Share

03. Awal Kehancuran

Kembali padaku, atau terima akibatnya. Aku tertawa sumbang karena mengingat ancaman Anggara ketika pria itu mengajak balikan setelah aku putuskan beberapa waktu lalu. Merasa memori tersebut tidak penting, netra ini kembali menerawang.

Tak jarang aku iri dengan pengusaha papan atas yang mampu menggunakan isi kepalanya untuk berbisnis. Kaum-kaum elit dapat melempar ide terkait perkembangan dunia. Belum lagi kopi mengepul peneman rapat di hadapan petinggi-petinggi usaha bersama monitor yang menyala-nyala. Namun, sayang sekali, aku tak memiliki apa yang mereka miliki. Menjadi orang kantoran rasanya amat mustahil di negeri ini karena Kaneena hanya lulusan Sekolah Dasar.

Setelah Kaneena kecil tumbuh menjadi gadis menawan, aku mengikuti ajang Gadis Sampul di usia lima belas tahun tepat ketika kami memisahkan diri dari Kenedi. Di sana keberanian ini mengasah akting, kemampuan berpose, serta tersenyum manis di hadapan kamera tanpa tekanan apa pun. Lambat laun, upaya menghasilkan buahnya. Namun, senikmat-nikmatnya menjadi diri sendiri, tak jarang aku berpikir, Jika aku menjadi mereka yang dapat melakukan apa pun tanpa pantauan kamera dan insan-insan sok atau ingin tahu, mungkin lebih menyenangkan.

Kaneena, anak tak tahu diri yang tega menelantarkan sang ayah.

Kaneena, artis papan atas bergelimang harta yang tega membiarkan sang ayah tinggal di lorong terpencil dan kumuh.

Kaneena, model ternama yang memiliki ayah seorang pemabuk, penjudi, dan pemain wanita.

Kaneena ....

Kaneena ....

Kaneena ....

Di samping Willis, aku menarik napas berkali-kali, berusaha mengontrol rasa agar tak tampak menyedihkan. Sesulit apa pun hidup ini, setidaknya tak satu pun insan boleh menatapku dengan sorot kasihan.

"Ini ulah Anggara." Aku memutar cincin mutiara yang melingkar indah di telunjuk. "Beberapa hari lalu, kami bertengkar hebat. Ia mengajak balikan, tapi aku tak sudi hingga keparat itu mengancam akan menghancurkan seorang Kaneena." Mungkin mata panda ini amat kentara karena tidak tidur semalaman sementara Willis melarangku menenggak obat penenang.

Kaneena, wanita memesona yang tak ber-attitude.

Membaca judul berita di televisi pagi ini, hatiku perih. Kematian Kenedi menggegerkan nyaris satu negara. Pasalnya, ia salah satu pelaku bunuh diri. Tadi pagi pun, aku dan Willis telah ke kantor polisi untuk melakukan pemeriksaan.

Aku hanya melirik Willis sekilas karena pria itu menerima telepon. Wajahnya tampak tegang, belum lagi napas yang ia embuskan berkali-kali.

"Ada apa, Will?" tanyaku, akibat penasaran tepat ketika ia menurunkan benda pipih dari telinga.

Tak segera menjawab, Willis mengusap wajah. Ia beranjak, kemudian melangkah menuju kaca yang menampilkan pekarangan apartemen. Ketika aku menyusulnya, pria itu lebih dulu berbalik dengan gurat putus asa. "Kaneena, sepertinya memang ada seseorang yang ingin menghancurkan karirmu."

Masih belum paham dengan ucapannya, aku fokus ke arah sorot Willis saat ini sebelum membeku karena menemukan lautan wartawan yang telah menunggu di halaman apartemen. "Sialan. Sebenarnya, apa yang mereka inginkan?" Aku mengusap wajah lelah, kemudian meniup-niup poni karena kesal.

"Apa lagi jika bukan klarifikasimu," telak Willis, yang mampu membuatku meneguk liur.

Bagiku, tak ada gunanya memberi mereka penjelasan jika hal tersebut belum tentu benar. Namun, insan terkadang amat kurang ajar dan kerap beropini sesukanya. Lantas, apakah aku harus menceritakan kejadian hidup kami dari awal hingga akhir yang menjadi alasan mengapa Kenedi tinggal di lorong kumuh itu?! Tuhan, tolong, aku tidak sudi dipandang rendah.

"Kaneena, kau harus mengklarifikasi ini." Willis tampak panik. Ketika menyorotku, wajahnya lebih dari lesu.

Entah mengapa, aku kurang setuju dengan ucapan Willis. "Apakah kau baru saja meminta penderita mental illness untuk speak up perihal masa lalu mereka?"

Willis bungkam.

Kuperhatikan netranya yang telah buram.

Kaneena, Kaneen, keluarTolong beri kami sedikit penjelasan!

Ya, Tuhan, sebaiknya kau diboikot dari stasiun televisi. Bahkan, binatang sekalipun, tahu caranya menyayangi sesama, berlebih itu ayahmu.

Apakah Kenedi bunuh diri karena keadaan yang melaratPadahal, putrinya konglomerat.

Aku meraih jaket, kacamata, dan topi. "Will—"

"Kau akan ke mana, Kaneena?" Pria itu mencekal pergelangan tanganku. Sorotnya menyiratkan kekhawatiran.

"Aku akan turun dan mengatakan pada mereka bahwa rumor tersebut tidak benar." Napasku berembus lelah sembari berusaha meyakinkan Willis. Apa yang dapat dilakukan ketika salah satu petinggi agensiku pun menjatuhkan artisnya?

"Kau akan jujur?"

Tanpa menjawab pertanyaan Willis, aku berlalu.

***

Kilatan kamera seolah mengoyak-ngoyak pertahananku. Melalui bantuan satpam apartemen, akhirnya keadaan mulai kondusif meskipun pertanyaan-pertanyaan yang tak patut mereka lantunkan dengan kejinya, masih memekakkan telinga. Namun, jangan harap ia menemukan betapa hebat aku terpuruk. Itu sebabnya bibir ini tersenyum menawan, seolah skandal perihal kematian Kenedi adalah lagu lama yang tak perlu dianggap besar. Kini, Willis pun telah berada di sisi kiriku.

"Kaneena, apakah rumor yang beredar perihal kematian ayahmu itu benar?"

Aku tertawa sumbang, membenahi anak rambut yang menyentuh pipi akibat angin. "Maaf, rumor yang mana, ya? Karena terlampau banyak rumor, bisa sebutkan rincinya?" tanyaku, pura-pura ramah.

Rumor perihal kau yang menelantarkan sang ayah.

Rumor perihal Kaneena, putri tak ber-attitude.

Pantas saja ia menyembunyikan sang ayah dari publik. Jangan-jangan, sang ibu pun diperlakukan bagaikan babu. Anak tidak tahu diri!

Begitu nyanyian heroik mereka, penyebab gigiku beradu geram. Hati ini makin perih ketika spekulasi-spekulasi buruk makin merusak pertahanan.

"Seluruh isu mengenai Kaneena, tidak benar." Aku berdehem. "Kenedi memang ayahku, tapi ia sendiri yang memutuskan hidup di lorong kumuh itu." Jemari ini mulai bergetar, merayapkan dingin ketika dada menahan perih yang makin menjadi. "Aku memang tidak mengetahui kehidupan Kenedi secara rincinya karena orang tuaku telah bercerai sedari Kaneena kecil dan kebetulan aku tinggal bersama ibu."

Kilatan kamera makin tajam menusuk ragaku.

"Bagaimana perasaanmu setelah mengetahui bahwa Kenedi mati bunuh diri dengan cara menenggak sianida?"

Bibir ini tersenyum miris. Setidaknya, dari ratusan atau bahkan ribuan pertanyaan, pertanyaan ini lebih manusiawi. "Tentu saja aku sedih. Namun, apa boleh buat? Nasi telah menjadi bubur." Aku masih berusaha tenang. Telinga ini mendengar lautan manusia berbisik-bisik.

"Lantas, di mana ibumu sekarang? Apakah ia masih hidup?"

Aku meremas jari makin kuat. "Ibuku masih hidup."

Willis menarik tubuh ini untuk kembali memasuki apartemen setelah berbisik kepada satpam. Setelahnya, rasa letihku mendengar hujatan tak menyenangkan dari mereka. Dalam kacamata hitam, netraku telah buram. Nama ibu yang terseret dalam kasus ini adalah perih dan tak mampu kutahan lagi.

Tidakkah kau berpikir bahwa bisa saja Kaneena yang membunuh ayah kandungnya agar tidak merepotkan karir wanita ituNamun, Kaneena salah melompat. Akhirnya, senjata makan tuan.

Aku mengembuskan napas sebelum merasakan telapak tangan Willis yang mengusap bahu ini lembut. "Jika kau belum pernah melihat kehidupan layaknya kematian, di dunia ini tempatnya, Will."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status