Mereka masih saling menatap ketika keheningan berubah jadi sesuatu yang lebih berat—bukan beban, tapi kesadaran. Bahwa malam itu… bisa jadi malam terakhir sebelum badai benar-benar datang.
Callista membenamkan wajahnya di dada Adrian, mendengarkan detak jantung pria itu yang masih cepat, tapi perlahan tenang. Ia tak ingin bergerak. Tak ingin waktu berjalan.“Aku harap waktu bisa berhenti,” bisiknya.Adrian mengusap punggungnya. “Kalau bisa, aku juga nggak mau semua ini berakhir.”Callista diam. Tapi tangan Adrian yang menyusuri punggungnya dengan pelan menyampaikan sesuatu yang lebih dalam dari kata-kata. Keheningan di antara mereka bukan lagi karena ragu, tapi karena apa pun yang bisa mereka ucapkan… tak cukup menggambarkan betapa berharganya saat itu.Adrian menunduk, mencium pelipisnya. “Aku akan tetap di sini.”Callista menarik napas pelan. “Aku tahu. Tapi dunia nggak akan diam.”“Kalau dunia mulai ribut, aku akan jaCallista masih menggenggam lengan Adrian saat mereka berdiri di tengah ruangan. Hening. Tak ada kata-kata yang segera muncul, tapi napas mereka terasa berat, padat oleh semua yang baru saja dihadapi. Adrian belum melepaskannya. Dan Callista belum ingin beranjak dari pelukannya. “Retak itu… parah?” tanya Callista, masih menempelkan kepalanya di dada Adrian. “Retak itu bikin gemetar,” bisik Adrian. “Tapi aku nggak pecah. Karena kamu di sini.” Callista mengangguk kecil. Ia memejamkan mata, mencoba meredakan detak jantungnya sendiri. Dan dalam dekapan itu, ia tahu: pria ini tidak hanya bertahan—dia sedang berjuang. “Dia bilang kamu akan kehilangan semuanya?” tanya Callista pelan, hampir takut. “Dia bilang begitu.” Adrian menarik napas dalam. “Tapi yang aku rasa… justru ini pertama kalinya aku benar-benar punya sesuatu.” Callista menatap matanya. “Kita nggak bisa pura-pura lagi, ya?” “Enggak.” Tatapan Adrian
Callista menatap Adrian lama, seolah ingin menghafal raut wajah itu sebelum badai benar-benar datang menghantam. Lalu ia menarik napas dalam-dalam, menunduk sebentar, dan ketika menatap lagi, matanya tidak lagi gemetar.“Kalau ada apapun yang terjadi… kamu tetap pulang ke aku, ya?”Adrian mengangguk. “Kamu rumahku.”Itu kalimat sederhana. Tapi di dada Callista, terasa seperti janji yang diukir dengan darah dan nyawa. Ia memejamkan mata, menenangkan dirinya sendiri—bukan untuk menghindari rasa takut, tapi untuk menerimanya dengan kepala tegak.Adrian menggenggam tangan Callista dan mengecup punggungnya. “Jangan takut. Kita udah terlalu jauh untuk mundur.”Callista menggigit bibir, lalu mengangguk pelan. “Kamu tahu kan… dia nggak akan diam.”“Aku tahu.”“Dia akan bikin segalanya kelihatan seolah kamu penghianat.”“Aku siap.”“Dia akan jadi korban yang pura-pura disakiti.”Adrian tersenyum tipis. Tapi tak ada lagi getir di sana. Hanya kelelahan.
Adrian memeluk Callista erat, seolah ingin melindunginya bahkan dari pikiran sendiri. Jari-jari gadis itu mencengkeram punggung kemejanya, wajahnya tertanam di dada pria yang kini menjadi satu-satunya tempatnya pulang.“Kalau dia datang padaku… kalau dia buatku jatuh di depan semua orang…” Callista menarik napas gemetar. “Kamu nggak akan diam aja, kan?”“Aku nggak akan diam.” Adrian menunduk, mencium ubun-ubunnya. “Amelia sudah terlalu lama memainkan peran jadi korban, padahal dia yang paling dulu menghancurkan semuanya.”Callista menatapnya. “Kamu yakin?”“Aku yakin. Dia bisa menuduh apa pun. Tapi aku juga punya suara. Dan kali ini… aku akan bicara.”Callista terdiam. Tapi sorot matanya berubah—lebih kuat, lebih tegas. Seolah keberanian Adrian mengalir ke dalam dirinya, menguatkan fondasi yang selama ini retak.Adrian menggenggam tangannya. “Aku tahu kamu takut. Tapi kamu nggak sendiri. Kalau dia cari perang… aku juga udah siap berdiri paling depan.”Cal
Mereka masih saling menatap ketika keheningan berubah jadi sesuatu yang lebih berat—bukan beban, tapi kesadaran. Bahwa malam itu… bisa jadi malam terakhir sebelum badai benar-benar datang.Callista membenamkan wajahnya di dada Adrian, mendengarkan detak jantung pria itu yang masih cepat, tapi perlahan tenang. Ia tak ingin bergerak. Tak ingin waktu berjalan.“Aku harap waktu bisa berhenti,” bisiknya.Adrian mengusap punggungnya. “Kalau bisa, aku juga nggak mau semua ini berakhir.”Callista diam. Tapi tangan Adrian yang menyusuri punggungnya dengan pelan menyampaikan sesuatu yang lebih dalam dari kata-kata. Keheningan di antara mereka bukan lagi karena ragu, tapi karena apa pun yang bisa mereka ucapkan… tak cukup menggambarkan betapa berharganya saat itu.Adrian menunduk, mencium pelipisnya. “Aku akan tetap di sini.”Callista menarik napas pelan. “Aku tahu. Tapi dunia nggak akan diam.”“Kalau dunia mulai ribut, aku akan ja
Adrian meraih wajahnya, mencium dahinya pelan. “Aku tahu.” Dia menekan tombol lift. Pintu lift menutup perlahan. Mereka berdiri, tubuh nyaris bersentuhan, menahan diri dari goyangan fisik tapi tidak dari kenyataan yang menekan. Ketika pintu tertutup sempurna, Callista membayangkan—ini adalah pintu terakhir yang bisa ia takutkan. Setelah itu, dunia bisa melangkah seperti biasa. Tapi hidupnya… tidak lagi. Adrian menarik napas dalam, mengulurkan tangan untuk Callista. Ia menggandeng gadis itu erat. Dan dalam gelap lift yang menyusut, suara detak jantung mereka terdengar jelas. Callista menggenggam tangan itu kuat. “Aku nggak kembali kalau kamu nggak ada.” Adrian menatap matanya. Gelombang mawar membuncah di dadanya. “Aku nggak akan ke mana-mana.” Ketika lift terbuka di ujung koridor, mereka melangkah keluar—masih bergandengan tangan, meski tak ada springboard terasa di bawah kaki. Hanya lantai din
Callista menatap mata Adrian. Dalam. Tegas. Dan untuk kesekian kali, ia merasa… bahwa cinta mereka bukan hanya tentang saling menyentuh, tapi saling memperjuangkan.“Kalau gitu… aku tetap di sini.”“Dan aku akan pastikan kamu bisa berdiri di sini, tanpa takut.”Callista mengangguk. Bibirnya gemetar sedikit. Tapi bukan karena takut. Karena ada kekuatan baru yang sedang tumbuh—dan ia tahu, badai memang akan datang, tapi kali ini, ia tidak sendirian.**Ruangan terasa hingar saat pintu diketuk. Callista dan Adrian saling pandang—untuk kali pertama dalam beberapa hari, ketegangan masuk ke ruang mereka.Pintu terbuka. Seorang mahasiswa masuk, membawa empat gelas kopi plastik.“Kahwin kupi, Pak Dosen,” ujar mahasiswa itu dengan nada santai. “Dan satu untuk Mbak Callista.”Adrian berdiri, meraih satu gelas. Callista menerima pula.“Terima kasih,” kata mereka bersama.Setelah mahasiswa itu pergi, kehen