Share

Part 3

“Mas, kamu sudah pulang?” Dengan wajah merekah, Salma melangkah cepat setelah turun dari tangga, menghampiri Sang suami yang masih memegang gelas berisi air putih di tangannya. Lalu, ia memeluknya dengan erat dari arah belakang. Tak lupa pula, kepala yang berselimut jilbab ala kadarnya dilekatkan pada punggung lebar Sang suami. Terasa sangat nyaman.

“Kamu apa-apaan, sih? Aku baru pulang, masih capek, sudah ditubruk begitu.” Rofiq melepaskan pelukan Salma sedikit kasar. Ia lalu meletakan gelas dari tangannya, dan pergi menuju kamar tamu.

Seketika Salma terkejut. Kakinya melangkah mundur perlahan. Ia merasa sangat malu pada pria yang sudah berstatus menjadi suaminya itu. Bagaimana tidak? Secara tiba-tiba, pelukan nyaman Sang istri ditepis begitu saja. Padahal, penantiannya sejak kemarin sangat melelahkan. Berharap, segera berakhir dengan kepulangan Rofiq pagi ini.

Namun sayang, tidak dengan yang dirasakan suaminya. Pria itu bahkan, pulangnya saja tidak memberi kabar, apalagi menghampiri dirinya yang tengah sendiri di kamar pengantin. Kamar yang tidak dihiasi bunga mawar di atas kasur, atau hiasan lain layaknya kamar pengantin baru. Tapi setidaknya kamar itu ditunjukkan Mbok Marni untuk dirinya. Yang Salma fikir pun, itu adalah kamar Sang suami juga.

Salma merasakan sesuatu benda berat menindih dadanya secara tiba-tiba. Sangat sesak. Untuk bernafas pun perlu diatur, agar oksigen bisa keluar masuk dengan normal. Tapi tetap tidak bisa. Ia menghela nafas panjang, mengatur perlahan untuk mengeluarkan karbondioksida menyakitkan yang sempat memenuhi rongga dadanya.

Salma lalu berjalan menuju kursi ruang makan, dan menariknya untuk secepatnya ia duduki. Meski hanya tiga langkah jaraknya, Salma terasa berat mengayunkan kaki itu. Baru kali ini, hatinya disandung kalimat yang cukup menggetarkan. Terlebih lagi, itu keluar dari bibir Sang suami.

“Jangan dimasukkan ke hati, Non. Den Rofiq memang begitu.” Mbok Marni kembali menjelaskan dengan nada lembut tentang majikannya itu. “Den Rofiq akan bersikap begitu kalo merasa lelah. Jadi, Non Salma harus sedikit mengerti, ya.” Mbok Marni kembali melanjutkan.

Lagi-lagi, Salma yang harus memaklumi sikap Sang suami. Setelah insiden menunggu siang tadi, ia harus kembali menerima insiden berikutnya, seperti yang terjadi baru saja. Bukan ia tidak mau, akan tetapi ketidaktahuan Salma akan sifat asli Rofiq, membuatnya begitu terkejut saat awal mengetahuinya. Ia hanya merasa tidak menyangka, apa yang Salma nilai sebelumnya, sangat berbeda dari faktanya.

Salma tidak menjawab penuturan Mbok Marni. Ia sedang berusaha menahan buliran yang sudah memenuhi pelupuk matanya. Tetap saja, ditahan sekuat tenaga, air mata itu tetap luruh dengan derasnya.

Sejak mulai tumbuh benih cinta Salma pada Rofiq beberapa tahun lalu, ia memang tidak pernah kenal dekat dengan pria yang sudah menjadi suaminya itu. Hanya sebatas menyapa saat bertemu di jalan. Itu pun sangat jarang. Karena bagi Salma, bisa melihat pria yang dicintainya dari kejauhan saja sudah membahagiakan hatinya.

Selama beberapa tahun, pandangan positif yang ia fikirkan tentang Rofiq ternyata salah. Pria yang mendadak melamarnya satu minggu lalu itu ternyata tidak sebaik apa yang dibayangkan selama ini. Tidak sehangat apa yang ia rasakan dulu. Tidak selembut tutur kata yang pernah Salma dengarkan.

Atau mungkin, benar apa yang dikatakan mbok Marni. Suaminya sedang lelah setelah pulang dari pamit bekerja kemarin. Atau bisa jadi, ada kerjaan yang sedang bermasalah, yang tentu mempengaruhi emosinya. Ah, bisa jadi. Salma jadi merasa bersalah dengan sangkaannya tadi. Ia sudah terlanjur lebih dulu bersu’udzon pada pria yang belum genap 24 jam menjadi suaminya.

“Apakah mas Rofiq sedang mandi, Mbok?” Salma beranjak dari duduknya, dan menghampiri asisten rumah tangga suaminya yang mulai sibuk dengan pekerjaan rutinnya.

“Iya, Non. Den Rofiq baru ajah akan mandi. Mbok yang siapkan air hangat ke kamar tamu di sana.” Mbok Marni menunjukkan kamar tempat majikannya membersihkan badan.

“Kenapa tadi gak bilang saya, Mbok. Kan, biar saya yang siapkan saja. Saya sudah jadi istri mas Rofiq, Mbok,” ujar Salma lembut. Meski hatinya masih sakit dengan sikap Sang suami yang tiba-tiba, Salma tetap saja memikirkan apa yang dibutuhkan suaminya itu. “Ya, sudah, Mbok. Aku siapkan pakaiannya saja. Semua baju, di kamar itu juga, Mbok?”

Sejak baru pindah ke rumah ini kemarin siang, Salma belum tahu benar isi di dalamnya, termasuk kebiasaan pria yang sudah resmi menjadi suaminya, juga tempat berisi peralatan pribadi Rofiq. Padahal, ia harus mengetahuinya demi melancarkan niatnya mengabdi pada Sang suami.

“Iya, Non. Kamar tamu itu sudah jadi kamar Den Rofiq. Beliau lebih memilih kamar itu karena berada di lantai bawah,” jawab Mbok Marni menjelaskan.

“Tapi, kenapa saya ditunjukkan kamar yang di atas, Mbok? Kenapa gak di situ ajah sama mas Rofiq?” tanya Salma heran. Ia menatap lekat ke Mbok Marni yang nampak sendu.

“Den Rofiq yang menyuruh Si Mbok, Non. Mbok juga gak tau alasannya.”

Hah? Mas Rofiq yang menyuruh? Tapi, kenapa? Masa, iya, dia tidak mau berada dalam satu kamar dengan istrinya sendri. Sangat aneh. Atau, mungkin mas Rofiq mau ikut pindah juga ke kamar atas. Hanya saja belum ada waktu untuk membereskan. “Ah, positif thinking ajah, sih, Sal. Tadi saja sudah bersu’udzon. Masa su’udzon lagi,” ujar Salma bermonolog. (*)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status