Aruna terpaku. Dadanya berdentum kencang, napasnya tercekat. Sosok yang selama ini hanya samar di mimpi—pria tanpa wajah yang selalu membuatnya merasa hangat—kini berdiri nyata di depan matanya.
Namun, ketika pembagian kelompok diumumkan, takdir seolah memainkan perannya. Aruna mendengar namanya dipanggil masuk ke kelompok yang akan dibimbing langsung oleh Ezra dan tim BEM-nya. Aruna menggenggam kartu identitasnya erat-erat, jantungnya berdegup semakin kencang. Ia tidak tahu harus merasa apa—bahagia, gugup, atau takut. Yang jelas, jalan baru hidupnya kini akan terus bersinggungan dengan Ezra. Di atas panggung, Ezra menatap sekilas ke arah kerumunan mahasiswa baru. Pandangannya berhenti sejenak, menatap seorang gadis berambut panjang dengan tatapan bingung namun menawan. Dadanya bergemuruh. Aruna… Julia yang berdiri tak jauh dari Ezra, memperhatikan arah tatapan itu. Senyum liciknya kembali muncul. Pertarungan baru saja dimuPagi itu udara kampus terasa lebih dingin dari biasanya.Langit berwarna abu-abu muda, seolah menandakan sesuatu yang berat sedang menunggu.Aruna datang sedikit lebih awal dari waktu briefing. Ia menunduk sepanjang jalan, langkahnya hati-hati, pandangannya hanya tertuju pada ujung sepatu putihnya.Bisikan-bisikan halus mulai terdengar lagi begitu ia melewati gerbang fakultas.“Itu Aruna ya?”“Iya, yang deket sama Kak Ezra itu kan?”“Katanya dia sengaja pingsan biar diperhatiin.”“Seriusan? Ih, tega banget sih, padahal Ezra udah sibuk banget…”Setiap kata seperti duri kecil yang menusuk perlahan ke dalam pikirannya.Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba tak peduli — tapi matanya berkaca-kaca.Begitu sampai di meja registrasi panitia, Dito — salah satu panitia yang kemarin diarahkan Julia — menyapanya dengan nada datar.“Pagi, Aruna. Kamu kemarin nggak submit laporan kegiatan ya?”Aruna mengerutkan dahi, bingung. “Laporan kegiatan?”“Iya. Semua peserta bimbingan wajib submit laporan ha
Langkah Aruna cepat dan berat.Ia menuruni tangga gedung fakultas tanpa arah pasti, hanya ingin menjauh dari aula yang terasa terlalu sesak oleh tatapan dan bisikan.Lorong di sisi utara gedung itu sepi dingin, hanya diterangi cahaya matahari yang menembus jendela panjang.Ia berhenti di sana.Menunduk, memegangi dada, mencoba bernapas.Namun, semakin ia mencoba tenang, semakin sesak rasanya dada itu.“Aku nggak kuat lagi…” bisiknya parau, suaranya nyaris hilang.“Aku nggak tahu kenapa semua orang benci aku. Aku cuma—”Kalimat itu menggantung di udara ketika suara langkah kaki terdengar dari ujung lorong.Aruna menegakkan kepala pelan.Ezra.Ia berjalan cepat ke arahnya, napasnya sedikit memburu. Tatapan matanya cemas, tapi juga penuh ketegasan yang menenangkan.“Aruna—”“Jangan dekat aku!” potong Aruna tiba-tiba. Suaranya meninggi, bergetar.Ezra terdiam di tempat.Aruna mundur satu langkah, matanya basah, suaranya pecah.“Setiap kali kamu deket, semuanya makin parah, Ezra!”Ia menat
Matahari belum terlalu tinggi ketika Aruna melangkah pelan ke gerbang kampus.Tasnya disampirkan di bahu kanan, dan wajahnya berusaha tampak tenang meski matanya masih sedikit bengkak karena menangis semalaman.Langkahnya lambat, seolah setiap tapak membawanya menuju medan perang yang tak terlihat.Suara obrolan mahasiswa mulai terdengar dari segala arah — bukan lagi ramah seperti sebelumnya, tapi dipenuhi nada bisik dan lirikan.“Itu dia, Aruna.”“Kamu liat nggak, dia jalan bareng Kak Ezra kemarin sore.”“Ih, nggak tahu malu banget.”“Kasihan Kak Julia, dia udah kayak bayangin Ezra itu milik dia aja.”Aruna menunduk.Ia mencoba tersenyum kecil ketika beberapa panitia menatapnya, tapi yang ia dapat hanya tatapan dingin dan canggung.Bahkan beberapa teman kelompok yang kemarin sempat membelanya kini ikut diam — takut terseret dalam pusaran gosip.Setiap langkah Aruna seperti melalui jalan yang dipenuhi kaca: pelan, menyakitkan, tapi ia tak punya pilihan selain terus maju.Di aula utama
Malam turun pelan, menyelimuti kampus dengan cahaya lampu jalan yang temaram.Suasana terlihat tenang dari luar — tapi di balik layar ponsel ratusan mahasiswa, badai mulai terbentuk.Di grup Mahasiswa Baru Angkatan 2025, notifikasi tak henti berdenting.Pesan bergulir cepat, satu gambar, lalu dua, lalu tiga.📸 “Eh, liat deh, Kak Ezra sama Aruna di taman sore tadi.”“Kok keliatan deket banget, ya?”“Itu Kak Julia bener… ternyata Aruna memang nyari perhatian.”“Padahal katanya dia baru sembuh dari koma. Tapi udah bisa flirting?”“Kasihan Kak Julia, udah baik banget ke dia.”Komentar demi komentar mengalir deras, membentuk aliran rumor yang makin kejam.Beberapa mahasiswa mencoba membela Aruna, tapi suara mereka tenggelam dalam gelombang gosip dan ejekan halus.Di rumahnya, Aruna baru saja selesai makan malam bersama keluarganya. Ia tertawa kecil mendengar Aurea bercerita tentang pasien lucu di tempat kerjanya.Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, suasana terasa ringan.Namun sem
Langit sore mulai berwarna jingga saat Aruna perlahan meninggalkan aula.Suara ramai mahasiswa baru yang tertawa dan berbicara tak lagi ia hiraukan.Langkah kakinya ringan, tapi hatinya terasa berat — seperti membawa beban yang tak terlihat.Ia melewati koridor panjang menuju taman kecil di belakang gedung fakultas.Tempat itu tenang. Hanya ada suara dedaunan yang bergesekan dan angin yang berhembus pelan.Aruna duduk di bangku kayu tua di bawah pohon flamboyan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang sejak pagi terasa tak karuan.Air matanya kembali jatuh tanpa bisa dicegah.Ia menatap kedua telapak tangannya — seolah mencoba mencari jawaban di sana.“Aku salah apa…? Aku cuma ingin diterima,” bisiknya, lirih.“Aku nggak minta semua orang suka aku… aku cuma pengen hidup normal.”Kata-kata itu tenggelam dalam angin sore.Kepalanya sedikit menunduk, rambutnya tergerai lembut menutupi sebagian wajah.Lalu, langkah kaki terdengar di belakangnya.Pelan, tapi pas
Sore itu, setelah mengintai dari jauh taman tempat Aruna dan Ezra, Julia kembali ke ruang panitia. Papan pengumuman dan laptop di mejanya sudah siap, tapi matanya tetap tertuju pada layar ponsel.Ia membuka grup kecil panitia senior, Mira dan Dito masih aktif di dalamnya. Julia menulis dengan nada seolah prihatin:“Hai, aku cuma mau kasih info. Aruna, Maba baru yang kemarin sempat pingsan, kelihatan deket banget sama Ezra, ya. Banyak mahasiswa baru yang mulai memperhatikan, hati-hati aja kalau ada salah paham. Kita bisa bantu arahkan narasi biar tetap sopan, tapi jelas.”Mira membalas cepat, sedikit ragu tapi percaya pada Julia:“Iya, Kak Julia. Tapi maksudnya gimana?”Julia tersenyum tipis di balik layar. Nada chat-nya lembut, tapi ada maksud tersembunyi:“Aku cuma mau kalian bantu aku kasih tips ringan ke mahasiswa baru. Biar mereka nggak terlalu banyak salah paham tentang Aruna dan Ezra. Tapi, jangan lupa… ‘tips ringan’ itu bisa disampaikan lewat komentar, gosip ringan, atau postin