“Baik, Pak Alvin. Saya tertarik untuk membicarakan lebih lanjut mengenai proyek ini.”
Kirana menekan tombol kirim. Dan seketika, hatinya terasa jauh lebih ringan. Selang beberapa menit, ponselnya kembali berbunyi. Alvin membalasnya dengan cepat.
“Terima kasih, Bu Kirana. Saya yakin kehadiran Anda bisa membawa nuansa berbeda untuk proyek ini. Bagaimana kalau kita bertemu langsung di studio saya, besok pukul tiga sore? Lokasinya di Jalan Wijaya No. 18. Saya akan siapkan draft rancangan dan konsep awalnya.”
Kirana membaca pesan itu berulang kali. Ada rasa gugup sekaligus antusias. Alvin Reinaldi adalah arsitek muda dengan karya berani, banyak diliput media, dan tidak sedikit perusahaan besar ingin bekerja sama dengannya. Menjadi bagian dari proyek Alvin, adalah suatu kebanggaan baginya.
***
Studio arsitektur Alvin Reinaldi terletak di sebuah bangunan dua lantai bergaya industrial. Kirana masuk, matanya melihat ke sekeliling ruangan yang dipenuhi maquette bangunan. Senyumnya mengembang ketika seorang perempuan muda mendekatinya.
“Dengan Bu Kirana?”
“Benar,” sahut Kirana ramah.
“Pak Alvin sudah menunggu di ruangannya. Mari saya antar ke sana!”
Kirana mengikuti perempuan itu menuju ke ruangan Alvin. Begitu masuk, seorang pria muda menyambut Kirana dengan ramah. Dia adalah Alvin Reynaldi.
“Silakan duduk, Bu Kirana.” Alvin mempersilakan.
“Terima kasih, Pak Alvin.”
“Baik, kita langsung saja.” Alvin membuka map dan mengeluarkan beberapa gambar rancangan. “Studio kami baru saja menjalin kerja sama dengan HLC Group. Mereka ingin beberapa proyek ritel dan properti baru, dan saya butuh freelancer yang bisa mendukung tim kami. Pilihan kami jatuh kepada Bu Kirana.”
Kirana tercengang mendengarnya. “HLC Group?” ulangnya.
“Benar, dan sejauh ini komunikasi berjalan lancar. Pak Rendra menyerah
Dada Kirana bergemuruh. Kata-kata Alvin bagai pisau yang menggores dalam. Rendra lagi, Rendra lagi. Kenapa laki-laki itu ada di mana-mana. Bahkan di tempat yang dia anggap menjadi pelarian.
Alvin tak menyadari kegelisahan itu, ia terus berbicara tentang proyek, timeline, dan ekspektasi kerja.
“Jadi bagaimana Bu Kirana?” tanya Alvin.
Kirana menatap gambar-gambar rancangan di meja, lalu mengangguk, menjelaskan pendapatnya yang tak sejalan dengan Alvin.
Sementara Alvin mengangguk-angguk, “Ah, betul sekali. Sebenarnya hal itu juga jadi catatan saya, tapi saya ingin mendengar langsung dari sudut pandang orang lain. Dan Bu Kirana mampu menangkapnya dengan jernih.”
Kirana terdiam sejenak. Biasanya, setiap ia bicara di rumah Harsena, kata-katanya sering dipatahkan, diremehkan, bahkan sebelum selesai diucapkan. Tapi, di sini dia benar-benar dihargai.
Akhirnya Kirana menandatangani persetujuan kerja sama itu. Apa pun yang berhubungan dengan Rendra, biarlah menjadi urusan nanti.
Selesai pertemuan, Kirana pulang. Sesampainya di rumah, matanya langsung menangkap sesuatu yang tak biasa. Rendra sudah berada di ruang tamu bersama Alisya. Saat ini waktu baru menunjukkan pukul tiga sore. Biasanya, lelaki itu baru tiba ketika malam larut, atau paling cepat pukul sembilan.
Kirana berhenti sejenak di ambang pintu. Dilihatnya Rendra tertawa lepas. Ini adalah pertama kalinya Kirana melihat senyum tulus Rendra, tapi bukan untuk dirinya. Hatinya tercekat, namun ia menepis perasaan itu. Bukan urusannya juga. Ia melangkah masuk tanpa suara, memilih berlalu ke kamarnya sendiri.
Ketika Kirana melewati ruang tamu, tawa Rendra tiba-tiba berhenti. Berganti dengan tatapan dingin seperti biasanya.
“Dari mana kamu?” tanya Rendra, nadanya terdengar ketus.
“Keluar sebentar,” jawab Kirana.
Alisya tak suka melihat interaksi antara Rendra dan Kirana. Baginya Rendra miliknya seorang. Maka dia langsung menyela pembicaraan itu. “Ren, aku haus.”
Rendra tersenyum mengangguk pada Alisya, lalu sontak menoleh ke arah istrinya. “Kirana, ambilkan minum.”
Kirana menatap Rendra sejenak, tanpa banyak kata dia berbalik menuju dapur. Tangannya cekatan menyiapkan dua gelas jus jeruk. Tak lama, ia kembali dengan nampan berisi minuman. Diletakkannya di meja di hadapan Rendra dan Alisya.
Alisya meraih segelas jus jeruk yang disuguhkan Kirana. Ia meneguk sedikit, lalu meringis sambil memandang Rendra. “Ren, ini manis sekali, bisa-bisa aku kena diabetes karena terlalu banyak gula,” keluhnya.
Rendra segera menoleh ke arah Kirana, sorot matanya penuh tuduhan. “Kamu sengaja mencelakai Alisya?”
Kirana cepat menggeleng, “Aku tidak bermaksud.”
“Buatkan lagi!” perintah Rendra.
Kirana berbalik menuju ke dapur, menyembunyikan amarah yang sudah hampir meluap. Tak lama, ia kembali dengan nampan lain berisi minuman.
Alisya kembali mencicipinya.
“Bagaimana?” tanya Rendra penuh pengertian.
Alisya mengernyit seakan tak suka dengan minuman itu. Ia menoleh dengan wajah pura-pura murung. “Mungkin Kirana memang tidak suka aku di sini. Lebih baik aku pulang saja.”
Namun Rendra segera menahan tangan Alisya. “Tidak. Kamu tetap di sini. Kirana saja yang memang tidak becus melayani,” ucapnya seraya menatap tajam ke arah Kirana.
Jika biasanya Kirana akan menangis dan meminta maaf. Kali ini ia memilih tak memedulikan ucapan tajam Rendra. Tak ada gunanya menangisi laki-laki yang bahkan tak peduli dengan nyawa dan harga dirinya.
Sekilas ia melihat senyum penuh kemenangan di balik wajah Alisya yang pura-pura lemah. Sudah ia duga bahwa Alisya hanya bersandiwara agar Rendra memarahinya.
Hal itu jelas membuatnya naik pitam dan tak bisa menahan untuk tidak meraih gelas jus jeruk yang masih di atas meja, lalu menyiramkan isinya tepat ke wajah. Cairan oranye itu mengalir di pipi dan leher perempuan itu, membuatnya terpekik kaget.
“Akhh...” Alisya terpekik.
Rendra tercengang. Matanya melebar dan mulutnya melongo. Namun, detik berikutnya wajahnya yang kuning langsat itu berubah menjadi merah padam. “Apa-apaan kamu, Kirana!”
Kirana hampir menjerit ketika mendapati dirinya telah berganti pakaian dengan piyama berbahan satin. Kedua matanya melihat ke arah Rendra. Pasti lelaki itu yang telah menggantinya. Sangat lancang. Pikir Kirana.Perempuan itu tak begitu memusingkannya, toh hanya mengganti pakaian. Namun, ketika hendak melangkah ke kamar mandi, bagian ‘terlarangnya’ terasa semakin perih. Bahkan untuk berjalan pun harus sedikit melebarkan kedua pahanya.Kirana berdiri terpaku di depan cermin kamar mandi. Masih teringat jelas dalam benaknya, terdapat noda darah pada celana dalamnya. Ia menatap bayangan dirinya sendiri, lalu menggenggam wastafel erat-erat.“Rendra tolol!” geramnya.Air matanya jatuh begitu saja. Ia merasa sangat marah dan jijik mengetahui tubuhnya dirampas tanpa izin. Meski sudah menikah, namun tetap saja Kirana merasa tidak terima. Apalagi sikap Rendra sangat dingin kepadanya.“Bajingan itu hanya mau enaknya saja!” Kirana kembali berkata dengan geram.Kirana segera ke kamar dan memutuska
Kirana menatap Rendra dengan senyum sinis di bibirnya, "Oh, maaf tanganku keseleo.""Kirana!" Rendra kembali berteriak."Sebaiknya kamu urus saja gadis kesayanganmu daripada meneriakiku! Katakan juga padanya aku tak sudi lagi melayani permainan rendahan seperti itu," ujar Kirana, lalu pergi ke kamarnya.Rendra semakin meradang, ia hendak mengejar dan memberikan pelajaran pada Kirana. Namun, suara tangis Alisya menghentikan langkahnya.Gadis kesayangannya itu menunduk dan menangis.“Mengapa Kirana begitu membenciku? Padahal aku tidak pernah berniat merebut tempatnya darimu.”Rendra yang sejak tadi murka langsung melangkah cepat menghampiri Alisya. Dengan sigap ia meraih bahu perempuan itu, menatapnya penuh iba.“Kamu tak perlu merasa bersalah. Kirana lah yang keterlaluan,” ucap Rendra geram. “Sebaiknya kamu istirahat dulu, besok aku akan mengajakmu jalan-jalan. Ayo kuantar pulang!”***Sepulang dari mengantar Alisya, Rendra langsung menemui Kirana di kamar. Saat itu, Kirana yang sedang
“Baik, Pak Alvin. Saya tertarik untuk membicarakan lebih lanjut mengenai proyek ini.”Kirana menekan tombol kirim. Dan seketika, hatinya terasa jauh lebih ringan. Selang beberapa menit, ponselnya kembali berbunyi. Alvin membalasnya dengan cepat.“Terima kasih, Bu Kirana. Saya yakin kehadiran Anda bisa membawa nuansa berbeda untuk proyek ini. Bagaimana kalau kita bertemu langsung di studio saya, besok pukul tiga sore? Lokasinya di Jalan Wijaya No. 18. Saya akan siapkan draft rancangan dan konsep awalnya.”Kirana membaca pesan itu berulang kali. Ada rasa gugup sekaligus antusias. Alvin Reinaldi adalah arsitek muda dengan karya berani, banyak diliput media, dan tidak sedikit perusahaan besar ingin bekerja sama dengannya. Menjadi bagian dari proyek Alvin, adalah suatu kebanggaan baginya. ***Studio arsitektur Alvin Reinaldi terletak di sebuah bangunan dua lantai bergaya industrial. Kirana masuk, matanya melihat ke sekeliling ruangan yang dipenuhi maquette bangunan. Senyumnya mengemba
"Tolong! Ada yang tenggelam!" teriak salah satu pelayan wanita.Segala pandangan serta merta tertuju ke arah kolam renang. Dalam sekejap, semua orang berkerumun di pinggir kolam, menyaksikan dua sosok wanita yang sedang berjuang di dalam air.Teriakan pelayan itu juga membuat Rendra yang sedang berbicara dengan beberapa tamu, langsung mengarahkan pandangan ke kolam. Dia tidak tahu siapa yang dengan konyol tercebur ke kolam, namun rasa penasaran mendorongnya untuk berlari ke sana.Kedua matanya terbelalak ketika melihat Kirana dan Alisya tengah menggapai-gapai permukaan untuk meminta pertolongan. Tanpa membuang waktu lelaki ini langsung melompat ke kolam.Melihat Rendra mendekat. Kirana merasa ada lega, setidaknya lelaki itu masih peduli padanya. Namun, harapan itu musnah seketika. Rendra berenang melewatinya. Dia sama sekali tidak mengulurkan tangannya ke arahnya.Dengan sigap, Rendra meraih Alisya yang sengaja terlihat lemah dan terkapar, mendekapnya erat, lalu membawanya ke tepi k
“Rendra?” Kirana sangat terkejut melihat lelakinya begitu mesra merangkul pinggang ramping perempuan cantik itu.Mereka menghampiri Bu Ratna dan Nadira.“Alisya, lama sekali kita tidak bertemu,” sapa Bu Ratna dengan nada riang yang jarang Kirana dengar.Alisya tersenyum manis, “Senang sekali bisa datang, Tante.”“Kamu makin cantik dan anggun.” Bu Ratna memuji.“Terima kasih, Tante,” ujar Alisya sopan.“Iya, aku lihat di media sosial, bisnis fashion Kakak juga sukses banget,” kata Nadira dengan nada kagum.“Semua berkat dukungan banyak orang. Dan tentu saja, banyak inspirasi yang saya dapat dari Tante Ratna dulu.”“Ah, Tante cuma kasih saran, yang berbakat itu memang kamu. Tante selalu bilang ke Rendra, kamu ini paket lengkap, cocok sekali buat jadi pasangan Rendra.” Bu Ratna sengaja meninggikan suaranya agar terdengar di telinga Kirana.Sementara Kirana merasa nelangsa mendengar pujian dan perlakuan hangat yang ditujukan pada Alisya. Dia tidak tahu siapa perempuan itu, tapi besar kemu
Tak ada jawaban apa pun dari mulut Rendra, membuat Kirana menelan kekecewaannya dan berbalik, hendak meninggalkan ruang kerja itu. Namun baru beberapa langkah, suara Rendra menahannya.“Tunggu!” seru Rendra.Kirana berhenti, perlahan menoleh. Rendra menatapnya sekilas sebelum kembali menatap layar laptop. “Aku sudah transfer sejumlah uang ke rekeningmu. Besok ada acara di rumah, jadi belilah pakaian yang pantas.”Mata Kirana membesar. “Untukku?” tanyanya, hampir tak percaya.Rendra hanya mengangguk.Kirana merasakan dadanya menghangat. Perhatian sekecil itu pun rasanya seperti cahaya di tengah gelap. Ia buru-buru merogoh ponselnya, membuka aplikasi M-Banking, dan benar saja, ada notifikasi uang masuk ke rekeningnya. Jumlahnya cukup besar untuk membeli lebih dari sekadar satu pakaian.Senyumnya merekah, matanya berbinar. Untuk pertama kalinya sejak tinggal di rumah ini, ia merasa sedikit… diperhatikan.“Terima kasih,” ucap Kirana.Sore itu juga Kirana segera keluar untuk membeli pakai