BAB 105 Setelah itu ia membuka kunci layar ponsel-nya untuk segera memesan beberapa menu makanan di aplikasi Gejek. Sementara itu Citra mengambil sapu dan pengki di belakang untuk membersihkan pecahan kaca di ruang tamu. Sambil menunggu makanan pesanan datang, Dokter Ardian mengambil tangga di gudang untuk menurunkan foto pernikahannya dengan Nadia. Memang sudah saatnya foto itu pensiun dan berganti foto baru, pernikahannya dengan Citra. Citra membantu Dokter Ardian menurunkan foto itu dengan menunggu di bawah tangga. Namun, karena kurang hati-hati memegang pigura foto yang masih ada pecahan kacanya, jari Citra pun terluka. Ketika Dokter Ardian akan menaruh foto itu di gudang, ia melihat tangan Citra mengeluarkan darah. Memang tidak banyak, tapi kalau tidak dihentikan darah itu akan terus mengalir. “Tangan kamu berdarah, Cit,” ujar Dokter Ardian seraya menarik tangan Citra setelah menaruh pigura foto yang ada tangannya. “Ah, nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit, kok. Aku mandi dulu,
BAB 107 “Ada apa?” tanya Dokter Ardian seraya memilih pakaian di dalam almari. Ia harus segera berangkat ke rumah sakit. “Mm … anu, Mas, makanannya sudah datang. Ayo makan nanti keburu dingin,” balas Citra dengan kikuk. “Aku ada SC sekarang,” balas Dokter Ardian sembari memakai kaos dalam. “Oh,” sahut Citra singkat. “Kok ‘Oh’ doang sih? Bantuin dong, Cit!” ujar Dokter Ardian sambil memakai kemeja. Citra pun masuk ke dalam kamar dan mendekat ke arah Dokter Ardian. “Dibantuin apa?” tanya Citra. Ia tidak tahu bantuan apa yang diminta suaminya itu. “Kancingkan!” perintah Dokter Ardian seraya menunjuk kancing kemeja-nya. “Oh, oke,” balas Citra lalu mulai mengancingkan kemeja Dokter Ardian. Sementara itu tangan Dokter Ardian mengambil celana dalam kemudian memakainya di depan Citra. Citra pun segera memejamkan matanya saat Dokter Ardian melepas handuk-nya. Dokter Ardian tersenyum samar ketika melihat Citra yang masih malu-malu padanya. “Kenapa memejamkan mata?” tanya Dokter Ardian
BAB 109 Dokter Herlina pun membawa bayi itu ke sebuah meja dengan lampu sangat terang untuk diperiksa dan dibersihkan jalan napasnya. Setelah itu ia menimbang bayi itu untuk mengetahui berat lahir bayi tersebut. Dokter Ardian merasa lega karena ibu dan bayinya selamat. Ia ingin segera menyelesaikan operasi ini supaya bisa segera pulang. Sedari tadi di pikirannya hanya ada Citra yang tengah menunggunya di dalam mobil. Usai melakukan heating, Dokter Ardian melepas semua APD yang menempel pada tubuhnya dibantu seorang perawat. Setelah itu ia mencuci tangannya lalu duduk pada sebuah meja untuk menulis laporan kembali. Sambil menulis, Dokter Ardian tersenyum-senyum sendiri dan sesekali menggelengkan kepalanya. Dokter Herlina memperhatikan itu karena ia berada tidak jauh dari tempat Duduk Dokter Ardian. Dokter Ardian teringat kejadian di dalam mobil tadi. Citra menyuapinya dengan penuh kesabaran dan sangat telaten. Almarhumah Nadia saja belum pernah melakukan hal itu padanya. Karena itu
BAB 111 “Pergi? Ke mana?” tanya Dokter Ardian sembari mengerutkan keningnya. “Saya tidak tahu, Pak. Tadi waktu saya baru sampai di depan gerbang, saya melihat Mbak Citra pergi dengan membawa tas yang dulu pertama kali ia bawa ke sini. Sudah saya panggil, tadinya mau nanya hendak pergi ke mana, tapi Mbak Citra-nya keburu naik taksi dan sudah terlalu jauh. Mungkin tidak dengar,” tutur Bik Yati menjelaskan. “Oh gitu. Ya sudah, Bik. Makasih, ya. Kalau capek istirahat saja. Jangan dipaksakan kerjanya. Kan baru sembuh,” balas Dokter Ardian dengan ramah seperti biasanya. “Iya, Pak,” balas Bik Yati sopan. Setelah itu Dokter Ardian pun segera menaiki anak tangga dengan tidak sabar. Sesampainya di lantai atas, ia masuk ke dalam kamar Citra. Ia berjalan mendekati almari Citra dan membukanya. Ia ingin tahu apakah Citra membawa semua pakaiannya atau tidak. Saat pintu almari terbuka, ia melihat beberapa lipatan pakaian Citra tampak berantakan dan terlihat berkurang jumlahnya. Sepertinya Citra
BAB 113 Usai itu Citra buru-buru keluar dari rumah dan tidak lupa mengunci pintunya kembali. Kemudian ia naik taksi kembali menuju Puskesmas di mana Ibunya dirawat tanpa menoleh ke belakang. Sesampainya di depan Puskesmas Anggrek, Citra pun segera turun setelah membayar argo taksi yang ditumpanginya. Ia sempat terkejut karena argo taksi yang mahal. Ia terbiasa naik angkot yang cukup murah dan terjangkau di kantongnya. Dengan segera Citra mencari di mana Ibunya berada. Mulai dari UGD hingga akhirnya ia bertanya pada bagian informasi. Setelah mendapatkan informasi di mana kamar Ibunya, Citra pun segera masuk untuk melihat keadaan Ibunya. “Ibuk!” panggil Citra dengan menangis. Ia tidak pernah melihat Ibunya tidak sadarkan diri seperti ini. Ia pun memeluk Ibunya yang terbaring di atas tempat tidur. “Udah nggak apa-apa. Cuma luka sedikit. Ibu kamu pingsan karena terkejut,” ujar Tina tiba-tiba di ambang pintu. Sedari tadi ia menjaga Bu Ratna karena tidak ada yang menjaganya. Sebelum Ci
BAB 115 Adzan subuh berkumandang. Alarm pada ponsel Dokter Ardian pun berbunyi. Tidak lama kemudian Dokter Ardian terjaga dan membuka matanya untuk mematikan alarm pada ponsel-nya. Usai itu ia melihat ke samping kanannya. Biasanya Citra berbaring di sampingnya. Namun, kali ini tidak ada. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya dengan malas untuk menunaikan ibadah salat subuh. Pagi hari, Dokter Ardian menuruni anak tangga dengan langkah tidak bersemangat. Di tangan kanannya, ia membawa tas yang biasa ia bawa bekerja. Di tangan kirinya ia membawa tas lain yang berisi pakaian yang akan ia bawa ke rumah Bu Ratna. Kali ini ia akan menikmati sarapan paginya seorang diri. Dulu, sebelum menikah dengan Nadia, ia menikmati sarapan dengan Mama dan Papa-nya. Usai itu muncul Nadia di hidupnya. Hari-harinya pun ditemani Nadia, tapi itu tidak berlangsung lama karena Tuhan mengambilnya saat melahirkan Nizam. Setelah kematian Nadia, Citra-lah yang menemaninya sarapan setiap harinya hingga saat ini Citra
BAB 117 “Ibuk kenapa?” tanya Dokter Ardian. “Hanya jatuh, tapi Ibuk nggak apa-apa, kok,” jawab Bu Ratna dengan tersenyum lembut. “Ibuk kecelakaan kemarin, Mas,” sahut Citra seraya mengambilkan Ibunya air minum. “Nggak parah, kok. Besok sudah boleh pulang kata dokter-nya,” sahut Bu Ratna santai. “Syukurlah kalau begitu.” Dokter Ardian merasa lega. “Setelah menyuapi Ibuk, kita bicara sebentar, ya. Aku tunggu di luar,” ucap Dokter Ardian pada Citra lalu keluar dari bilik Bu Ratna. “Ibuk sudah makannya. Ibuk mau tidur sekarang. Kamu keluar saja temui suami kamu, Nak,” ucap Bu Ratna dengan tersenyum pada Citra. “Iya, Buk,” balas Citra lalu menyelimuti Ibunya. Kemudian ia menyusul Dokter Ardian yang duduk di kursi depan ruang kamar Bu Ratna. “Ada apa, Mas?” tanya Citra setelah duduk di samping Dokter Ardian. “Bisa nggak sih kalau pergi itu pamit dulu? Atau nggak, ponsel jangan dimatikan, Cit,” ujar Dokter Ardian seraya menghadap Citra. “Maaf, Mas. Kemarin aku panik banget karena m
BAB 119 Dokter Ardian hanya bisa mendesah pelan. Mau mengejar juga tidak bisa karena ia belum membayar dan belum menghabiskan makanannya. “Istri kamu kenapa, Yan?” tanya Dokter Anisa sembari melihat Citra yang tengah menyeberang di tengah jalan raya. “Nggak apa-apa. Ibunya kan sedang sakit. Wajar aja dia khawatir,” balas Dokter Ardian lalu kembali melanjutkan aktivitas makannya. “Yan, anakmu sudah berapa?” tanya Dokter Anisa. Entah kenapa ketika bertemu dengan Dokter Ardian hari ini, tiba-tiba ia ingin tahu banyak tentang Dokter Ardian. “Masih satu. Masih umur sembilan bulan,” jawab Dokter Ardian dengan santai. “Yang benar? Hebat dong istrimu. Masih muda, habis melahirkan sudah bisa selangsing itu,” sahut Dokter Anisa takjub. “Mm … jadi sebenarnya gini. Citra itu istri kedua aku. Aku baru nikah sama dia belum ada satu bulan. Istri pertama aku meninggal saat melahirkan anakku. Jadi, Citra ini belum pernah hamil ataupun melahirkan. Makanya badannya masih langsing,” papar Dokter Ar