Share

Bab 7. Tak Bisa Menahan Diri

Author: Nawasena
last update Last Updated: 2025-09-04 15:35:17

“Baik, Pak Alvin. Saya tertarik untuk membicarakan lebih lanjut mengenai proyek ini.”

Kirana menekan tombol kirim. Dan seketika, hatinya terasa jauh lebih ringan. Selang beberapa menit, ponselnya kembali berbunyi. Alvin membalasnya dengan cepat.

“Terima kasih, Bu Kirana. Saya yakin kehadiran Anda bisa membawa nuansa berbeda untuk proyek ini. Bagaimana kalau kita bertemu langsung di studio saya, besok pukul tiga sore? Lokasinya di Jalan Wijaya No. 18. Saya akan siapkan draft rancangan dan konsep awalnya.”

Kirana membaca pesan itu berulang kali. Ada rasa gugup sekaligus antusias. Alvin Reinaldi adalah arsitek muda dengan karya berani, banyak diliput media, dan tidak sedikit perusahaan besar ingin bekerja sama dengannya. Menjadi bagian dari proyek Alvin, adalah suatu kebanggaan baginya.   

***

Studio arsitektur Alvin Reinaldi terletak di sebuah bangunan dua lantai bergaya industrial.   Kirana masuk, matanya melihat ke sekeliling ruangan yang dipenuhi maquette bangunan. Senyumnya mengembang ketika seorang perempuan muda mendekatinya.

“Dengan Bu Kirana?”

“Benar,” sahut Kirana ramah.

“Pak Alvin sudah menunggu di ruangannya. Mari saya antar ke sana!”

Kirana mengikuti perempuan itu menuju ke ruangan Alvin. Begitu masuk, seorang pria muda menyambut Kirana dengan ramah. Dia adalah Alvin Reynaldi.

“Silakan duduk, Bu Kirana.” Alvin mempersilakan.  

“Terima kasih, Pak Alvin.”

“Baik, kita langsung saja.” Alvin membuka map dan mengeluarkan beberapa gambar rancangan. “Studio kami baru saja menjalin kerja sama dengan HLC Group. Mereka ingin beberapa proyek ritel dan properti baru, dan saya butuh freelancer yang bisa mendukung tim kami. Pilihan kami jatuh kepada Bu Kirana.”

Kirana tercengang mendengarnya. “HLC Group?” ulangnya.

“Benar, dan sejauh ini komunikasi berjalan lancar. Pak Rendra menyerah

Dada Kirana bergemuruh. Kata-kata Alvin bagai pisau yang menggores dalam. Rendra lagi, Rendra lagi. Kenapa laki-laki itu ada di mana-mana. Bahkan di tempat yang dia anggap menjadi pelarian.

Alvin tak menyadari kegelisahan itu, ia terus berbicara tentang proyek, timeline, dan ekspektasi kerja.

“Jadi bagaimana Bu Kirana?” tanya Alvin.

Kirana menatap gambar-gambar rancangan di meja, lalu mengangguk, menjelaskan pendapatnya yang tak sejalan dengan Alvin.

Sementara Alvin mengangguk-angguk, “Ah, betul sekali. Sebenarnya hal itu juga jadi catatan saya, tapi saya ingin mendengar langsung dari sudut pandang orang lain. Dan Bu Kirana mampu menangkapnya dengan jernih.”

Kirana terdiam sejenak. Biasanya, setiap ia bicara di rumah Harsena, kata-katanya sering dipatahkan, diremehkan, bahkan sebelum selesai diucapkan.  Tapi, di sini dia benar-benar dihargai.

Akhirnya Kirana menandatangani persetujuan kerja sama itu. Apa pun yang berhubungan dengan Rendra, biarlah menjadi urusan nanti.   

Selesai pertemuan, Kirana pulang. Sesampainya di rumah, matanya langsung menangkap sesuatu yang tak biasa. Rendra sudah berada di ruang tamu bersama Alisya. Saat ini waktu baru menunjukkan pukul tiga sore. Biasanya, lelaki itu baru tiba ketika malam larut, atau paling cepat pukul sembilan.

Kirana berhenti sejenak di ambang pintu. Dilihatnya Rendra tertawa lepas. Ini adalah pertama kalinya Kirana melihat senyum tulus Rendra, tapi bukan untuk dirinya. Hatinya tercekat, namun ia menepis perasaan itu. Bukan urusannya juga. Ia melangkah masuk tanpa suara, memilih berlalu ke kamarnya sendiri.

Ketika Kirana melewati ruang tamu, tawa Rendra tiba-tiba berhenti. Berganti dengan tatapan dingin seperti biasanya.

“Dari mana kamu?” tanya Rendra, nadanya terdengar ketus.

“Keluar sebentar,” jawab Kirana.

Alisya tak suka melihat interaksi antara Rendra dan Kirana. Baginya Rendra miliknya seorang. Maka dia langsung menyela pembicaraan itu. “Ren, aku haus.”

Rendra tersenyum mengangguk pada Alisya, lalu sontak menoleh ke arah istrinya. “Kirana, ambilkan minum.”

Kirana menatap Rendra sejenak, tanpa banyak kata dia berbalik menuju dapur. Tangannya cekatan menyiapkan dua gelas jus jeruk. Tak lama, ia kembali dengan nampan berisi minuman. Diletakkannya di meja di hadapan Rendra dan Alisya.

Alisya meraih segelas jus jeruk yang disuguhkan Kirana. Ia meneguk sedikit, lalu meringis sambil memandang Rendra. “Ren, ini manis sekali, bisa-bisa aku kena diabetes karena terlalu banyak gula,” keluhnya.

Rendra segera menoleh ke arah Kirana, sorot matanya penuh tuduhan. “Kamu sengaja mencelakai Alisya?”

Kirana cepat menggeleng, “Aku tidak bermaksud.”

“Buatkan lagi!” perintah Rendra.

Kirana berbalik menuju ke dapur, menyembunyikan amarah yang sudah hampir meluap. Tak lama, ia kembali dengan nampan lain berisi minuman.

Alisya kembali mencicipinya.

“Bagaimana?” tanya Rendra penuh pengertian.

Alisya mengernyit seakan tak suka dengan minuman itu. Ia menoleh dengan wajah pura-pura murung. “Mungkin Kirana memang tidak suka aku di sini. Lebih baik aku pulang saja.”

Namun Rendra segera menahan tangan Alisya. “Tidak. Kamu tetap di sini. Kirana saja yang memang tidak becus melayani,” ucapnya seraya menatap tajam ke arah Kirana.

Jika biasanya Kirana akan menangis dan meminta maaf. Kali ini ia memilih tak memedulikan ucapan tajam Rendra. Tak ada gunanya menangisi laki-laki yang bahkan tak peduli dengan nyawa dan harga dirinya.

Sekilas ia melihat senyum penuh kemenangan di balik wajah Alisya yang pura-pura lemah. Sudah ia duga bahwa Alisya hanya bersandiwara agar Rendra memarahinya.  

Hal itu jelas membuatnya naik pitam dan tak bisa menahan untuk tidak meraih gelas jus jeruk yang masih di atas meja, lalu menyiramkan isinya tepat ke wajah. Cairan oranye itu mengalir di pipi dan leher perempuan itu, membuatnya terpekik kaget.

“Akhh...” Alisya terpekik.

Rendra tercengang. Matanya melebar dan mulutnya melongo. Namun, detik berikutnya wajahnya yang kuning langsat itu berubah menjadi merah padam. “Apa-apaan kamu, Kirana!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terbongkarnya Rahasia Cinta Sang CEO   Bab 7. Tak Bisa Menahan Diri

    “Baik, Pak Alvin. Saya tertarik untuk membicarakan lebih lanjut mengenai proyek ini.”Kirana menekan tombol kirim. Dan seketika, hatinya terasa jauh lebih ringan. Selang beberapa menit, ponselnya kembali berbunyi. Alvin membalasnya dengan cepat.“Terima kasih, Bu Kirana. Saya yakin kehadiran Anda bisa membawa nuansa berbeda untuk proyek ini. Bagaimana kalau kita bertemu langsung di studio saya, besok pukul tiga sore? Lokasinya di Jalan Wijaya No. 18. Saya akan siapkan draft rancangan dan konsep awalnya.”Kirana membaca pesan itu berulang kali. Ada rasa gugup sekaligus antusias. Alvin Reinaldi adalah arsitek muda dengan karya berani, banyak diliput media, dan tidak sedikit perusahaan besar ingin bekerja sama dengannya. Menjadi bagian dari proyek Alvin, adalah suatu kebanggaan baginya. ***Studio arsitektur Alvin Reinaldi terletak di sebuah bangunan dua lantai bergaya industrial. Kirana masuk, matanya melihat ke sekeliling ruangan yang dipenuhi maquette bangunan. Senyumnya mengemba

  • Terbongkarnya Rahasia Cinta Sang CEO   Bab 6. Nyawa yang Tak Berharga

    "Tolong! Ada yang tenggelam!" teriak salah satu pelayan wanita.Segala pandangan serta merta tertuju ke arah kolam renang. Dalam sekejap, semua orang berkerumun di pinggir kolam, menyaksikan dua sosok wanita yang sedang berjuang di dalam air.Teriakan pelayan itu juga membuat Rendra yang sedang berbicara dengan beberapa tamu, langsung mengarahkan pandangan ke kolam. Dia tidak tahu siapa yang dengan konyol tercebur ke kolam, namun rasa penasaran mendorongnya untuk berlari ke sana.Kedua matanya terbelalak ketika melihat Kirana dan Alisya tengah menggapai-gapai permukaan untuk meminta pertolongan. Tanpa membuang waktu lelaki ini langsung melompat ke kolam.Melihat Rendra mendekat. Kirana merasa ada lega, setidaknya lelaki itu masih peduli padanya. Namun, harapan itu musnah seketika. Rendra berenang melewatinya. Dia sama sekali tidak mengulurkan tangannya ke arahnya.Dengan sigap, Rendra meraih Alisya yang sengaja terlihat lemah dan terkapar, mendekapnya erat, lalu membawanya ke tepi k

  • Terbongkarnya Rahasia Cinta Sang CEO   Bab 5. Bermuka Dua

    “Rendra?” Kirana sangat terkejut melihat lelakinya begitu mesra merangkul pinggang ramping perempuan cantik itu.Mereka menghampiri Bu Ratna dan Nadira.“Alisya, lama sekali kita tidak bertemu,” sapa Bu Ratna dengan nada riang yang jarang Kirana dengar.Alisya tersenyum manis, “Senang sekali bisa datang, Tante.”“Kamu makin cantik dan anggun.” Bu Ratna memuji.“Terima kasih, Tante,” ujar Alisya sopan.“Iya, aku lihat di media sosial, bisnis fashion Kakak juga sukses banget,” kata Nadira dengan nada kagum.“Semua berkat dukungan banyak orang. Dan tentu saja, banyak inspirasi yang saya dapat dari Tante Ratna dulu.”“Ah, Tante cuma kasih saran, yang berbakat itu memang kamu. Tante selalu bilang ke Rendra, kamu ini paket lengkap, cocok sekali buat jadi pasangan Rendra.” Bu Ratna sengaja meninggikan suaranya agar terdengar di telinga Kirana.Sementara Kirana merasa nelangsa mendengar pujian dan perlakuan hangat yang ditujukan pada Alisya. Dia tidak tahu siapa perempuan itu, tapi besar kemu

  • Terbongkarnya Rahasia Cinta Sang CEO   Bab 4. Kedatangan Mantan Rendra

    Tak ada jawaban apa pun dari mulut Rendra, membuat Kirana menelan kekecewaannya dan berbalik, hendak meninggalkan ruang kerja itu. Namun baru beberapa langkah, suara Rendra menahannya.“Tunggu!” seru Rendra.Kirana berhenti, perlahan menoleh. Rendra menatapnya sekilas sebelum kembali menatap layar laptop. “Aku sudah transfer sejumlah uang ke rekeningmu. Besok ada acara di rumah, jadi belilah pakaian yang pantas.”Mata Kirana membesar. “Untukku?” tanyanya, hampir tak percaya.Rendra hanya mengangguk.Kirana merasakan dadanya menghangat. Perhatian sekecil itu pun rasanya seperti cahaya di tengah gelap. Ia buru-buru merogoh ponselnya, membuka aplikasi M-Banking, dan benar saja, ada notifikasi uang masuk ke rekeningnya. Jumlahnya cukup besar untuk membeli lebih dari sekadar satu pakaian.Senyumnya merekah, matanya berbinar. Untuk pertama kalinya sejak tinggal di rumah ini, ia merasa sedikit… diperhatikan.“Terima kasih,” ucap Kirana.Sore itu juga Kirana segera keluar untuk membeli pakai

  • Terbongkarnya Rahasia Cinta Sang CEO   Bab 3. Bukan Prioritas

    “Ada apa, Ma?” tanya Kirana gugup. Tangannya meremas ujung celemek yang dikenakan.Bu Ratna menatap tajam ke arahnya. “Lihat ini, Kirana,” katanya sambil menunjuk pada mangkuk sup yang tersaji. “Kenapa warna mangkuknya kuning muda? Bukan putih seperti yang kuperintahkan. Apa kamu benar-benar tak paham standar keluarga ini? Kamu memang tidak becus, bahkan hal sepele pun salah.”Kirana hanya bisa menunduk, menahan malu dan sakit hati yang membakar dada.“Maaf, Ma, Kirana salah,” ucapnya.“Lekas ganti dengan mangkuk yang saya mau!” perintah Bu Ratna.“Baik, Ma.”Kirana menarik napas dalam-dalam, lalu berlalu ke dapur dengan membawa mangkuk berisi sup untuk mengganti mangkuk yang salah tadi. Setelahnya segera ia kembali ke meja makan.“Ini, Ma,” ucap Kirana seraya meletakkan mangkuk di meja makan.“Bagus,” ucap Bu Ratna seraya meraih mangkuk berisi sup, lalu menyiramkan isinya ke kepala Kirana.“Akh!” Kirana memekik merasakan kepalanya panas hingga meluber ke wajah dan tubuhnya.“Kau piki

  • Terbongkarnya Rahasia Cinta Sang CEO   Bab 2. Rumah Mewah Rasa Neraka

    Kirana tercengang, hanya bisa menatap Rendra semakin menjauh. Ia tak percaya ternyata lelaki itu bersikap kasar kepadanya.Kirana segera bangkit berdiri, kembali menyelesaikan pekerjaannya. Begitu lantai ruang tamu mengilap tanpa noda, ia merapikan peralatan kebersihan. Perutnya sudah sejak tadi meronta minta diisi. Ia melangkah menuju dapur, berharap bisa menikmati sarapan walau hanya sepotong roti.Namun, suara Bu Ratna memanggil dari teras samping menghentikan langkahnya.“Kirana! Ke sini sebentar!” teriak Bu Ratna lantang.Kirana mendekat, menahan lelah di kakinya. “Iya Ma.”“Bereskan taman depan. Rumputnya sudah terlalu panjang, dan bunga di sudut itu perlu dipangkas. Kamu juga buang daun-daun keringnya,” perintah Bu Ratna.Kirana menelan ludah. Tubuhnya sudah lemas karena belum sarapan, tapi ia tahu tak ada ruang untuk menolak. “Baik, Ma,” jawabnya singkat.Perempuan itu mulai memangkas tanaman, dan mengumpulkan dedaunan kering ke tempat sampah. Tangannya mulai bergetar kelelaha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status