Share

Bab 5

Hari ini Zafar mencoba membuat makanan sendiri di dapur. Zanira belum pulang dari kampus, sedangkan dia tidak ingin merepotkan ibunya.

Tanpa sengaja Zafar menjatuhkan panci di dapur dan membuat Jahama terkejut mendengarnya.

Perempuan itu lalu menuju ke dapur dan melihat Zafar di sana.

"Apa yang kau lakukan di sini Zafar?" Tanya Jahama.

"Emm, ibu, sebenarnya aku sangat lapar. Aku ingin membuat makanan–"

"Oh ya ampun, kenapa kau tidak meminta perempuan yang katanya adalah istrimu itu untuk membuatnya? Kenapa kau melakukan ini sendiri Zafar?" tanya Jahama merasa kesal pada Zafar dan tentu saja pada Tia.

Jahama pikir Tia benar-benar pemalas dan tidak bisa melayani suaminya dengan baik.

"Ibu, aku bisa membuatnya sendiri," kata Zafar membela diri.

"Bagaimana kau akan membuatnya kalau kau saja menjatuhkan panci tidak bersalah ini? Pergilah, biar aku yang memasaknya untukmu," kata Jahama mengusir Zafar dari dapur.

"Ayo pergilah, bicaralah pada ayahmu di depan," pinta Jahamaa lagi.

Zafar pun menuruti ibunya dan berbincang dengan Kamal di teras rumahnya.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Jahama untuk membuat makanan itu, sebentar saja makanan untuk Zafar pun sudah siap.

"Zafar, makananmu sudah siap, ayo makanlah," panggil Jahama.

"Iya ibu."

Zafar lalu menuju pada ibunya dan mengambil makanan darinya. "Terimakasih ibu," ucapnya.

Jahama hanya tersenyum.

"Zafar, kau ingin makan dimana?" tanyanya saat melihat putranya membawa makanya.

"Ibu aku ingin makan di kamar saja bersama Tia," jawabnya.

"Kenapa begitu? Apa istrimu itu menyuruhmu untuk memasak untuknya dan membawanya ke kamar? Pagi tadi kau menyuruh Zanira membuat sarapan untuknya, sekarang apa lagi?" tanya Jahama dengan nada tidak suka.

"Ibu, jangan bicara seperti itu, tolonglah Bu, apa ibu tidak melihat keadaan Tia saat ini?"

"Untuk apa aku peduli padanya? Dia istrimu tapi lihat, apa dia peduli padamu?"

"Sudah ibu, aku tidak ingin berdebat denganmu."

Seketika raut wajah Jahama menjadi sangat emosi mendengar itu. Zafar lalu mengantarkan makanan itu pada istrinya.

Tia yang benar-benar berada di titik terendahnya hanya berpikir bagaimana caranya keluar dari rumah Zafar dan mencari ibunya lalu membalaskan semua kejahatan ibu dan saudara tirinya.

Zafar meminta Tia untuk makan, tapi Tia menolaknya. Laki-laki itu dengan sabar membujuknya.

"Tia, aku memang bersalah, kau boleh membenciku. Tapi makanan ini bukanlah aku, dia dibuat oleh ibuku dengan penuh cinta, jadi kau harus memakannya. Setidaknya makan sedikit saja dan jangan marah padanya," tutur Zafar dengan lembut.

Tia meliriknya. "Apa kau tidak dengar apa yang sudah aku katakan? Jika kau tidak dengar, maka aku akan mengulanginya lagi bahwa aku tidak ingin memakannya," tegas Tia dengan keras kepala.

"Apa yang harus aku lakukan supaya kau mau makan? Aku hanya memintamu untuk memakan makanan ini Tia demi kesehatanmu, aku tidak memintamu untuk melayaniku sebagai istriku–"

"Apa maksudmu? Apa aku menganggap pernikahan ini? Apa aku terlihat mencintaimu Zafar?"

"Sekarang kau memang tidak mencintaiku, tapi suatu saat nanti tidak ada yang tahu jika cinta itu datang padamu," jawab Zafar dengan pasti.

Tia tidak percaya dengan itu. "Tidak akan," tolak Shehrnaz.

"Kau boleh membenciku Shehrnaz, tapi aku akan tetap mencintaimu."

"Dan aku akan tetap membencimu."

"Kita lihat saja biar Tuhan memilih cintaku atau kebencianmu."

Tia hanya mengabaikan Zafar. Semalaman dia berpikir keras bagaimana caranya pergi mencari ibunya kalau sekarang Tia sendiri bahkan tidak memiliki siapa-siapa.

Meskipun keinginan untuk memberikan pelajaran pada orang yang sudah membuatnya seperti ini sangat besar, tetap saja Tia tidak bisa dengan mudah melakukan itu kalau dirinya tidak memiliki apa-apa saat ini. Hanya Zafar yang ia punya, terima atau tidak terpaksa Tia harus tinggal dulu di rumah ini.

Tia pikir dia harus bisa membuat Zafar mengantarkannya pada pamannya supaya bisa mencari ibunya, setelah itu dia bisa bercerai dengan Zafar.

'Aku tidak akan melupakan luka yang kau berikan ini Izora, suatu saat kau akan mendapatkan hal yang sama seperti yang kau lakukan. Tunggu saja sampai aku kembali dan membalas semua ini,' pikir wanita itu hingga menjelang pagi dia baru bisa tidur.

***

"Ya Tuhan, ini sudah pagi, bahkan gadis itu belum bangun juga. Zafar benar-benar keterlaluan. Perempuan macam apa yang dia nikahi itu?" tanya Jahama mengomel sendiri sambil menyiapkan makanan di dapur.

Pagi ini Zanira juga membantu ibunya dan ingin segera bersiap-siap untuk pergi ke kampus.

"Dengar Zanira, saat kau berada di rumah mertuamu nanti, kau tidak boleh bangun kesiangan dan tidak boleh menjadi pemalas," kata Jahama menasehati putrinya.

"Iya ibu, akan aku usahakan, tapi aku tidak akan secepat itu pergi ke rumah mertua, itu masih lama ibu."

"Masih lama atau tidak, aku tidak ingin kau menjadi menantu yang tidak berguna di rumah mertuamu nanti. Selama ini aku sudah mengajari semua hal padamu. Jangan sampai kau membuat mertuamu harus mengadu padaku bahwa kau menantu yang tidak baik."

"Iya ibu, sudahlah. Kenapa kau pagi-pagi harus membahas ini ibu?" kata Zanira sambil mangangkat makanannya.

"Hei apa kau tidak lihat perempuan yang sudah kakakmu bawa ke rumah ini? Perempuan macam apa dia? Bahkan sekarang pun belum ada tanda-tanda kalau dia sudah bangun."

"Ibuu, kenapa harus mempermasalahkan itu juga? Kakak ipar sedang tidak baik-baik saja ibu, apa ibu tidak melihat dia sedang terluka dan memiliki banyak masalah? Berikan dia waktu ibu, aku yakin kakak ipar pasti akan menjadi menantu yang baik."

"Jadi kau ikut membela wanita itu juga?"

"Bukan begitu ibu."

"Sudahlah, cepat siapkan makanannya!"

Jahama menjadi heran kenapa semua orang di rumah ini begitu memaklumi Tia?

Apa spesialnya wanita itu? Bahkan Jahama merasa tidak ada kebaikan yang Tia bawa ke dalam rumahnya.

"Lain kali akan aku beri dia pelajaran supaya tidak menganggap dirinya ratu di rumah ini," kata Jahama dengan geram.

Zafar sudah bersiap-siap untuk pergi ke kantor polisi, dia terpaksa akan mencabut laporannya karena Tia.

Setelah itu dia akan mencari pekerjaan dan harus mendapatkannya.

"Zafar?" tanya Jahama saat mereka sarapan pagi.

"Kenapa kau tidak mematikan lampu kamarmu? Apa kau pikir kehidupan kita akan menjadi kaya setelah kau membawa gadis itu tinggal di rumah ini?"

"Ibuu, Tia tidak bisa tidur tanpa lampu ibu, jadi–"

"Jadi kau masih menyalakannya hingga sekarang?" tanya Jahama memotong jawaban Zafar.

"Sebentar lagi aku akan mematikannya ibu, lagipula ventilasi di kamarku sangat kecil dan cahaya matahari tidak bisa segera masuk, ibu tenang saja, aku akan segera memperbaikinya."

"Kau memang pandai berbicara, kalau begitu ajari istrimu itu untuk tidak menjadi pemalas di rumah ini. Dia pikir dia masih tinggal di istananya dan kami semua akan melayaninya?"

"Jahama, jaga bicaramu, jika Tia mendengar bagaimana?"

Kamal mencoba untuk mengingatkan Jahama untuk tidak bicara yang buruk pada Tia.

"Biarkan saja, memangnya kenapa kalau dia mendengarkannya? Apa aku mengatakan hal yang bohong tentangnya?"

Jahama justru meninggikan suaranya dengan maksud supaya Tia mendengar kalau dia tidak menyukainya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status