Kirana menatap Rendra dengan senyum sinis di bibirnya, "Oh, maaf tanganku keseleo."
"Kirana!" Rendra kembali berteriak.
"Sebaiknya kamu urus saja gadis kesayanganmu daripada meneriakiku! Katakan juga padanya aku tak sudi lagi melayani permainan rendahan seperti itu," ujar Kirana, lalu pergi ke kamarnya.
Rendra semakin meradang, ia hendak mengejar dan memberikan pelajaran pada Kirana. Namun, suara tangis Alisya menghentikan langkahnya.
Gadis kesayangannya itu menunduk dan menangis.
“Mengapa Kirana begitu membenciku? Padahal aku tidak pernah berniat merebut tempatnya darimu.”
Rendra yang sejak tadi murka langsung melangkah cepat menghampiri Alisya. Dengan sigap ia meraih bahu perempuan itu, menatapnya penuh iba.
“Kamu tak perlu merasa bersalah. Kirana lah yang keterlaluan,” ucap Rendra geram. “Sebaiknya kamu istirahat dulu, besok aku akan mengajakmu jalan-jalan. Ayo kuantar pulang!”
***
Sepulang dari mengantar Alisya, Rendra langsung menemui Kirana di kamar. Saat itu, Kirana yang sedang bersantai di ranjang, membaca artikel di Ipadnya seketika terkejut mendengar pintu kamarnya dibuka begitu saja.
Perasaan Kirana langsung tak enak melihat wajah suaminya merah padam. Dia yakin laki-laki itu pasti akan membahas kejadian tadi.
“Mengapa kamu melakukan itu pada Alisya?” tanya Rendra dengan napas memburu.
Benar dugaan Kirana.
“Aku dipermainkan, dan aku hanya membela diri,” ujar Alisya.
“Tapi tidak seperti itu caranya, Kirana! Kamu bisa menolaknya jika tak mau membuat jus untuknya. Ini perkara jus loh, kamu malah seperti itu!”
Kirana meletakkan Ipadnya dengan kasar, lalu bangkit berdiri hingga jarak antara dirinya dengan Rendra tinggal satu langkah.
“Menolak katamu? Memangnya kamu akan terima begitu saja kalau aku menolak permintaanmu melayani wanita kesayanganmu itu?” cecar Kirana.
“Kamu—“ Rahang Rendra semakin mengeras, tangannya terangkat siap menampar pipi Kirana. Namun, melihat sang istri hanya diam tak gentar sedikit pun, dan malah balik menatapnya tajam, ia pun urung memukulnya.
“Jadi, kamu rela memukul istrimu demi wanita luar?” tanya Kirana.
Rendra tak menjawab, dia keluar kamar begitu saja, dan menutup pintunya dengan kasar. Saat itu juga Kirana menghela napas lega. Ia kembali duduk di ranjang dengan tubuh yang sedikit bergetar.
Sebenarnya Kirana masih takut untuk melawan, dan ia bingung dari mana asal keberaniannya barusan.
Ia keluar kamar setelah beberapa lama mencoba menenangkan diri. Perutnya sangat perih karena sejak siang ia belum menyentuh makanan. Baru saja ia hendak duduk di meja makan, suara Nadira terdengar dari ruang belajar.
“Kirana! Sini sebentar!”
Kirana mendengkus, lalu menghampiri Nadira di ruang keluarga. “Ada apa?”
“Bantu aku buat tugas kuliah. Besok aku maju presentasi,” perintah Nadira, tanpa memberi ruang penolakan.
“Yang kuliah aku atau kamu?” tanya Kirana ketus.
Nadira sempat tercengang, tak menyangka Kirana akan menjawab perintahnya. Biasanya perempuan itu hanya menunduk tak berani bersuara.
“Kamu berani membantah?!” bentak Nadira.
Kirana mendesah kasar. Lain halnya dengan Rendra yang tak banyak bicara, Nadira sangat cerewet dan akan terus mengoceh seperti radio jika permintaannya tak segera dituruti. Lebih parah lagi gadis itu akan mengadu ke mamanya.
Daripada berlarut-larut, Kirana memutuskan untuk membuatkan tugas presentasi Nadira. Lalu ia duduk di depan laptop. Ia membaca buku yang telah disiapkan Nadira sebagai referensi, kemudian mulai mengetik.
Namun, perutnya terasa semakin sakit melilit. Membuat makalahnya tak kunjung selesai.
“Apa-apaan ini? Dari tadi nggak kelar-kelar!” Nadira mendengus jengkel. “Dasar nggak becus. Segitu saja nggak bisa?!”
Kirana mengepalkan tangannya, menahan emosi serta rasa sakit di perutnya yang makin menusuk. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
“Aku makan dulu, ya, Nad, setelah itu baru meneruskan makalahmu,” ucap Kirana.
“Nggak bisa!” jawab Nadira cepat. “Kamu baru boleh makan setelah tugas ini selesai.”
“Nad—“
Belum juga Kirana sempat menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba tubuhnya ambruk ke lantai.
Ia pingsan.
Nadira menjerit melihatnya dan langsung panik, lalu buru-buru berlari memanggil Rendra. Tak lama kemudian, pria itu datang melihat.
Kedua mata Rendra membelalak kaget, cepat-cepat ia membopong Kirana ke kamar. Lalu memanggil dokter pribadi.
Selang lima belas menit, dokter keluarga Harsena datang memeriksa Kirana. Pemeriksaan berlangsung singkat; diagnosa tetap sama, Kirana terkena asam lambung, dan harus makan teratur, jangan sampai emosinya meledak-ledak.
Setelah semua pergi, Rendra menghampiri Kirana di kamar.
Kirana sudah sadar sejak lima menit yang lalu. Ia membuang muka saat Rendra mendekat ke arahnya.
“Bagaimana keadaanmu?”
‘Pertanyaan bodoh.’ Kirana hanya berani menjawab dalam hati.
“Kamu mau makan apa?” tanya Rendra lagi.
“Terserah,” jawab Kirana.
Bukan Kirana tak menghargai, tapi dia yakin lelaki itu pasti hanya basa-basi dan akan kembali dingin serta angkuh seperti biasanya. Namun, malam itu ada hal tak terduga. Saat ia hampir terlelap, pintu kamarnya berderit pelan. Rendra masuk, membawa secangkir teh hangat dan bubur.
Rendra meletakkannya di meja kecil di samping ranjang.
Kirana menatap cangkir itu dengan bingung. Jantungnya seketika berdebar dan hatinya bertanya-tanya, setan mana yang merasuk ke dalam tubuh suaminya. Padahal sebelumnya mereka bertengkar.
Melihat Kirana hanya diam, Rendra mendesah kasar lalu merebahkan tubuhnya di samping sang istri.
Kirana tercengang melihatnya, “Kamu ngapain Ren?” tanyanya.
“Tidur!” sahut Rendra.
Kirana menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, hanya reaksi alami ketika dia sedang bingung. Namun, ia tak memikirkan lebih jauh. Seharusnya bersyukur karena Rendra mulai perhatian.
Setelah meminum obat yang diresepkan dokter, Kirana langsung tidur. Menjelang tengah malam, rasa tak nyaman di perutnya membuat Kirana terbangun. Ia meringis, menahan sakit dan tak nyaman di bawah perutnya, lalu perlahan bangkit dari ranjang. Niatnya hanya satu, ke kamar mandi untuk buang air.
Saat menyingkap selimutnya rasa dingin menusuk kulitnya. Ia baru menyadari sesuatu.
Kirana hampir menjerit ketika mendapati dirinya telah berganti pakaian dengan piyama berbahan satin. Kedua matanya melihat ke arah Rendra. Pasti lelaki itu yang telah menggantinya. Sangat lancang. Pikir Kirana.Perempuan itu tak begitu memusingkannya, toh hanya mengganti pakaian. Namun, ketika hendak melangkah ke kamar mandi, bagian ‘terlarangnya’ terasa semakin perih. Bahkan untuk berjalan pun harus sedikit melebarkan kedua pahanya.Kirana berdiri terpaku di depan cermin kamar mandi. Masih teringat jelas dalam benaknya, terdapat noda darah pada celana dalamnya. Ia menatap bayangan dirinya sendiri, lalu menggenggam wastafel erat-erat.“Rendra tolol!” geramnya.Air matanya jatuh begitu saja. Ia merasa sangat marah dan jijik mengetahui tubuhnya dirampas tanpa izin. Meski sudah menikah, namun tetap saja Kirana merasa tidak terima. Apalagi sikap Rendra sangat dingin kepadanya.“Bajingan itu hanya mau enaknya saja!” Kirana kembali berkata dengan geram.Kirana segera ke kamar dan memutuska
Kirana menatap Rendra dengan senyum sinis di bibirnya, "Oh, maaf tanganku keseleo.""Kirana!" Rendra kembali berteriak."Sebaiknya kamu urus saja gadis kesayanganmu daripada meneriakiku! Katakan juga padanya aku tak sudi lagi melayani permainan rendahan seperti itu," ujar Kirana, lalu pergi ke kamarnya.Rendra semakin meradang, ia hendak mengejar dan memberikan pelajaran pada Kirana. Namun, suara tangis Alisya menghentikan langkahnya.Gadis kesayangannya itu menunduk dan menangis.“Mengapa Kirana begitu membenciku? Padahal aku tidak pernah berniat merebut tempatnya darimu.”Rendra yang sejak tadi murka langsung melangkah cepat menghampiri Alisya. Dengan sigap ia meraih bahu perempuan itu, menatapnya penuh iba.“Kamu tak perlu merasa bersalah. Kirana lah yang keterlaluan,” ucap Rendra geram. “Sebaiknya kamu istirahat dulu, besok aku akan mengajakmu jalan-jalan. Ayo kuantar pulang!”***Sepulang dari mengantar Alisya, Rendra langsung menemui Kirana di kamar. Saat itu, Kirana yang sedang
“Baik, Pak Alvin. Saya tertarik untuk membicarakan lebih lanjut mengenai proyek ini.”Kirana menekan tombol kirim. Dan seketika, hatinya terasa jauh lebih ringan. Selang beberapa menit, ponselnya kembali berbunyi. Alvin membalasnya dengan cepat.“Terima kasih, Bu Kirana. Saya yakin kehadiran Anda bisa membawa nuansa berbeda untuk proyek ini. Bagaimana kalau kita bertemu langsung di studio saya, besok pukul tiga sore? Lokasinya di Jalan Wijaya No. 18. Saya akan siapkan draft rancangan dan konsep awalnya.”Kirana membaca pesan itu berulang kali. Ada rasa gugup sekaligus antusias. Alvin Reinaldi adalah arsitek muda dengan karya berani, banyak diliput media, dan tidak sedikit perusahaan besar ingin bekerja sama dengannya. Menjadi bagian dari proyek Alvin, adalah suatu kebanggaan baginya. ***Studio arsitektur Alvin Reinaldi terletak di sebuah bangunan dua lantai bergaya industrial. Kirana masuk, matanya melihat ke sekeliling ruangan yang dipenuhi maquette bangunan. Senyumnya mengemba
"Tolong! Ada yang tenggelam!" teriak salah satu pelayan wanita.Segala pandangan serta merta tertuju ke arah kolam renang. Dalam sekejap, semua orang berkerumun di pinggir kolam, menyaksikan dua sosok wanita yang sedang berjuang di dalam air.Teriakan pelayan itu juga membuat Rendra yang sedang berbicara dengan beberapa tamu, langsung mengarahkan pandangan ke kolam. Dia tidak tahu siapa yang dengan konyol tercebur ke kolam, namun rasa penasaran mendorongnya untuk berlari ke sana.Kedua matanya terbelalak ketika melihat Kirana dan Alisya tengah menggapai-gapai permukaan untuk meminta pertolongan. Tanpa membuang waktu lelaki ini langsung melompat ke kolam.Melihat Rendra mendekat. Kirana merasa ada lega, setidaknya lelaki itu masih peduli padanya. Namun, harapan itu musnah seketika. Rendra berenang melewatinya. Dia sama sekali tidak mengulurkan tangannya ke arahnya.Dengan sigap, Rendra meraih Alisya yang sengaja terlihat lemah dan terkapar, mendekapnya erat, lalu membawanya ke tepi k
“Rendra?” Kirana sangat terkejut melihat lelakinya begitu mesra merangkul pinggang ramping perempuan cantik itu.Mereka menghampiri Bu Ratna dan Nadira.“Alisya, lama sekali kita tidak bertemu,” sapa Bu Ratna dengan nada riang yang jarang Kirana dengar.Alisya tersenyum manis, “Senang sekali bisa datang, Tante.”“Kamu makin cantik dan anggun.” Bu Ratna memuji.“Terima kasih, Tante,” ujar Alisya sopan.“Iya, aku lihat di media sosial, bisnis fashion Kakak juga sukses banget,” kata Nadira dengan nada kagum.“Semua berkat dukungan banyak orang. Dan tentu saja, banyak inspirasi yang saya dapat dari Tante Ratna dulu.”“Ah, Tante cuma kasih saran, yang berbakat itu memang kamu. Tante selalu bilang ke Rendra, kamu ini paket lengkap, cocok sekali buat jadi pasangan Rendra.” Bu Ratna sengaja meninggikan suaranya agar terdengar di telinga Kirana.Sementara Kirana merasa nelangsa mendengar pujian dan perlakuan hangat yang ditujukan pada Alisya. Dia tidak tahu siapa perempuan itu, tapi besar kemu
Tak ada jawaban apa pun dari mulut Rendra, membuat Kirana menelan kekecewaannya dan berbalik, hendak meninggalkan ruang kerja itu. Namun baru beberapa langkah, suara Rendra menahannya.“Tunggu!” seru Rendra.Kirana berhenti, perlahan menoleh. Rendra menatapnya sekilas sebelum kembali menatap layar laptop. “Aku sudah transfer sejumlah uang ke rekeningmu. Besok ada acara di rumah, jadi belilah pakaian yang pantas.”Mata Kirana membesar. “Untukku?” tanyanya, hampir tak percaya.Rendra hanya mengangguk.Kirana merasakan dadanya menghangat. Perhatian sekecil itu pun rasanya seperti cahaya di tengah gelap. Ia buru-buru merogoh ponselnya, membuka aplikasi M-Banking, dan benar saja, ada notifikasi uang masuk ke rekeningnya. Jumlahnya cukup besar untuk membeli lebih dari sekadar satu pakaian.Senyumnya merekah, matanya berbinar. Untuk pertama kalinya sejak tinggal di rumah ini, ia merasa sedikit… diperhatikan.“Terima kasih,” ucap Kirana.Sore itu juga Kirana segera keluar untuk membeli pakai