Share

Terjebak di Isekai, Bersamamu
Terjebak di Isekai, Bersamamu
Penulis: Sasaaki

Kebersamaan Ini Telah Dimulai

Legenda mengatakan ada sembilan penyihir yang memegang kendali atas  Benua Feitan. Nama sembilan penyihir itu terbagi oleh dasar perasaan manusia.

Benua Feitan pada dasarnya dihuni ras campuran. Manusia dan setengah manusia bisa hidup saling berdampingan tanpa khawatir pertumpahan darah.

Namun, tetap saja mereka adalah makhluk yang terkadang lupa akan harga dirinya jika hawa nafsu sudah menggerogoti jiwa.

Kekayaan, Tahta, Wanita, menjadi alasan mereka untuk saling bertikai satu sama lain. Pertumpahan darah jadi tak terelakkan, membuat sembilan penyihir harus ikut turun tangan untuk menghadapi insiden berdarah.

Alih-alih menjadi lebih baik, para petinggi di antara ras campuran itu malah menyatakan ketidakpuasan mereka atas keputusan para penyihir, dan itu  membuat kedaulatan mereka semakin terkikis.

Tanpa ampun, para penyihir menghukum mereka dengan hukuman kehendak ilahi. Mereka membantai habis para makhluk yang tidak mau taat itu.

Kejadian besar itu membuat para penyihir jadi enggan untuk menaruh kepercayaan pada makhluk berakal. Para penyihir membiarkan mereka itu hidup semaunya, yang hal itu malah terus berkembang menjadi kebencian terhadap para penyihir.

Merasa perlu melakukan sesuatu yang berbeda. Salah satu di antara penyihir yang tampak pendiam dari yang lain, yaitu penyihir dengan sebutan Sang Perindu Asmara, mengambil tindakan. Alasannya tidak bisa disebutkan, tapi telah disepakati bersama, ia melemparkan sebuah soul grain ke dunia modern.

****

"Hei, Rei. Kenapa kau selalu saja tertidur di tengah pelajaranku?" guru Tarisa mendatangi kursi dan mengguncang bahunya untuk membangunkan.

Rei merasakan sikap jahil itu dalam tidurnya. Wajahnya malah sumringah karena yang ia lihat dalam mimpi adalah seorang gadis tengah bersikap manja padanya.

"Ah, Rena-chan! tidak bisakah kau sedikit mengerti? Kita baru saja melakukannya tadi malam sampai staminaku habis, masa pagi ini harus melakukannya juga? Tidakkah ini berlebihan?"

Suaranya cukup keras untuk didengar seisi kelas. Mereka yang sudah melewati masa pubertas tentu tidak bisa memikirkan hal lain setelah mendengar kalimat itu. Termasuk Tarisa-sensei yang terkejut dengan wajah memerah. Kenyataan kalau ia tak punya pengalaman atas hal itu tentu ia tersinggung meski itu cuma dari mulut orang yang sedang mengigau.

Tanpa ampun, ia menjewer telinga Rei cukup keras sampai ia terbangun dengan wajah tak berdosa, "Apa penjelasanku terdengar membosankan sampai membuatmu tertidur?" tanya wanita yang cukup cantik itu, kemudian berbalik tanpa mendengar jawaban Rei yang mengusap-usap telinganya dengan wajah kantuk.

"Hei, Rei! Siapa itu Rena-chan? Aku tidak ingat kau pernah bercerita tentangnya padaku," bisik Kogami dari kursi belakang.

"Hah? Apa maksudmu?" tanya Rei menengokan wajahnya sedikit.

"Ayolah, kita kan teman! Teman yang baik selalu menceritakan pengalamannya untuk referensi," tambah Kogami dengan senyum meledek.

"Bicara apa sih kau ini?!"

"Hei, Rei! Apa kita bisa melanjutkan pelajaran?" Tarisa-sensei memergokinya.

"Ah, maaf sensei," jawab Rei kemudian memasang wajah geram pada Kogami, yang ditatap malah nyengir. Sementara dari sisi lain bangku, seorang gadis yang Rei adalah saingannya dalam pelajaran menatapnya penuh sinis.

"Hei, Rei!" Celia menghampiri mejanya setelah pelajaran berakhir.

"Ada apa?" jawab Rei malas.

"Apa ini? Apakah Celia yang biasa jutek dan dingin ingin mengajak Rei makan siang?" tanya Kogami menggoda.

"Maaf ya, tapi bahkan itu tidak pernah terbesit dipikiranku, aku punya urusan yang ingin kubicarakan dengannya," balasnya dingin.

"Wah wah. Baiklah, maaf ya Rei. Sepertinya aku akan makan bersama Hayato dan yang lain saja," Kogami tersenyum meledek, menepuk pundak Rei.

"Hei hei, tunggu Kogami!" Rei hendak menahan, tapi tubuh Kogami sudah melesat di koridor.

Rei menghela nafas pelan, "Baiklah, ada urusan apa sampai putri CEO harus repot-repot menghampiriku?"

"Siapa yang kau sebut putri CEO?"

"..."

Celia mengambil tempat duduk di depannya, "Hei, Rei! Kau ingat soal kejadian di dekat stasiun kemarin?"

"Tentang penculikan gadis kecil itu?" tanya Rei. Saat itu, kebetulan memang hanya ada Celia yang melihatnya, jadi ia tak bisa memikirkan hal lain ketika dia menyinggung soal itu.

Celia mengangguk.

"Lalu kenapa?" tanya Rei belum paham arah pembicaraan.

"Apa yang telah kau lakukan padanya?" tatapan Celia tiba-tiba berubah seram.

"Apa yang telah kulakukan? Maksudmu bagaimana?"

"Jangan sok polos! Mentang-mentang kau menolongnya, kau menggunakan kesempatan itu untuk memerasnya supaya ia mau melakukan hal mesum denganmu, kan? Iya kan? Iya kan?!!!" Celia sampai melotot dan mendekatkan wajahnya pada Rei. Beberapa siswa yang tersisa di kelas jadi tertarik melihat itu.

"Oi oi! Tenanglah, mereka jadi memperhatikan kita tuh!"

"Hmmmphh, sudah kuduga ternyata kau memang orang yang seperti itu!" Celia berucap kesal dan hendak pergi meninggalkannya.

"Oi tunggu!" Rei menahan tangannya. Itu cukup membuat seisi kelas berbisik-bisik.

"Aku belum paham maksudmu apa, kenapa tiba-tiba memanggilku mesum? Tentu aku tidak terima jika kau hanya setengah-setengah menjelaskan."

Sejenak terdiam, Celia yang melihat tangan Rei masih menahan tangannya segera ditarik secara kasar.

"Hmmph!!"

Gadis itu kemudian kembali duduk.

"Nama gadis itu, Rena kan?" tanya Celia, ia sedikit melunak.

"Emm, iya kalau tidak salah," Rei mengingat-ingat.

"Apa maksudmu tidak salah?! Jelas-jelas kau tadi lancar sekali menyebutnya saat Tarisa-sensei membangunkanmu! Hei, Rei! Secara teori, jika seseorang sampai mengigau dalam mimpinya, berarti ia tengah memimpikan sesuatu yang familiar, termasuk juga dirimu!" jelas Celia.

Rei masih mencerna maksud to the pointnya, "Memangnya tadi aku mengigau apa?"

"..."

"Celia?"

"Ah, sudahlah! Dasar bodoh! Menyuruh seorang gadis berbicara hal yang memalukan! Dasar Rei bodoh! Tidak tau malu!" umpatan itu diakhiri dengan tamparan keras di wajah Rei.

"PLAAAK!"

"Oi oi, parah sekali Rei itu, membuat Celia jadi marah!"

"Aku tidak tau apa yang ada di pikirannya sampai menyakiti wanita seperti itu."

"Hei Arisha-chan, kurasa semua laki-laki itu sama ya."

Rei hanya bisa mengelus pipinya yang perih sambil menatap punggung Celia yang berjalan keluar ruangan.

Sementara Kogami yang melihat Celia keluar dengan aura pembunuh melihatnya sedikit takut, kemudian tertawa girang menghampiri Rei. Mengingat pasti telah terjadi sesuatu yang menarik.

"Ah, Rei kau ini. Pasti ini gara-gara wanita yang baru saja masuk ke kehidupanmu itu kan. Siapa tadi? Rena-chan? Aduuh, kamu ini harus mulai belajar tentang perasaan wanita!" jelas Kogami seolah ia adalah master bucin.

"Jangan memperumit keadaan, Kogami. Lagipula, ada apa dengan sikapmu itu? Kau berpura-pura ke kantin hanya untuk menguping ini kan?" tanya Rei yang malas menanggapi candaannya.

"Hehe, santai-santai. Nah sobat, dari apa yang baru saja terjadi, apa kau menyimpulkan sesuatu?" tanya Kogami tersenyum lebar.

"Kau ini aneh-aneh saja."

"Ayolah, apa susahnya menjawab."

"Yah, mungkin Celia membenciku," jawab Rei tanpa ekspresi.

Kemudian terasa lengang, Rei yang menyadari keheningan singkat itu menatap wajah Kogami.

"Memang benar kau ini perlu belajar soal perasaan wanita."

"Haa ..!?"

Kogami menarik pundak Rei dan merangkulnya, "Hei, Rei! siapapun yang melihat kejadian tadi. Sudah jelas kalau Celia itu cemburu karena kau menyakiti perasaannya."

"Aku tidak ingat punya hubungan seperti itu dengannya."

Kogami menghela nafas pelan "Rei Rei. Kalian ini rivalkan? bagaimana kalian saling bersaing dalam ujian. Bagaimana kalian saling beradu mulut saat rapat anggota dewan, itu sudah menjelaskan semuanya!"

Rei mempertimbangkan perkataan Kogami, "Benarkah?"

Kogami mengangguk mantap, "Nah, nanti kau coba minta maaf padanya dan cobalah ajak dia berkencan."

"Baiklah, akan kuusahakan."

"Eh? kau tidak menyangkal?"

"Kenapa? sepertinya aku memang melakukan sesuatu yang salah. Jadi aku coba mengikuti saran darimu untuk memperbaikinya."

"Itulah seorang laki-laki!" Kogami meninju bahu Rei dengan senyum puas.

"Nah, bicara soal tadi. Memangnya aku mengigau seperti apa?" tanya Rei penasaran.

Kogami lalu menjelaskan bagaimana dan apa yang terjadi kemudian setelah Rei mengigau seperti itu. Kogami selalu menambahkan bumbu setiap ia bercerita sehingga membuat Rei sangat terkejut dan tidak menyadari kalau itu cuma akal-akalannya saja.

"Be-benarkah? Aku sampai berbicara serinci itu?" tanya Rei tak menyangka kalau Kogami sampai bilang ia mengigau dengan menyebutkan kalimat-kalimat cabul tidak senonoh.

"Ah, bagaimanapun aku juga cukup terkejut tadi itu," Kogami membuat suasana jadi terlihat dramatis.

Rei menepuk dahinya, "Pantas saja Celia semarah itu. Haaah, pasti yang lain juga berpikiran sama. Padahal Rena-chan itu adalah seorang artis yang kutemukan di majalah musim panas," gumam Rei sedih.

"Tenang-tenang, kau hanya perlu meminta maaf dan mengajaknya berkencan, oke?" Kogami menyemangati.

"Yosh!!" sahut Rei mengepalkan tangannya penuh tekad.

____

"Rei-kun. Apa kau sudah menunggu lama?"

"Ah, aku baru saja tiba. Maaf memintamu datang secara mendadak."

"Tidak, tidak apa-apa. Kebetulan aku juga lagi kosong hari libur ini."

"Benarkah? Syukurlah kalau begitu," Rei tersenyum. Tapi kemudian ia merasakan adanya perbedaan. Hawanya tak seperti di sekolah yang penuh kompetisi.

"Ce-Celia-chan?"

"A-Ah, ada apa, Rei-kun?"

"Ka-Kau tampak sangat berbeda dengan pakaian itu."

Oi! kenapa tiba-tiba aku berkata seperti itu?!

"Be-Benarkah? aku senang mendengarnya."

Syukurlah dia tidak marah

Rei mengangguk dengan senyum yang entah terlihat tulus atau tidak, "Tentu. Mau mulai berjalan?"

"Bo-Boleh, kita akan kemana?" tanya Celia dengan wajah tertunduk malu.

Moshi-moshi? Ada apa dengan dunia yang bisa merubah sikap Celia jadi seperti ini?

"Kau mau makan? Aku punya rekomendasi parfait dari onee-chan[1]," Rei mencoba membawa kendali.

"Ara? kau punya kakak perempuan juga rupanya?"

"Hehe iya, meskipun dia sedikit bawel."

"Ah, be-bener banget! kakak perempuanku juga kadang bawel. Ia masih muda tapi sikapnya seperti punya lima anak saja," gerutu Celia setuju.

Melihat perubahan ini, tentu Rei merasa lebih lega.

"Hehe, bagaimana? Kau mau?"

"Boleh, ayo kita kesana."

Sementara kaki mereka melangkah, pandangan mereka menyebar melihat hingar-bingar kota Osaka.

Setelah berjalan cukup jauh, langkah Rei terhenti, Celia tiba-tiba sudah tidak ada di sisinya. Sedikit panik, ia menengok ke belakang dan berusaha mencari.

"Celia!" panggilnya. Namun tidak ada jawaban.

Tapi setelah itu, ia tersenyum lega melihatnya tengah berdiri menatap ke langit, tangannya juga terangkat seperti hendak meraih sesuatu.

"Celia?" Rei mengikuti kemana Celia melihat, ternyata ada sebuah sinar kecil yang melayang-layang dan perlahan turun, Celia seperti tertarik dan hendak menggapainya.

Rei tersenyum dan berjalan pelan menghampiri. Namun, samar-samar ia melihat sebuah mobil melesat dari kejauhan dan sepertinya tampak mulai kehilangan kendali. Sadar kalau kemungkinan besar akan menabrak Celia, Rei berlari cepat ke arahnya.

"Celia!"

Tidak, tidak akan sempat! gumamnya menyadari betapa cepatnya mobil itu.

Celia menengok ke arah Rei. Memasang wajah terkejut campur tersipu yang melihat Rei berlari dengan wajah panik.

"Awas Celiaaa!!"

Celia membelalak, sadar kalau ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Klakson mobil berbunyi nyaring seiring jarak kian mendekat.

Si*l!! secepat inikah semuanya akan berakhir? Rei menggertakkan giginya.

Berharap Celia selamat? Tidak, tidak semudah itu. Sebagai rival, mereka mempunyai pikiran yang sama. Di saat Rei berpikir untuk mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan Celia. Celia juga berpikir hal yang sama.

"Tidak! Minggir Rei!"

Waktu seolah berhenti ketika tubuh mereka terhempas dan tak lagi bergerak.

Alhasil, bukan mengorbankan salah satu dan menyelamatkan yang lain, tapi mengorbankan keduanya untuk keselamatan keduanya.

Cahaya melayang-layang yang dilihat Celia dan Rei bukan sembarang cahaya. Faktanya, hanya mereka berdua yang bisa melihat cahaya itu.

Soul grain, begitulah nama yang diberikan untuk keberkahan itu. Kedua tubuh Rei dan Celia yang sudah tidak bernyawa itu dihinggapi cahaya yang tadi melayang-layang. Menyatukan kedua jiwa dalam satu raga.

Rei akan terbangun di dunia yang berbeda. Sementara Celia hanya bisa memperhatikan bagaimana Rei melangkah dan mengambil keputusan. Satu-satunya cara untuk membuat mereka bertukar tempat dan mengambil kendali tubuh, adalah dengan kematian salah satunya.

[1] Kakak Perempuan

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status