Share

Bab 6

“Zanira,” panggil Zafar sambil mengetuk pintu kamar perempuan itu dan masuk.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. Ada apa Kak?”

Zafar pun lalu duduk di tepi ranjang adik kesayangannya itu sambil tersenyum.

“Bagaimana kuliahmu? Apa semua berjalan dengan baik?” Zafar mencoba basa basi dengan Zanira adiknya.

“Tentu saja, ada banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan dan sebenarnya aku hampir gila karena itu.”

“Hahahaha, apa yang kau katakan? Kau adalah calon seorang dokter, bagaimana kau akan mengeluh seperti ini?”

Zanira lalu terdiam, dia duduk di kursi belajarnya sambil memandangi semua buku-buku tebal miliknya. 

Gadis itu hanya memikirkan bagaimana dirinya akan melanjutkan pendidikannya sekarang? Zafar sudah kehilangan pekerjaanya dan sekarang dia juga harus bertanggung jawab pada istrinya. 

Sebenarnya Zafar dan Zanira masih memiliki satu orang saudara lagi, namanya adalah Tarfan. Sayangnya laki-laki itu tidak tinggal di rumah ini. Tarfan memilih untuk menikmati hidupnya di luar kota dan bekerja sendiri.

Tarfan tidak peduli pada keluarganya yang miskin, dia ingin terbebas dari kemiskinan itu dan meninggalkan rumahnya. Zafar tidak bisa menghentikan adiknya itu dan membiarkan dia pergi.

Zafar yang melihat adiknya tiba-tiba terdiam pun penasaran. "Apa yang kau pikirkan Zanira? Apa ada masalah?” tanyanya. 

Zafar pikir sudah lama tidak berbicara pada adik kandungnya itu dan menanyakan kabarnya. Beberapa hari ini dia sibuk dengan masalahnya sendiri hingga jarang berbicara banyak pada Zanira.

“Emm tidak ada. Apa kakak tidak bekerja hari ini?” tanya Zanira dengan hati-hati takut menyinggung perasaan Zafar.

“Doakan saja kakakmu ini segera mendapatkan panggilan dari beberapa tempat yang aku lamar.”

“Tapi, tadi pagi aku melihatmu pergi. Memangnya kemana kakak pergi?”

“Aku mengurus pencabutan laporanku di polisi, kakak iparmu adalah perempuan yang berhati baik. Dia tidak ingin menyakiti siapapun yang telah menyakitinya. Mungkin aku harus belajar banyak darinya.”

“Baiklah aku juga," ujarnya dengan senang. Sedetik kemudian gadis itu mulai sedikit ragu. "Tapi sepertinya kakak ipar tidak menyukaiku, dia tidak banyak bicara padaku,” curhat Zanira.

Zafar tersenyum mencoba membuat adiknya mengerti. “Dia pasti akan menyukaimu. Semua hanya tentang waktu.”

Mendengar itu Zanira menatap kakaknya. "Dia pasti juga akan menyukaimu kak. Aku harap kau akan mendapatkan cinta darinya.” Zanira tahu Zafar sudah menyukai Tia sejak lama.

Zafar merasa pesimis karena Tia membencinya meskipun laki-laki itu menjadi suaminya. "Aku tidak mengharapkannya Zanira. Cinta adalah memberi dengan tulus, ketika kita memberi jangan pernah berharap akan diberi kembali, itulah ketulusan. Tidak ada harapan apapun yang ingin aku dapatkan selain dari melihat orang yang aku cintai bahagia. Rasanya seperti tidak mungkin kalau aku akan memiliki hatinya.”

Mendengar itu dari Zafar, Zanira ingin tertawa karena kakaknya bisa menjadi seputus asa ini dalam menghadapi kisah cintanya.

“Kakak, bagi Tuhan tidak ada yang tidak mungkin. Kau bilang kakak ipar memiliki hati yang baik kan? Tapi kakakku ini juga memiliki hati yang tulus. Lalu kenapa Tuhan tidak membuat keduanya bersatu dan menjadi pasangan yang memilki hati yang baik dan tulus?”

Zanira mencoba meyakinkan hati kakaknya yang sepertinya mulai rapuh karena Tia yang tidak mencintainya. Zafar pun tersenyum mendengar apa yang Zanira katakan padanya. Sampai dia lupa bahwa tujuannya datang ke kamar Zanira adalah untuk meminjam baju miliknya untuk Tia.

“Sebenarnya kakak iparmu tidak membawa bajunya dari rumahnya, ibu tirinya tidak mengizinkan dia membawa apapun di rumahnya, jadi aku ingin kau pinjamkan beberapa baju milikmu untuknya,” pinta Zafar.

Zanira tidak keberatan dengan itu. “Baiklah, itu tidak masalah. Kau memiliki seorang adik perempuan jadi kau bisa meminjamnya. Akan aku pilihkan untuk kakak ipar,” kata Zanira dengan senang hati.

Perempuan itu kemudian membuka lemarinya dan memilihkan beberapa baju untuk Tia lalu memberikannya pada Zafar.

“Terimakasih Zanira, setelah aku bekerja nanti, aku akan membelikan baju untuk kakak iparmu.”

“Dan juga untukku,” tambah Zanira tidak ingin Zafar melupakannya.

“Hhahaha tentu saja,” kata Zafar sambil tertawa kecil.

Laki-laki itu lalu meninggalkan kamar Zanira dan kembali ke kamarnya untuk menemui Tia. Jahama melihat Zafar membawa beberapa baju Zanira dan curiga padanya.

“Untuk apa kau membawa baju-baju milik adikmu Zafar?” tanyanya sambil menghampiri anaknya itu.

Mendengar Jahama bertanya seperti itu dia meminta Jahama untuk berbicara padanya di ruang tamu saja supaya Tia tidak mendengarnya. Zafar takut ibunya akan mengatakan hal yang tidak baik lagi dan Tia mendengarnya.

“Kenapa kau menyuruhku ke sini?” protes Jahama dengan kesal.

“Sekarang katakan padaku kemana kau akan membawa baju-baju itu?” tanya Jahama lagi mengulangi pertanyaanya. 

Mau tidak mau Zafar harus menjelaskannya. "Ibu, Tia tidak membawa baju miliknya, dia tidak mungkin menggunakan baju milikku, jadi aku meminjamnya pada Zanira,” terang Zafar pada ibunya.

Jahama benar-benar heran padanyam "Aku sudah menduganya Zafar. Bahkan seseorang yang kabur dari rumah saja dia masih berpikir untuk membawa semua baju-bajunya. Dia menikah dan akan tinggal di rumah mertuanya, tapi kenapa dia tidak membawa semua bajunya? Perempuan apa itu?” 

Jahama benar-benar sangat heran dan tidak mengerti pada Tia. Pertama Tia datang tanpa membawa apapun dengan wajah menyedihkan dan luka-luka di tubuhnya. Jahama pikir dia akan mengambil barang-barangnya setelah itu. Tapi ternyata tidak.

“Ibu, aku mohon bicaralah dengan pelan. Aku tidak ingin Tia mendengarnya dan sakit hati karena ucapanmu ibu.”

“Oowh begitu ya? Sekarang kau terus saja membela dan meratukan istrimu itu. Aku ini ibumu Zafar, apa sekarang kau tidak akan menghormatiku lagi setelah kau menikah dengannya?” Jahama tidak terima dengan tanggapan Zafar padanya.

“Bukan begitu ibu, tolong mengertilah. Setelah menikah dan diusir dari rumahnya, Tia tidak memiliki siapapun ibu, dia hanya memiliki aku sebagai suaminya, siapa lagi yang akan membela dan peduli padanya? Setelah menikah aku tidak kehilangan apapun ibu, aku masih memiliki kelurgaku, rumahku, teman-temanku dan aku juga mendapatkan istri untukku. Lalu apa salahnya jika aku membantunya dengan semua ini ibu?”

Pembelaan Zafar untuk Tia sungguh membuat Jahama marah. “Kau memang tidak kehilangan rumahmu dan keluargamu Zafar. Tapi kau kehilangan pekerjaanmu karena wanita itu," terangnya menyalahkan Tia. "Selama ini pekerjaamu yang dapat menghidupi orang tua dan adikmu, tapi setelah menikahi wanita itu dan kehilangan pekerjaanmu, apa wanita itu bisa menghidupi kita?” tanya Jahama dengan kesal dan tidak menuruti permintaan Zafar untuk berkata pelan.

Untung saja Kamal mendengar istrinya berkata seperti itu dan menyuruhnya untuk diam. Kamal menyuruh Jahama untuk menyiapkan makan padanya supaya dapat menghentikan ceramah Jahama pada Zafar.

Meskipun dengan kesal, Jahama menuruti suaminya. Dia tidak terlalu berani menentang Kamal suaminya.

“Kau tidak perlu memikirkan ucapan ibumu itu. Apa yang kau katakan itu benar Zafar. Sekarang Tia hanya memilikimu, selain menjadi suami, kau harus menjadi teman yang baik untuknya,” tutur Kamal pada Zafar.

“Terimakasih ayah, hanya kau yang mengerti aku dengan lebih baik.”

“Jangan pikirkan ibumu yang berkata tidak baik, Tuhan pasti akan mengganti pekerjaanmu dengan lebih baik,” kata Kamal lagi mencoba membuat Zafar merasa tenang.

Setelah itu dia menyuruh Zafar untuk masuk ke kamarnya menemui Tia. 

Zafar hanya bisa berharap dia akan segera mendapatkan pekerjaan, ada banyak hal yang harus dia selesaikan dengan uang. Terutama untuk mewujudkan keinginan Tia yang ingin menemui ibunya. 

Keluarganya juga membutuhkan uang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Apalagi biaya kuliah Zanira, Tia harus menanggungnya.

Ada cita-cita adiknya yang harus ia bantu untuk mewujudkannya, ada orang tuanya yang menjadi tanggung jawabnya dan tentu saja ada kebahagiaan istrinya yang harus ia penuhi juga.

Zafar hanya berharap dia bisa melakukan semua tanggung jawab itu meski sekarang dalam keadaan yang sulit.

Sebelum masuk ke kamarnya, dia mencoba untuk memasang wajah tanpa masalah di depan Tia. Dia tidak ingin perempuan itu tahu masalahnya.

“Tia," panggil Zafar pada istrinya.  "Zanira meminjamkan beberapa bajunya untukmu, kau bisa mengganti pakaianmu dengan ini,” jelasnya sambil memberikan baju itu pada Tia.

“Itu tidak perlu Zafar. Katakan pada adikmu tidak perlu ikut mengasihaniku juga,” ucap Tia menolak dengan gaya judesnya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status