Tak ada jawaban apa pun dari mulut Rendra, membuat Kirana menelan kekecewaannya dan berbalik, hendak meninggalkan ruang kerja itu. Namun baru beberapa langkah, suara Rendra menahannya.
“Tunggu!” seru Rendra.
Kirana berhenti, perlahan menoleh. Rendra menatapnya sekilas sebelum kembali menatap layar laptop. “Aku sudah transfer sejumlah uang ke rekeningmu. Besok ada acara di rumah, jadi belilah pakaian yang pantas.”
Mata Kirana membesar. “Untukku?” tanyanya, hampir tak percaya.
Rendra hanya mengangguk.
Kirana merasakan dadanya menghangat. Perhatian sekecil itu pun rasanya seperti cahaya di tengah gelap. Ia buru-buru merogoh ponselnya, membuka aplikasi M-Banking, dan benar saja, ada notifikasi uang masuk ke rekeningnya. Jumlahnya cukup besar untuk membeli lebih dari sekadar satu pakaian.
Senyumnya merekah, matanya berbinar. Untuk pertama kalinya sejak tinggal di rumah ini, ia merasa sedikit… diperhatikan.
“Terima kasih,” ucap Kirana.
Sore itu juga Kirana segera keluar untuk membeli pakaian. Sekalian dia pulang ke rumahnya untuk menemui sang ibu. Namun, baru juga dia memasuki rumah, ponselnya berdering.
Bu Ratna tertera di layar. Dengan cepat ia menekan tombol hijau. Belum sempat ia menyapa, suara lantang langsung menerobos gendang telinganya.
“Kirana! Kamu di mana? Kenapa belum juga kembali ke rumah ini?! Kamu pikir siapa yang akan menyiapkan semua kebutuhan besok?!”
Kirana terdiam, menahan napas. Ia baru saja ingin duduk bersama ibunya yang sudah menunggu dengan senyum rindu, namun bentakan itu membuat dadanya menciut.
“Aku segera kembali, Ma,” ucap Kirana.
Sambungan telepon terputus begitu saja. Kirana menatap layar ponsel yang kini gelap, matanya perlahan panas. Sang ibu yang berdiri di depan pintu hanya bisa mendesah pelan, menepuk bahu putrinya.
“Pergilah, Nak. Ibu tahu kamu lelah. Tapi jangan sampai mereka semakin mempersulit,” ucap bu Dahlia dengan suara lembut.
Kirana menggenggam tangan ibunya erat, menahan air mata yang hampir jatuh. Mau tak mau, ia pun berbalik kembali menuju rumah Rendra.
***
Taxi online berhenti di halaman, Kirana sudah melihat Bu Ratna berdiri di teras dengan wajah angkuh seperti biasanya. Begitu ia turun dari mobil, suara lantang ibu mertua langsung menyambutnya.
“Akhirnya kau datang juga! Kau kira pesta besok bisa berjalan sendiri? Cepat ke dapur, bantu cek pesanan katering, lalu pastikan dekorasi ruang tamu tidak ada yang kurang!”
Tanpa memberi kesempatan Kirana meletakkan belanjaannya, Bu Ratna sudah menjejalkan daftar panjang tugas ke tangannya.
“Bukankah kau desainer interior? Saya ingin kamu menghias taman dan kolam sebagus mungkin!” perintah Bu Ratna.
Kirana mengangguk pelan. “Untuk apa, Ma?”
“Pakai tanya. Bukankah Rendra sudah mengatakan esok akan diadakan pesta? Memang benar apa kata Rendra kalau otakmu itu tak mampu mencerna kalimat orang lain, dasar bodoh!” hardik Bu Ratna.
Kirana menghela napas panjang, mencoba menguatkan dirinya. “Baik, Ma.”
Hingga larut malam, Kirana masih mondar-mandir menghias taman hingga ke sekeliling kolam di bawah pengawasan Bu Ratna yang tak pernah berhenti memberi perintah. Tangannya sibuk merangkai bunga. Sementara Bu Ratna berdiri di belakangnya dengan tangan terlipat di dada.
“Kamu bisa merangkai bunga nggak sih? Ulangi lagi, susun yang rapi!”
Kirana menggigit bibir, mengubah rangkaian bunga sesuai perintah. Dia tahu, Bu Ratna hanya mengerjainya tak benar-benar peduli dengan rangkaian bunga ini. Namun, apa daya dia hanya bisa menurut. Diliriknya ibu mertuanya sudah pergi. Mungkin lelah karena terus berdiri dan mulutnya pasti kebas karena tak henti mengomel.
***
Keesokan harinya, Kirana baru selesai bersiap tepat pukul tujuh malam, hanya beberapa menit sebelum acara dimulai. Gaun yang ia pilih dari butik siang kemarin terasa begitu asing di tubuhnya; indah, namun membuatnya gugup setiap kali melihat pantulannya di cermin.
Sebenarnya, ia sama sekali tak tahu pesta apa yang diadakan keluarga Harsena malam ini. Tak ada yang memberi penjelasan, tak ada undangan resmi yang ia lihat.
“Non, Kirana, pestanya sudah mau dimulai!” Seorang pelayan berbicara dari balik pintu kamar yang tertutup.
“Baik, saya akan ke sana,” ujar Kirana segera keluar kamar. Dilihatnya pelayan tadi masih belum jauh meninggalkan kamarnya, “Mbak!”
Pelayan itu berhenti dan membalikkan badan, “Ada apa, Non?”
“Memangnya pesta ini diadakan untuk merayakan apa?” tanya Kirana merasa tak enak. Aneh saja, masa menantu keluarga tak tahu apa-apa dan justru bertanya pada pelayan.
“Oh, merayakan kelulusan Nona Nadira,” jawab pelayan itu.
Kirana hanya mengangguk. Dia pernah mendengar dari para pelayan jika Nadira telah menyelesaikan S1-nya di salah satu universitas ternama di kota ini. Dia melangkah pelan menuju taman belakang yang sudah disulap menjadi tempat pesta.
Namun, dia heran ketika melihat para tamu; wajah-wajah dewasa dengan busana resmi, nampak seperti para kerabat keluarga besar Harsena. Tidak ada anak muda sebaya Nadira.
“Mbak!” Kirana memanggil pelayan yang berdiri tak jauh darinya.
Pelayan itu mendekat, “Ada apa, Non?”
“Benar ini pesta kelulusan? Kenapa tidak ada temannya Nadira?” tanya Kirana heran.
Pelayan itu tersenyum dan dengan santun menjawab, “Hanya keluarga besar yang hadir di pesta ini, Nona.”
Pelayan kembali melanjutkan pekerjaannya. Sementara Kirana masih berdiri di tempatnya. Dilihatnya Bu Ratna dan Nadira sedang berbincang asyik dengan kerabat yang datang. Rendra? Entah di mana suaminya itu. Sejak tadi, belum juga menampakkan diri.
Tak berselang lama, suara langkah terdengar dari arah pintu. Semua kepala menoleh, dan di sanalah Rendra datang tidak sendirian. Dia bergandengan mesra dengan seorang perempuan muda mengenakan gaun elegan berwarna merah menyala.
Kirana hampir menjerit ketika mendapati dirinya telah berganti pakaian dengan piyama berbahan satin. Kedua matanya melihat ke arah Rendra. Pasti lelaki itu yang telah menggantinya. Sangat lancang. Pikir Kirana.Perempuan itu tak begitu memusingkannya, toh hanya mengganti pakaian. Namun, ketika hendak melangkah ke kamar mandi, bagian ‘terlarangnya’ terasa semakin perih. Bahkan untuk berjalan pun harus sedikit melebarkan kedua pahanya.Kirana berdiri terpaku di depan cermin kamar mandi. Masih teringat jelas dalam benaknya, terdapat noda darah pada celana dalamnya. Ia menatap bayangan dirinya sendiri, lalu menggenggam wastafel erat-erat.“Rendra tolol!” geramnya.Air matanya jatuh begitu saja. Ia merasa sangat marah dan jijik mengetahui tubuhnya dirampas tanpa izin. Meski sudah menikah, namun tetap saja Kirana merasa tidak terima. Apalagi sikap Rendra sangat dingin kepadanya.“Bajingan itu hanya mau enaknya saja!” Kirana kembali berkata dengan geram.Kirana segera ke kamar dan memutuska
Kirana menatap Rendra dengan senyum sinis di bibirnya, "Oh, maaf tanganku keseleo.""Kirana!" Rendra kembali berteriak."Sebaiknya kamu urus saja gadis kesayanganmu daripada meneriakiku! Katakan juga padanya aku tak sudi lagi melayani permainan rendahan seperti itu," ujar Kirana, lalu pergi ke kamarnya.Rendra semakin meradang, ia hendak mengejar dan memberikan pelajaran pada Kirana. Namun, suara tangis Alisya menghentikan langkahnya.Gadis kesayangannya itu menunduk dan menangis.“Mengapa Kirana begitu membenciku? Padahal aku tidak pernah berniat merebut tempatnya darimu.”Rendra yang sejak tadi murka langsung melangkah cepat menghampiri Alisya. Dengan sigap ia meraih bahu perempuan itu, menatapnya penuh iba.“Kamu tak perlu merasa bersalah. Kirana lah yang keterlaluan,” ucap Rendra geram. “Sebaiknya kamu istirahat dulu, besok aku akan mengajakmu jalan-jalan. Ayo kuantar pulang!”***Sepulang dari mengantar Alisya, Rendra langsung menemui Kirana di kamar. Saat itu, Kirana yang sedang
“Baik, Pak Alvin. Saya tertarik untuk membicarakan lebih lanjut mengenai proyek ini.”Kirana menekan tombol kirim. Dan seketika, hatinya terasa jauh lebih ringan. Selang beberapa menit, ponselnya kembali berbunyi. Alvin membalasnya dengan cepat.“Terima kasih, Bu Kirana. Saya yakin kehadiran Anda bisa membawa nuansa berbeda untuk proyek ini. Bagaimana kalau kita bertemu langsung di studio saya, besok pukul tiga sore? Lokasinya di Jalan Wijaya No. 18. Saya akan siapkan draft rancangan dan konsep awalnya.”Kirana membaca pesan itu berulang kali. Ada rasa gugup sekaligus antusias. Alvin Reinaldi adalah arsitek muda dengan karya berani, banyak diliput media, dan tidak sedikit perusahaan besar ingin bekerja sama dengannya. Menjadi bagian dari proyek Alvin, adalah suatu kebanggaan baginya. ***Studio arsitektur Alvin Reinaldi terletak di sebuah bangunan dua lantai bergaya industrial. Kirana masuk, matanya melihat ke sekeliling ruangan yang dipenuhi maquette bangunan. Senyumnya mengemba
"Tolong! Ada yang tenggelam!" teriak salah satu pelayan wanita.Segala pandangan serta merta tertuju ke arah kolam renang. Dalam sekejap, semua orang berkerumun di pinggir kolam, menyaksikan dua sosok wanita yang sedang berjuang di dalam air.Teriakan pelayan itu juga membuat Rendra yang sedang berbicara dengan beberapa tamu, langsung mengarahkan pandangan ke kolam. Dia tidak tahu siapa yang dengan konyol tercebur ke kolam, namun rasa penasaran mendorongnya untuk berlari ke sana.Kedua matanya terbelalak ketika melihat Kirana dan Alisya tengah menggapai-gapai permukaan untuk meminta pertolongan. Tanpa membuang waktu lelaki ini langsung melompat ke kolam.Melihat Rendra mendekat. Kirana merasa ada lega, setidaknya lelaki itu masih peduli padanya. Namun, harapan itu musnah seketika. Rendra berenang melewatinya. Dia sama sekali tidak mengulurkan tangannya ke arahnya.Dengan sigap, Rendra meraih Alisya yang sengaja terlihat lemah dan terkapar, mendekapnya erat, lalu membawanya ke tepi k
“Rendra?” Kirana sangat terkejut melihat lelakinya begitu mesra merangkul pinggang ramping perempuan cantik itu.Mereka menghampiri Bu Ratna dan Nadira.“Alisya, lama sekali kita tidak bertemu,” sapa Bu Ratna dengan nada riang yang jarang Kirana dengar.Alisya tersenyum manis, “Senang sekali bisa datang, Tante.”“Kamu makin cantik dan anggun.” Bu Ratna memuji.“Terima kasih, Tante,” ujar Alisya sopan.“Iya, aku lihat di media sosial, bisnis fashion Kakak juga sukses banget,” kata Nadira dengan nada kagum.“Semua berkat dukungan banyak orang. Dan tentu saja, banyak inspirasi yang saya dapat dari Tante Ratna dulu.”“Ah, Tante cuma kasih saran, yang berbakat itu memang kamu. Tante selalu bilang ke Rendra, kamu ini paket lengkap, cocok sekali buat jadi pasangan Rendra.” Bu Ratna sengaja meninggikan suaranya agar terdengar di telinga Kirana.Sementara Kirana merasa nelangsa mendengar pujian dan perlakuan hangat yang ditujukan pada Alisya. Dia tidak tahu siapa perempuan itu, tapi besar kemu
Tak ada jawaban apa pun dari mulut Rendra, membuat Kirana menelan kekecewaannya dan berbalik, hendak meninggalkan ruang kerja itu. Namun baru beberapa langkah, suara Rendra menahannya.“Tunggu!” seru Rendra.Kirana berhenti, perlahan menoleh. Rendra menatapnya sekilas sebelum kembali menatap layar laptop. “Aku sudah transfer sejumlah uang ke rekeningmu. Besok ada acara di rumah, jadi belilah pakaian yang pantas.”Mata Kirana membesar. “Untukku?” tanyanya, hampir tak percaya.Rendra hanya mengangguk.Kirana merasakan dadanya menghangat. Perhatian sekecil itu pun rasanya seperti cahaya di tengah gelap. Ia buru-buru merogoh ponselnya, membuka aplikasi M-Banking, dan benar saja, ada notifikasi uang masuk ke rekeningnya. Jumlahnya cukup besar untuk membeli lebih dari sekadar satu pakaian.Senyumnya merekah, matanya berbinar. Untuk pertama kalinya sejak tinggal di rumah ini, ia merasa sedikit… diperhatikan.“Terima kasih,” ucap Kirana.Sore itu juga Kirana segera keluar untuk membeli pakai