“Apa katamu??” suara Aurelia meninggi, bibirnya mengerucut, matanya tajam menembus layar ponsel.
“Jelek,” ulang Gian tanpa ragu, kali ini lebih tegas, seakan ingin memastikan kata itu sampai. “Aku bisa belikan yang lebih bagus dan mahal daripada itu.”
Aurelia langsung mendengus pelan, tatapan tak bergeming. “Ini bukan masalah harga, Gian. Ini soal niat tulus seseorang. Kau tahu, tidak?” suaranya terdengar getir. “Daripada dirimu? Aku tembus nilai IELTS tinggi saja tidak memberiku apa-apa. Sungguh pelit.”
Kata-kata itu seperti cambuk, menghantam tepat di dada Gian. Kepercayaan diri yang biasanya kokoh mendadak runtuh. Wajahnya memucat, seolah darah surut sekaligus. Ia terdiam cukup lama, jari-jarinya yang tadi menggenggam ponsel kini gemetar halus.
“Lia?” suaranya gugup, hampir seperti gumaman.
“Apa?” Aurelia menantang, dagu sedikit terangkat. “Memang benar, &l
Aurelia masih bisa merasakan sensasi hangat dari bisikan Gian di telinganya. Kata-kata pria itu—“Malam ini, jangan tolak aku lagi”—terus terngiang, membuat wajahnya panas hingga ke telinga. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan menunduk, merapikan tali tasnya, padahal jantungnya berdegup seperti genderang perang.“Kenapa diam?” suara Gian lagi, datar namun berbahaya.Aurelia mendengus kecil, sengaja memalingkan wajah. “Aku tidak tahu harus jawab apa.”Suaminya terkekeh rendah, lalu meraih tangannya dan menggenggam erat. “Nanti malam kau jawab dengan tindakan saja.”Aurelia menoleh cepat, mata membulat. “Gian!” serunya dengan nada setengah berbisik, setengah protes.Namun, pria itu sama sekali tidak terpengaruh. Ada senyum tipis di bibirnya, senyum yang membuat Aurelia gemas sekaligus malu.Selesai berjalan-jalan di Darling Harbour, Gian tiba-tiba menggiring la
Suasana ruang seminar kampus itu masih dipenuhi suara tuts laptop, desiran kertas, dan gumaman diskusi antar-mahasiswa internasional. Aurelia duduk di salah satu sudut ruangan, tubuhnya sedikit membungkuk di depan layar. Jemarinya menari cepat, menyusun laporan akhir untuk proyek short course yang harus dikumpulkan minggu depan.Sesekali ia menghela napas, menarik rambut sebahunya ke belakang lalu menyematkannya dengan penjepit agar tidak jatuh menutupi wajah. Matanya fokus, tetapi jelas sekali tubuhnya lelah. Sejak pagi, ia sudah menghadiri dua seminar, satu workshop, dan sekarang masih harus menuntaskan draft laporan kelompoknya.“How?” tanya Marie, teman sekelompoknya asal Prancis, dengan logat khas.“Almost,” jawab Aurelia singkat, tersenyum kecil. Ia kembali mengetik, mengabaikan rasa pegal di bahunya.Beberapa mahasiswa lain sudah berkemas, ada yang keluar untuk mencari kopi, ada pula yang bercanda. Aurelia memilih bertahan,
“Hey, Aurelia! Did you finish the draft for tomorrow’s project?” suara seorang pria memecah keheningan senja di taman itu.Aurelia menoleh, sedikit terkejut, tapi segera tersenyum. “Yes, Daniel. I’ve got most of it done. Just need a little touch-up tonight.”“Great. We’ll review it together before the class, right?” Daniel menambahkan dengan ekspresi ramah.“Of course. Don’t worry, everything’s under control.”Gian yang duduk di samping Aurelia hanya memandangi pria itu dengan tatapan dingin. Matanya menyipit, menakar siapa sosok asing yang begitu santai memanggil istrinya. Wajah Gian datar, tapi jelas ada bara api yang membara di balik sorot matanya.Aurelia berdiri sebentar, memperkecil jarak. “Oh, Daniel, this is my husband. Gian.” Suaranya lembut, penuh kebanggaan.Daniel tampak sedikit kaget, tapi segera mengulurkan tangan sopan. “Nice to mee
Aurelia tercekat.Senyum yang tadi sempat merekah langsung lenyap begitu matanya menangkap jelas sosok lelaki yang berdiri di jalur setapak. Ia sampai menggeleng pelan, tak percaya pada apa yang dilihatnya.“G… Gian?” bisiknya, seolah nama itu sulit keluar dari bibirnya.Suaminya berdiri hanya beberapa langkah darinya, tampak tegap dengan kemeja biru yang sederhana, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang berat. Lelaki itu seharusnya ada di Jakarta, ribuan kilometer dari Sydney. Namun kini ia benar-benar ada di hadapannya.Gian tidak langsung tersenyum. Matanya menatap lurus, menusuk, seolah mencari jawaban dari kebingungan di hatinya. Lalu bibirnya bergerak, nadanya dingin dan datar.Tak lama kemudian dia berdecak pelan lalu merentangkan kedua tangan dan berkata, “Tidak ingin memelukku?”
Aurelia masih sibuk menata ulang catatan lokakarya di pangkuannya. Buku catatan penuh coretan itu ia buka-tutup, sementara pulpen berputar di jari seolah membantu pikirannya menyusun ulang rangkaian materi. Taman sore itu sepi, hanya riuh burung camar yang terbang rendah dan sesekali suara tawa anak-anak dari kejauhan.Namun langkah kaki itu muncul—lambat, mantap, dan dengan irama yang sangat familiar di telinganya. Aurelia spontan mengangkat kepala. Bayangan yang berdiri di depan bangku taman membuat dadanya berdesir.“Bas…” suaranya keluar tanpa rencana, di antara terkejut dan senang.Baskara berdiri membelakangi jalur setapak. Kemeja kasualnya digulung sampai siku, menampakkan lengan yang kokoh. Rambutnya sedikit berantakan tertiup angin sore, namun wajahnya tetap sama tenang seperti dulu. Tatapannya lembut, menyimpan keakraban yang dulu begitu menenangkan Aurelia ketika mereka sering bekerja bersama di Melbourne. Dalam kerlip cahaya
Hari-hari Aurelia di Sydney kini mulai terisi dengan ritme padat. Short course yang ia jalani menuntut kedisiplinan dan fokus penuh. Setiap pagi ia berangkat lebih awal, membawa catatan, laptop, dan segudang semangat meski wajahnya sering masih menyimpan lelah.Ruang kelasnya tidak pernah sepi dari diskusi. Dosen dan pemateri kerap menantang peserta untuk berpikir kritis, mengaitkan teori dengan kasus nyata. Aurelia yang awalnya sempat merasa minder karena bahasa Inggrisnya terdengar kaku, perlahan mulai terbiasa. Ia belajar mencatat cepat, menyampaikan opini dengan jelas, bahkan berani mengajukan pertanyaan.Sophia, yang ditugaskan kampus sebagai pendampingnya, selalu hadir di sela-sela kesibukan itu. Bukan untuk ikut belajar, melainkan memastikan Aurelia tidak kesulitan menyesuaikan diri—mulai dari transportasi, kebutuhan administrasi, hingga urusan sehari-hari.“Don’t worry, if you need anything, just tell me,” ujar Sophia dengan senyum