Ya, Nero adalah tunangan Kania selama tiga tahun terakhir ini. Ada banyak alasan mengapa Nero setuju bertunangan dengan Kania, namun yang pasti tidak ada alasan cinta di dalamnya. Sepanjang hidupnya, Nero hanya mencintai satu wanita. Dan salah satu cara untuk melupakan wanita yang dicintainya itu adalah berhubungan dengan wanita lain, walaupun setelah dijalani, ternyata cara itu juga tidak berpengaruh apa pun. Nero pun masih menatap Kania sambil tersenyum tipis. "Welcome home, Kania!""Hmm, kau selalu tidak romantis. Maafkan aku tidak memberitahumu kapan aku pulang dan baru menghubungimu setelah aku sudah sampai karena aku tahu kau juga tidak akan menjemputku kan?" seru Kania pengertian sambil melangkah mendekati Nero. Nero tertawa pelan mendengarnya. Alasan lain mengapa Nero bertunangan dengan Kania adalah karena Kania sangat pengertian, bahkan Kania tetap menerima walaupun tahu kalau Nero sama sekali tidak mencintainya. "Hmm, aku senang kalau sedikit kata-kata dariku bisa memb
"Mereka sudah tidak melirikku, Selly!" bisik Patra saat ia dan Selly sudah duduk di meja sudut di kantin karyawan. "Mereka juga pasti lelah melirikmu, Patra. Lagipula kau tidak melakukan kesalahan apa pun sampai harus terus dilirik seperti itu jadi santai saja!" Patra bernapas lega mendengarnya. Tidak lama kemudian, Greedy datang sambil membawa masakannya dan mereka pun makan bersama dengan bahagia, sebelum kehebohan terjadi karena Nero dan Kania masuk ke kantin. Apalagi saat Greedy mengenali mereka dan langsung sumringah. "Mereka adalah pasangan terfavoritku! Pak CEO dan tunangan cantiknya!" Jantung Patra langsung berdebar kencang tidak terkendali mendengar ucapan Greedy dan ia pun langsung menatap ke arah Nero. Tanpa Patra sadari, Nero dan Kania pun juga sedang menatap ke arah mereka. Namun, kalau Kania fokus pada Greedy, Nero malah fokus pada Patra. Untuk sesaat, Nero dan Patra hanya bertatapan dari jarak yang begitu jauh dan Patra bertanya-tanya dalam hatinya tentang kenyat
"Aku menyukai wanita itu. Cleaning service itu ... siapa namanya tadi?" tanya Kania saat ia dan Nero baru saja kembali ke ruang kerja Nero.Alih-alih menjawab, Nero malah mengembuskan napas kesal. "Sudahlah, namanya sama sekali tidak penting, dia hanya cleaning service, Kania!""Hei, kau kenapa sih marah-marah saja, Sayang? Aku tahu dia hanya cleaning service, tapi sungguh aku menyukainya. Pa ...." Kania mengernyit. "Pa ... siapa dia bilang tadi? Aku sempat menyebutkan namanya tadi tapi mengapa sekarang aku sudah lupa ya?"Nero pun menggertakkan giginya kesal. "Patra! Namanya Patra! Patra Aurora!" sahut Nero akhirnya. "Ah, iya, Patra. Eh, tapi ... Patra Aurora? Wow, kau menghafal nama lengkapnya? Ini kejutan. Bukankah kau tidak pernah memperhatikan sedetail itu. Apalagi dia hanya seorang cleaning service."Nero berdecak malas sambil mengempaskan tubuhnya ke kursi kebesarannya. "Itu tidak penting, Kania! Hanya ingatan random!" Kania mengerjapkan matanya dan akhirnya mengangguk. "Hmm,
Patra melonjak kaget melihat Nero duduk di sana dan menatapnya tajam. "Astaga! Membuatku terkejut, seperti hantu saja!" pekik Patra refleks. Nero tertawa kesal mendengarnya. "Hantu? Kurasa itu tidak tepat untukku karena aku bukan tiba-tiba muncul! Aku sudah sejak tadi berada di sini!""T-tapi kata sekretaris di luar ....""Apa aku perlu menjelaskan padamu juga kapan aku datang dan kapan aku pergi? Kau itu bukan siapa-siapa untukku, Patra! Jadi aku juga tidak perlu melaporkan apa pun padamu!"Patra mengernyit mendengarnya. "Apa? Memangnya siapa juga yang mau tahu?"Nero pun menatap Patra sambil memajukan tubuhnya. "Jadi ... kau sering melakukannya, Patra? Mengumpatiku?" ulang Nero. Patra agak canggung sejenak. "Itu hanya luapan emosiku, Pak. Maafkan aku! Tapi karena ternyata Anda masih di sini, aku akan pergi saja dan tidak mengganggu. Permisi!"Dengan cepat Patra membalikkan tubuhnya namun seperti biasa, Nero menghentikannya dengan ucapannya. "Akhirnya aku tahu semua keluh kesahmu
"Kau kenapa, Nero? Suasana hatimu buruk lagi ya?" tanya Juan yang sudah memeluk bahu sahabatnya itu. Juan dan Nero sedang berada di ruang VIP salah satu restoran mewah dan mereka sedang menunggu keluarga Kania datang untuk makan malam bersama menyambut kepulangan Kania. "Jangan menyentuhku, Juan!" sahut Nero ketus. "Ups, kau benar-benar mengerikan! Tolong jangan menunjukkan wajah seperti itu di depan orang tua Kania nanti ya atau mereka akan berpikir kau tidak menyukai kepulangan Kania! Dan kalau mereka mengadu pada Tante Cintya, ibumu, aku bisa digorok!" Juan membuat gaya menggorok leher dengan tangannya. "Ck, brengsek kau, Juan! Menyingkirlah!" Nero mendorong Juan menjauh lalu kembali meneguk winenya. Perasaan hati Nero sedang tidak baik. Sejak ditinggalkan Patra tadi sore, Nero tidak berhenti mengumpat bahkan merusak beberapa barang di ruang kerjanya. Mungkin saat Patra membersihkan ruang kerja Nero besok pagi, Patra akan menemukan barang-barang itu. Sial! Sejak bertemu Patr
Sementara di sisi lain, Patra sudah duduk di kamarnya dengan perasaan yang tidak menentu juga. Di satu sisi hatinya, mengetahui fakta Nero yang sudah bertunangan dan ucapan menyakitkan pria itu masih membuat hati Patra tidak nyaman. Namun di sisi lain, Patra merasa lega luar biasa sudah berhasil membalas semua ucapan Nero. Patra merasa menang sekarang karena sudah berhasil mengangkat kepalanya di depan Nero dan mempertahankan harga dirinya di depan pria itu. "Ya, bagus, Patra! Memang itu yang harus kau lakukan di depan Nero! Saat ini posisi kalian sudah bukan sepasang kekasih lagi bahkan kata mantan kekasih pun terasa mengganjal. Kau hanyalah seorang wanita yang sudah tersakiti, tapi kau berhasil bangkit!""Benar, itulah aku! Walaupun dulu bukan Nero yang menyakiti aku secara langsung, tapi sekarang pria itu melakukannya dengan sama jahat."Patra pun mengembuskan napas panjangnya. "Lupakan Nero, Patra! Lupakan dia untuk selamanya dan angkat terus kepalamu di hadapannya! Harga diri
Broom!Ngenggg ....Suara deru mesin mobil yang sudah dimodifikasi terdengar begitu menarik perhatian semua orang yang sedang menunggu di halte bus pagi itu, tidak terkecuali Patra. Patra menoleh ke arah sumber suara dan ia bisa melihat sebuah mobil mewah berwarna biru metali yang terlihat sangat keren melintas di jalanan. Untuk sesaat, Patra pun terpana melihatnya sampai ia tersenyum tipis membayangkan scene dalam drama-drama di mana ada mobil keren dengan pria keren juga di dalamnya.Sang pria akan menghentikan mobilnya di depan Patra lalu pria itu keluar sambil membuka kacamata hitamnya dan tersenyum pada Patra. Tanpa disadari Patra pun terkikik sendiri. Walaupun ia sudah melalui kehidupan yang begitu kelam, tapi tetap saja ia hanya seorang wanita muda yang terkadang baper saat menonton drama, apalagi saat perasaan hatinya sedang sangat baik pagi ini. "Astaga, Patra! Kau sudah tahu sendiri kalau hidup ini tidak seindah drama kan? Walaupun ya, terkadang halu itu perlu juga agar
"Dasar pria aneh! Sebenarnya dia itu pria atau bukan? Sama sekali tidak gentle! Aku ini seorang wanita, bisa-bisanya dia memintaku mendorong mobilnya!" Patra terus mengomel saat akhirnya ia terpaksa mendorong mobil bersama pria aneh itu. Dengan sangat terpaksa juga, Patra meminjamkan ponselnya dan pria itu langsung menelepon beberapa orang. Baiklah, anggap saja Patra memang orang baik, terkadang walaupun ia keberatan, ia akan tetap menyanggupi sesuatu hanya karena tidak mau mengecewakan orang lain dan jujur saja Patra membenci sifatnya itu. Tapi untung saja pria yang ditolongnya kali ini adalah benar-benar pria baik yang tidak mempunyai modus apa pun. Bahkan orang bengkel begitu cepat datang membawa mobilnya pergi dan orang lain yang terlihat seperti sopir pun menjemput pria itu dengan mobil mewah yang lain. Sampai seketika Patra pun merasa bersalah sudah bersikap kasar pada pria itu tadi semata-mata hanya karena Patra menganggap pria itu adalah penipu.Pria itu pun terlihat ba
"Astaga, Axel! Aku benar-benar tidak menyangka kau begitu gentle!" sahut Kania tiba-tiba. "Kau baru mengenalnya sebentar tapi kau sudah begitu yakin padanya.""Haha, aku sudah sangat yakin dengan perasaanku, Kak. Semakin diyakinkan lagi, yang ada malah aku semakin menyukainya. Bahkan aku tidak tahan berjauhan dengannya. Aku benar-benar seperti orang bodoh saat ada di dekatnya.""Wah wah, aku yakin kali ini Axel serius. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya." Kania melirik Nero dan Juan yang sudah mematung tanpa ekspresi. Kania dan Axel pun mendadak heboh sendiri menceritakan tentang Patra, tapi mendadak Nero berkomentar. "Kapan kau mau menyatakan perasaanmu, Axel? Di villa nanti? Kau tidak bisa melakukannya, Axel!" geram Nero dengan nada meninggi. "Momennya tidak pas. Kalau kau ditolak, kau akan down dan tidak bisa bekerja lagi! Kau mau mempertaruhkan nama perusahaan hanya karena ungkapan cinta, hah?" "Jangan kekanakan, Axel! Lagipula seperti dia juga menyukaimu saja!" geram Nero
"Pihak investor mau kita menemuinya di villanya besok lusa, Patra. Jadi bersrmangatlah. Namanya Pak Barry, kita harus berhasil melobinya untuk berinvestasi di proyek itu!" seru Axel pagi itu. Patra yang mendengarnya pun berdebar, tapi ini proyek pertamanya. Karena itu, Patra harus berusaha keras untuk mendapatkan investasi itu. Di sisi lain, Juan sedang sangat gelisah dan terus mengikuti Nero ke mana-mana. Nero mabuk semalam saat mengatakan akan memutuskan Kania dan ketika Juan meminta penjelasannya, Nero malah tertidur. "Semoga saja dia tidak ingat apa yang sudah dia katakan tadi malam." Juan terus bergumam sendiri. "Apa Kania tidak ke kantor pagi ini? Dia tidak memberitahuku soal jadwalnya pagi ini," kata Nero yang melangkah masuk ke ruang kerjanya. "Eh, mengapa mendadak kau mencari Kania?" sahut Juan tegang. "Memangnya mengapa aku tidak boleh mencarinya? Tidak biasanya dia tidak memberitahu jadwalnya.""Err, apa sekarang kau mempedulikan Kania?""Heh? Aku tidak mengerti maks
"Nero ... lepas ..." Patra masih mencoba bicara walau bibirnya saat ini sedang dikunci oleh Nero. "Mmphh ...." Beberapa kali Patra berusaha mendorong Nero namun semakin Patra mendorong, Nero semakin maju sampai Patra terhimpit dan tidak bisa bergerak lagi. Nero terus memagut bibir Patra begitu lama, mengabaikan Patra yang terus memberontak. Hingga akhirnya Patra pun menyerah, alih-alih mendorong, Patra malah mencengkeram kemeja pria itu. Tanpa disadari, Patra mulai membalas pagutan bibir pria itu. Nero yang merasakannya sempat tersenyum kecil, sebelum ia kembali melahap bibir Patra. Tubuh Patra pun mulai melemas, menandakan bahwa wanita itu sudah pasrah dan tangan Nero pun berhenti mengungkungnya. Tanpa melepas pagutan bibirnya, Nero pun mulai menangkup dan membelai kepala Patra dengan sayang. Dan untuk sesaat, mereka begitu menikmati tautan bibir mereka, sama seperti dulu saat mereka masih sepasang kekasih. Hanya saja, bedanya kalau dulu mereka hanyalah sepasang remaja yang m
Nero memicingkan matanya mendengar pertanyaan Kania pada Patra.Walaupun Nero cukup kaget dengan pertanyaan kepo itu, namun Nero sendiri cukup penasaran apa jawaban Patra. Namun, Patra sama sekali tidak berniat menjawabnya. Patra pun melirik Axel, seolah meminta bantuan dan Axel yang pengertian pun lagi-lagi menyelamatkannya. "Haha, Bu Kania! Lagi-lagi Anda membuat Patra takut!" "Ya ampun, maaf ya, Patra! Aku tidak bermaksud membuatmu takut, aku hanya penasaran. Tapi kalau kau tidak mau bercerita juga tidak apa." Kania melirik Axel dan memberi kode tidak bisa membantu lagi. Patra tersenyum canggung, tapi Axel terus berusaha mencairkan suasana sampai pembicaraan mereka menjadi lebih santai, walaupun tatapan Nero tidak berhenti terpaku pada Patra. Sampai tidak lama kemudian, ponsel Kania dan Axel berbunyi pada saat yang hampir bersamaan. Mereka pun mendadak sibuk mengangkat teleponnya masing-masing. "Astaga, Nero! Maaf aku harus segera pulang. Ibuku baru saja dijambret dan dia san
Kania sadar pertanyaannya begitu absurd, rasanya tidak mungkin Patra ke apartemen Nero. Namun, entah mengapa rasa penasarannya seperti bom yang akan meledak. Semakin Kania mengingatnya, wanita itu memang mirip dengan Patra, walaupun baju wanita tadi tidak mirip dengan baju Patra sekarang. Nero dan Patra sendiri langsung menegang mendengar pertanyaan Kania sampai tidak ada yang bicara selain mematung. Untungnya, Axel menyahuti lebih cepat. "Bu Kania, Anda benar-benar absurd ya! Anda membuat asistenku takut."Axel terus tertawa seolah pertanyaan Kania adalah hal yang sangat lucu. "Tidak mungkin Patra ada di apartemen Pak Nero! Kurasa di mana apartemen Pak Nero saja dia tidak tahu, bukankah begitu, Patra? Anda pasti salah orang, Bu Kania."Kania yang melihat Axel tertawa pun akhirnya ikut tertawa. "Ah, aku sudah menduganya! Kalian pasti mengira aku absurd kan? Tadi aku sedang menelepon dan mendadak berpapasan dengan seorang wanita yang tampak belakangnya mirip sekali dengan Patra."
Kania pulang lebih cepat pagi itu dari luar kota. Ia sudah merindukan Neronya dan ia pun membawa sarapan untuk dinikmati bersama dengan Nero. Namun, saat ia melangkah di lobby sambil menelepon, mendadak ia melihat seorang wanita familiar yang berjalan dengan cepat melewatinya. "Patra?" gumam Kania antara yakin dan tidak. Kania pun masih terdiam sampai lawan bicaranya memanggilnya dan ia pun tersentak kaget. "Ah, iya, maaf! Sampai di mana kita?" Kania mengerjapkan mata sambil tersenyum lalu meneruskan mengobrolnya sambil melangkah naik ke apartemen Nero. Nero sendiri yang ditinggalkan oleh Patra masih mematung di tempatnya dan sama sekali belum beranjak walaupun sudah cukup lama Patra pergi. Nero masih berharap Patra kembali, sampai saat bel pintu apartemen berbunyi, tawa sumringah pun mengembang di wajah Nero. Dengan bersemangat, Nero membuka pintu apartemennya, berharap melihat Patra di sana, namun seketika tawanya menghilang saat alih-alih Patra, ia malah melihat Kania, tuna
Nero mengerut dalam tidurnya. Rasanya ia baru saja mengalami tidur panjang dan ia sangat lelap.Nero pun mulai menggerakkan tubuhnya sambil perlahan membuka matanya dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah cantik Patra yang sedang tertidur lelap di sampingnya. Entah bagaimana gerakan mereka saat tidur kemarin, namun saat ini Nero sedang memeluk lengan Patra yang sedang tertidur pulas tepat di sampingnya. Mereka sama-sama tidur menyamping dan saling berhadapan. Nero pun hanya bisa tertegun menatap wajah cantik itu dan ia baru ingat bagaimana wanita itu merawatnya kemarin malam. Entah jam berapa sekarang namun belum terlihat cahaya sama sekali dari jendela, mungkin masih subuh, tapi untungnya Nero sudah merasa lebih baik, jauh lebih baik. "Kau menepati janjimu, Patra. Tidak meninggalkanku saat aku tertidur."Dengan hati-hati, Nero membelai pipi Patra dengan punggung tangannya. Nero pun menyingkirkan helaian rambut di sisi wajah wanita itu dan terus tersenyum. Baru saja Nero mem
Patra langsung mematung mendengar ucapan Nero. Untuk sesaat, semua rasa dalam dirinya melonjak mendengar Nero mengatakan mencintainya. Siapa yang tidak senang mendengar pria yang masih dicintainya ternyata juga merasakan hal yang sama. Namun sedetik kemudian, kesadaran pun menyentak Patra. Tidak! Apa yang Nero katakan barusan? Nero masih mencintainya?Tidak! Semua ini salah. Tidak seharusnya Nero berkata begitu. Ya, ini salah dan yang namanya kesalahan harus segera dibenarkan atau Patra akan menjadi ikut-ikutan salah."Nero ... lepaskan! Kau sudah makin ngawur! Lepaskan aku, Nero! Lepaskan!""Tidak, Patra! Aku tidak ngawur! Aku masih sadar!"Patra mulai memberontak lagi dan Nero bertahan, namun rasa sakit di tubuhnya akhirnya membuatnya menyerah dan melepaskan Patra. Patra pun berlari menjauh dari Nero. "Kau sedang sakit, Nero! Otakmu tidak bisa berpikir dengan baik dan kau mengingau! Ingat itu, kau meracau! Kau hanya meracau!" ucap Patra berulang kali seolah berharap sugesti itu
Nero masih tersenyum menunggu Patra-nya yang sedang ada di ruang wardrobe, tapi wanitanya tidak kunjung kembali.Sambil meringis, ia pun melangkah ke arah ruang wardrobe dan sungguh lantai kamarnya terasa dingin di telapak kaki Nero. Nero pun terus meringis dan mempercepat langkahnya, namun mendadak ia berhenti saat ia sudah sampai di ruang wardrobe. Nero tertegun sejenak menatap punggung Patra. Wanita itu sedang berdiri di depan lemarinya sambil memegang kaos berwarna biru muda dan tentu saja Nero langsung mengenali kaos apa itu. Kaos kenangan mereka. Nero membelinya agar mereka bisa memakai kaos couple, tapi sayangnya mereka tidak pernah bisa memakainya karena tidak lama kemudian mereka berpisah. Nero pun akhirnya tidak pernah memakai kaos itu sampai sekarang dan hanya menyimpannya. Bagi Nero, kaos couple itu harus dipakai bersama Patra. Untuk sesaat, Nero hanya berdiri diam. Bahkan Nero tidak mempedulikan lagi telapak kakinya yang terasa dingin karena mendadak ia melow menging