Share

Bab 2 l Tak dihargai.

"Ibu!" teriak Nengsih yang lalu berhambur merangkul sang Ibu yang masih mengejang hendak memuntahkan lagi isi perutnya.

Ayla yang berada di dekat pintu, ikut mendekat lalu hendak membantu Nengsih meraih Riya yang meringkuk di atas lantai. Namun secepat kilat Nengsih menepis tangan Ayla.

Plak!

"Liat kan? Apa lagi kalau bukan santet?" pekik Nengsih sambil menatap Ayla dengki, lalu berbalik menatapi wajah sang Ibu dengan penuh kekhawatiran disertai rasa takut, jijik dan ngeri.

"Percayalah dik. Yang Ibu butuh itu rumah sakit. Ayo papah Ibu, biar kakak yang bawa motor," lirih Ayla memelas.

Seolah mengetahui penyebab yang diderita sang mertua, Ayla kukuh meyakinkan Nengsih untuk segera membawa Riya ke rumah sakit. Tersirat jelas kekhawatiran dan kecemasan di wajah Ayla. Tanpa ia sadari, bulir basah yang hangat pun terjatuh di sudut matanya. Ia merasa tak sanggup lagi melihat wanita yang melahirkan suaminya itu tak berdaya merintih kesakitan.

"Tolong pergi aja kalo lu gak mau bantu! Biar gua minta tolong orang lain aja!" dengus Nengsih sembari meraih ponselnya lalu terlihat menelepon seseorang.

"Nengsih kukatakan dengan sangat jelas, bahwa Ibu membutuhkan pertolongan dokter! Turunkan ego dan gengsimu terhadapku dan ayo bawa Ibu ke rumah sakit!" Tegas Ayla.

Memberanikan diri, Ayla pun meraih ponsel di genggaman Nengsih lalu melemparnya ke atas ranjang. Ia juga hendak meraih tubuh Riya dari rengkuhan Nengsih. Namun dengan cepat Nengsih mendorong tubuh ringkih Ayla hingga terjungkal. Matanya menyala penuh amarah, kebenciannya tersirat jelas tanpa ia tutup-tutupi lagi.

"Pergi dari rumah ini sekarang juga cewek gila! Jangan lupa lu cuma numpang! Saat Ibu sadar nanti, bakal gua buat lu bayar semuanya!" bentaknya sambil mengacungkan telunjuk ke arah Ayla dan ke arah pintu secara bergantian.

"Kita udah cukup muak ngadepin kebegoan lu! Dasar aneh! Gua bakal aduin sikap lu ini ke Mas Arta!" bentak Nengsih lagi.

Namun sama halnya dengan Nengsih yang kukuh, Ayla pun tak kalah ngotot untuk tetap membawa sang mertua ke tempat yang berbeda dari keinginan Nengsih.

"Kumohon percayalah. Tak ada santet atau semacamnya yang menimpa Ibu. Ini akibat ulah Ibu sendiri," kata Ayla dengan suara melemah.

"Jangan bilang lu yang menyantet Ibu ya? Makanya kemaren minta hal yang aneh-aneh?" tuduh Nengsih.

Mendengar hal itu, Ayla menghela nafas panjang. Ia terlihat frustrasi hingga tak sempat untuk membuka mulut dan membiarkan Nengsih terus mengoceh memojokkan dirinya. Adu mulut pun tak terelakkan, hingga membuat mereka lupa akan kondisi Riya yang masih terkulai lemas dengan nafas tersengal-sengal.

"Benar kan? Lu kan emang benci Ibu!" tuduhnya lagi dengan jari telunjuk yang kini mengacung pada Ayla.

"Jangan bicara yang tidak-tidak Nengsih. Yang membenci itu bukan aku, tapi kalian. Aku hanya ingin kalian tahu, aku yakin Ibu keracunan sesuatu. Makanya aku menyarankan sebaiknya ibu dibawa ke rumah sakit saja."

"Lu kemaren nyuruh Ibu buat minta maaf sama lu kan? Itu udah pasti karna lu punya niat mencelakai ibu!" pekik Nengsih.

Sambil berteriak, Nengsih mulai membrutal. Dengan emosi yang kian meluap, ia mencoba menjambak rambut Ayla, tanpa melepaskan rengkuhannya dari Ayla. Namun dengan gesit Ayla mengelak.

"Nengsih. Kumohon jangan membuang waktu, ayo kita bawa Ibu sekarang juga," desak Ayla masih dengan kekukuhannya.

Sebagai seorang wanita, Ayla memiliki firasat yang lebih peka dibanding orang lain. ia merasa sangat yakin bahwa Riya, sang mertua mungkin saja tak akan tertolong jika tak segera diberi penanganan. Saat pikirannya berkutat mencari cara agar ia bisa membawa mertuanya segera untuk berobat, tiba-tiba gedoran pintu memburaikan pikirannya. Nengsih yang juga mendengar, segera bangkit lalu dengan tergesa berlari ke arah pintu.

"Paman! Syukurlah Paman akhirnya datang," ucap Nengsih penuh rasa syukur.

Nengsih berhambur ke arah seorang pria yang kini berada di bingkai pintu. Wajahnya yang kaku dan rahangnya yang tegas tak sedikit pun terlihat simpati atas sambutan ramah dari Nengsih.

"Ada apa kau menghubungiku malam-malam begini?" tanya Awan ketus.

Pria paruh baya yang tak lain adalah Paman Nengsih, sekaligus adik ipar dari Riya itu terlihat malas dan risih saat Nengsih menarik lengannya untuk mengajaknya melihat kondisi sang Ibu.

"Liat Paman! Kondisi Ibu sangat mengkhawatirkan!" tunjuk Nengsih pada sang Ibu.

Dengan penuh harapan, Nengsih mengira akan mendapatkan pertolongan dari Awan. Namun ternyata apa yang terjadi tidak sesuai harapannya. Awan menatap Riya dengan pandangan yang jijik dan merendahkan. Bahkan sudut bibirnya melengkung ke atas seolah ia merasa itu pantas didapatkan oleh sang Ipar.

"Aku datang ke sini, bukan untuk menolongnya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status