makan bawaannya mual dan pusing sampai nggak nafsu makan. Mungkin karena lo udah terlalu muak sama tempat-tempat kayak gitu.”
“Kalau gue udah muak, harusnya gue bisa ngelepasin 8 tahun ini.” keluh Natya.
“Nggak ada patah hati yang mudah, Natya.” Nita menghela napas. “Dan gue rasa … yang tersiksa karena ini bukan cuma lo doang, Nat.”
***
Natya sampai di depan rumahnya. Ia membuka pagar, dan melangkah masuk melewati halaman depan yang cukup untuk menanam beberapa jenis bunga. Meski tinggal di rumah yang minimalis dan sederhana, tetapi rumah itu adalah satu-satunya warisan yang dimiliki keluarganya dan selalu ia jaga—meski mereka bukanlah keluarga kandungnya. Lingkungannya terawat, dan tampak sangat nyaman.
“Assalamualaikum.” Natya mengucapkan salam sambil melangkah masuk.
“Waalaikumussalam … Nat, udah pulang?”
Di ruang TV yang minimalis, Natya disambut oleh neneknya—yang sebenarnya bukan nenek kandungnya. Wanita tua itu tersenyum sambil mengulurkan tangan agar Natya mudah menyalaminya.
“Kok Umi ada di sini? Nat ‘kan udah bilang, Umi di kamar aja. Kalau Umi jatuh lagi kayak waktu itu gimana?” kata Natya.
Umi adalah sebutan dari Almarhumah ibu angkatnya untuk neneknya. Karena itu Natya juga ikut memanggil neneknya dengan sebutan umi. Sejak ibunya meninggal tiga tahun lalu, Natya harus merawat neneknya yang tinggal sendirian. Selain harus merawat neneknya, Natya juga memiliki 2 adik yang harus ia sekolahkan. Ayah angkatnya bekerja sebagai tentara perbatasan, alasan itulah yang membuat ayahnya jarang sekali pulang, dan hanya mengirim uang setiap 3 bulan sekali.
“Umi bosan di kamar terus, Nat.”
“Tapi kaki Umi ‘kan sakit. Nat cuma khawatir pas Umi jatuh Bulan nggak ada di rumah buat bantu Umi duduk. Bintang juga jarang pulang ke Jakarta, sejak dia sekolah di Bogor.” Bintang dan Bulan adalah adik angkatnya.
Bintang adalah adik laki-laki yang berusia 17 tahun dan sebentar lagi harus berkuliah. Sedangkan Bulan, adik perempuan yang baru saja pembagian rapor untuk naik ke kelas 9 SMP.
“Bulan ‘kan sudah libur sekolah, kemarin kamu ambil rapornya.”
Natya menepuk dahinya, baru ingat.
“Tetep aja, lain kali kalau Umi bosen, minta Bulan untuk buatin teh hijau.”
“Ya sudah. Nanti Umi kalau bosan telepon Ayahmu saja.”
“Ayah kerja, Umi. Nggak bisa angkat telepon.” Natya tersenyum lembut, uminya sudah mulai pikun. “Ya udah, kalau gitu nanti Natya minta Bintang buat pindahin TV ke kamar Umi, ya? Dua hari lagi katanya dia pulang ke Jakarta sebentar.”
Neneknya tertawa senang. Natya membantu wanita tua berusia hampir 70 tahun itu untuk berjalan ke kamarnya lagi. Ia mengabaikan tubuhnya sendiri yang terasa berat dan kepalanya yang pening. Setelah berhasil membaringkan neneknya, Natya masuk ke kamarnya sendiri dan segera bersiap untuk mandi.
20 menit kemudian, Natya berbaring di kasurnya setelah berpakaian dan mengeringkan rambut. Ia membuka aplikasi pencari jodoh yang baru diunduhnya atas perintah Nita. Natya melihat-lihat profil tiap pria yang muncul. Layar terus ia gulir ke arah kiri, karena merasa mereka bukan tipenya. Lalu ada satu profil yang membuatnya menatap layar selama 5 detik, dan tanpa sadar Natya menggulir layar ke kanan. Ketika tulisan match muncul, Natya membuang ponselnya tanpa sadar.
“Oh God, mati gue.”
“Iya. Bukan kebetulan Eros ada di sana.” Natya membuka suara. “Gimana kalau kita lanjut di tempat yang lebih nyaman dan santai?” tanya Natya kemudian. “Tapi aku udah penasaran banget,” desak Daksa. Melihat raut wajah Natya yang berubah, Daksa buru-buru menambahkan, “Tapi masih bisa aku tahan. Kita ngobrol di apartemen.” Pada akhirnya mobil Daksa melaju menuju apartemen. Selama di perjalanan, Natya termenung memikirkan perkataan Eros sebelum Daksa datang dan menginterupsi percakapan mereka. Ada sebagian dari dirinya yang takut mendengar fakta yang akan diungkapkan oleh Eros. Namun, sebagian lainnya juga ingin mengetahui tentang Daksa lebih dalam lagi. Setelah membandingkan dua kondisi di kepalanya, akhirnya Natya menemukan kesimpulan bahwa lebih baik mendengar berita tentang Daksa dari sang empunya, dari pada harus mendengar cerita dari orang lain. Benar, seharusnya begitu. Tiga puluh menit kemudian, mobil Daksa sudah terparkir di lobi apartemennya. Pria itu turun dan memutari mob
Natya menatap ke arah Nita dan Eros bergantian. "Ini harus gue angkat. Karena tadi gue bilang lagi di salon Nita dan udah selesai.""Angkat," kata Eros.Natya mengangguk seraya menggeser tombol hijau. "Halo.""Kamu di mana? Aku di depan salon Nita." Daksa tidak berbasa basi.Natya sontak menoleh ke belakang pada arah jalan menuju salon Nita. "Kamu di depan salon?""Iya. Aku langsung jemput dari resto.""T-tapi aku lagi hang-out sama Nita.""Oh? Aku kira kamu kasih tahu alamat salon dia karena minta dijemput. Jadi gimana? Aku balik lagi?"'Gimana?' Natya bertanya tanpa suara pada Nita dan Eros, hanya membentuk kata dengan bibirnya.'Kamu pergi aja sama Daksa. Informasi soal ini bisa saya sampaikan nanti.' Eros mengetik di notes ponselnya dan menyerahkannya pada Natya."Nat?""Eh iya. Kamu jemput aku aja di Garden Cafe deket situ. Ke arah sebaliknya.""Oke."Panggilan dihentikan. Natya memberikan senyum tanpa dosa pada Nita dan Eros. Kedua orang yang duduk di hadapannya itu menggeleng pe
"Mbak, matanya nggak usah melotot gitu, bisa?" Eros memberikan smirk melalui cermin pada Nita yang sedang mengeringkan rambutnya."Kelihatan banget, ya?""Jelas." Eros tertawa kecil. "Tenang aja, gue nggak ada niat jahat sama temen lo."Alis Nita terangkat. "Sama Natya saya-kamu, kok sama gue beda?"Lagi, Eros tertawa sambil melihat wajah Nita yang merenggut di pantulan cermin. "Karena gue merasa peran kita sama?""Peran?" "Iya. Peran pendukung. Lo sahabat Natya, gue sahabat Daksa. Kita sama-sama pengen mereka bisa nyatu, kan?""Oh? Gue pikir lo pengen misahin mereka," sarkas Nita."Natya menarik, tapi gue juga pengen sohib gue cepet-cepet dapet jodoh. Meski sebenarnya gue yang didesak nikah.""Duh, TMI." (To Much Information)"Masa? Kayaknya nggak masalah buat memperjelas.""Ya, ya, ya. Jadi kedatangan lo ke sini bukan sengaja?""Yup. Cuma kebetulan.""Dan lo pikir gue percaya?" Nita menghentikan gerakan tangannya, seraya menatap Eros tajam melalui pantulan cermin."I'll give you som
Dua minggu telah terlewati. Natya dan Daksa tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Project yang mereka kerjakan bersama juga terus berjalan dan diselesaikan per tahapnya. Selama dua minggu itu pula Natya beberapa kali mengunjungi apartemen Daksa, untuk bekerja tentu saja. Intensitas pertemuan mereka yang bertambah mempengaruhi kedekatan mereka.Namun, banyaknya waktu yang dihabiskan Natya bersama Daksa membuat wanita itu jadi tidak memiliki waktu bersama dengan sahabatnya, Nita. Karena itulah, pada hari Sabtu di mana ia mendapatkan waktu libur kerja, Natya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekannya bersama dengan Nita."Kakak mau ke mana?" Bulan, adiknya, melihat Natya yang sudah berpakaian rapi dan siap mengenakan sepatu ketsnya pun bertanya."Mau ke tempat kerjanya Nita. Hari ini kamu libur, kan? Kakak titip umi, ya. Kalau mau ajak teman main ke sini juga boleh. Ini uang buat beli camilan kalau kamu bosen.""Oke. Makasih, Kak.""Iya. Kakak berangkat ya. Assalamualaikum." Natya
“Do you have a trauma or something?” Seketika itu pula perut Natya seperti dipukul oleh batu besar hingga membuatnya menitikkan air mata menahan rasa ngilu di ulu hatinya. “Ke-kenapa … tiba-tiba?” Daksa terdiam cukup lama. Pria itu menatap lekat-lekat wajah Natya yang sekarang sudah tampak was-was dan tidak fokus. Sampai akhirnya Daksa menghela napas pelan, kemudian tangannya terulur untuk mengambil tangan Natya—yang jari-jarinya saling terpaut cemas—kemudian menangkup tangan itu di dalam tangannya. “Nat … aku nggak akan maksa kamu untuk cerita soal alasan di balik munculnya trauma kamu. Tapi selama sama aku, selama kita kerja bareng, aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman. Aku maunya kamu merasa aman. Jadi kamu harus kasih tahu aku mana yang lebih baik aku lakuin.” Natya menarik napas dalam beberapa kali sambil memejamkan mata. Mungkin ini pertama kalinya ada orang yang sadar soal traumanya, selain Nita dan keluarganya. Begitu Natya membuka mata, senyum dan sorot mata dari Daksa m
Waktu bersenang-senang telah usai, tiba saatnya Natya harus kembali serius dengan pekerjaannya. Proyek majalah yang sedang dikerjakan olehnya dan Daksa terus berlanjut. Karena itulah Natya membawa setumpuk majalah-majalah lama dan juga baru—yang diterbitkan oleh perusahaannya—ke dalam ruang rapat yang dibatasi kaca, tempat dirinya dan Daksa pertama kali menyusun konsep proyek majalah. “Ini beberapa contoh model majalah yang dibuat oleh perusahaan kami. Kebanyakan penulis majalah adalah seorang jurnalis, mereka yang mewawancarai narasumber dan menyusun beberapa artikel dalam satu majalah. Bisa dibilang, proyek yang sedang kita lakukan saat ini adalah pertama kalinya seorang tokoh—yang menjadi sumber berita—menulis langsung majalahnya sendiri.” Natya membuka percakapan dengan Daksa setelah meletakkan setumpuk majalah ke hadapan Daksa. Pria itu tersenyum kecil, menarik tumpukan majalah lebih mendekat ke arahnya, dan mulai membaca satu persatu. “Hmm, kamu benar. Kebanyakan tokoh yang ja