Callista duduk di meja makan, tangan memegang cangkir teh yang belum sempat ia teguk. Tatapannya jatuh ke atas meja, tapi pikirannya tidak diam di sana. Di dalam dadanya, ada ribuan kemungkinan yang berseliweran—tapi tak satu pun mampu membuatnya mundur.
Adrian berdiri tak jauh darinya. Membaca gerak-gerik Callista seperti membaca puisi yang sudah lama ia hafal. “Kamu takut?” tanyanya pelan. Callista mengangguk, jujur. “Tapi lebih takut kalau harus pura-pura nggak takut.” Adrian berjalan mendekat, duduk di kursi seberangnya. Ia meraih tangan Callista, mengusapnya lembut. “Kita nggak akan pura-pura. Kita nggak perlu.” “Mereka akan bilang aku mahasiswa murahan. Mereka akan bilang kamu manipulatif.” “Mereka akan bilang banyak hal. Tapi yang kita tahu—cuma kita yang tahu.” Callista tersenyum lemah. “Aku siap kalau ini har“Kenapa kamu nggak pernah ragu sama aku?” suara Callista pelan, tapi tajam, seperti panah yang mencari sasaran paling jujur di dada Adrian.Pria itu sedang membuka laptop di meja kecil, jemarinya berhenti mengetik. Ia menoleh. “Karena kamu satu-satunya yang nggak pernah minta aku pura-pura.”Callista duduk menyandar, memeluk lutut. “Tapi kamu tahu aku bisa aja gagal. Bisa aja suatu hari nyerah.”“Tapi kamu belum nyerah sampai hari ini.” Adrian menutup laptopnya. “Dan itu cukup buat aku percaya.”Callista menunduk. Tak menjawab. Tapi di balik diamnya, ada dentuman pelan yang muncul: ia tidak sendiri lagi. Dan kepercayaan itu… tidak datang dari paksaan, tapi dari pilihan.Ia bangkit dan mendekat, lalu duduk di sisi Adrian. “Apa kamu pernah ngerasa… semua ini bisa hancur dalam sekali tebas?”“Setiap saat,” jawab Adrian, tak mencoba terdengar kuat. “Tapi aku juga sadar, hancur bukan berarti selesai. Kadang justru jadi mulai.”
Adrian memutar kunci mobil tanpa tergesa, membiarkan suara mesin menyala perlahan di bawah keheningan yang berat. Callista hanya diam di sampingnya, matanya masih menatap lurus ke depan—tapi pikirannya sudah kembali ke satu tempat yang tak pernah ia abaikan terlalu lama.“Ibu di rumah sendiri,” ucapnya pelan.Adrian meliriknya sejenak. “Kamu mau kita mampir dulu?”Callista mengangguk. “Aku nggak bisa tenang kalau belum lihat beliau.”Tanpa tanya lebih lanjut, Adrian mengarahkan mobil ke arah rumah tua di pinggir kota, tempat Callista tinggal bersama ibunya sejak dulu. Rumah itu tidak besar, tidak mewah, tapi selalu memiliki bau khas yang membuat Callista merasa—apa pun yang terjadi di luar sana—di sinilah akar dirinya.Saat mobil berhenti di depan pagar, Callista langsung turun. Tak perlu aba-aba. Ia melangkah cepat menuju pintu rumah, dibuka pelan, dan suara langkahnya menggema di lantai.“Ibu…”Suara dari dalam menjawa
Koridor kampus terasa lebih sempit dari biasanya. Bukan karena bangunannya berubah, tapi karena tatapan yang menyambut setiap langkah mereka. Bisik-bisik tak lagi malu-malu. Tapi tidak satu pun dari itu membuat Callista berhenti.Adrian tetap berjalan di sisi kirinya, tak sedikit pun menunjukkan ragu. Sorot matanya lurus, langkahnya mantap. Dan genggamannya pada tangan Callista tidak berubah—kuat, stabil, melindungi.Saat mereka berhenti di depan ruang kepala jurusan, Callista menarik napas dalam. Tapi sebelum Adrian sempat bicara, ia sudah lebih dulu berkata, “Aku ikut masuk.”Adrian menatapnya. Dalam. Sejenak, ia seperti ingin membantah. Tapi wajah Callista tidak menyisakan ruang untuk itu. Gadis itu tidak akan tinggal di luar. Bukan lagi.Pintu diketuk. Suara dari dalam mempersilakan mereka masuk.Ruangan itu sepi. Tegang, tapi bukan menghakimi. Kepala jurusan duduk di balik meja, diapit dua dosen etika. Tidak ada senyum. Tapi juga tid
Callista masih berbaring di dada Adrian. Tidak bergerak. Tidak bicara. Tapi dari cara napasnya yang menghangatkan kulit pria itu, Adrian tahu—ia sedang menyerap segalanya. Menyimpan detik-detik yang mereka punya, seolah waktu bisa mencurinya kapan saja.“Kalau aku hancur, kamu tetap mau pegang tanganku?” bisik Callista pelan.Adrian memejamkan mata. “Kalau kamu hancur, aku ikut pecah. Tapi setelah itu, kita bangun lagi. Bareng.”Callista mengangguk kecil. Kepalanya naik turun di dada pria itu. “Aku sering ngebayangin kamu waktu nggak ada aku. Kayak gimana hidupmu. Tapi sekarang aku sadar… aku nggak mau tahu. Karena yang aku pengen cuma satu: aku mau jadi bagian dari hari-harimu. Bahkan kalau hari itu buruk.”Adrian tersenyum samar. Ia meraih tangan Callista dan menaruhnya di atas dadanya. “Aku nggak punya hari baik sebelum kamu datang. Yang ada cuma rutinitas. Tanggung jawab. Dan kebohongan yang aku pelihara sendiri.”Callista tidak menjawab. Tapi jemarinya mengerat. Lalu mengusap dad
Callista menarik napas pelan, lalu menatap ke jendela yang buram. Di baliknya, dunia tetap berjalan. Tapi di sini, di ruangan sunyi itu, waktu seperti berhenti memberi tekanan. Hanya ada detak jantung. Hanya ada napas yang saling mendekat, mengisi kekosongan tanpa perlu kata-kata. “Aku nggak tahu besok akan kayak apa,” bisiknya. Adrian menoleh, menatapnya dengan mata yang sama seperti saat pertama kali mereka bicara lebih dari sekadar tugas. Mata yang tajam, tapi rapuh dalam diamnya. “Kita nggak harus tahu. Kita cuma perlu siap.” Callista mengangguk, meski hatinya gemetar. “Kalau mereka bilang aku salah…” “Kamu memang salah,” potong Adrian lembut. “Salah karena jatuh cinta sama orang sepertiku. Tapi kamu juga benar… karena kamu nggak lari.” Perlahan, Callista menggeser tubuhnya, menyandarkan kepala ke dada Adrian. Ia mendengar detak yang familiar—ritme yang dulu mengusik, lalu menenangkan, dan kini… jadi rumahnya. “Kalau aku bukan mahasiswamu… kamu tetap akan lihat aku?” Adrian
Callista masih berbaring di dada Adrian. Tidak bergerak. Tidak bicara. Tapi dari cara napasnya yang menghangatkan kulit pria itu, Adrian tahu—ia sedang menyerap segalanya. Menyimpan detik-detik yang mereka punya, seolah waktu bisa mencurinya kapan saja.“Kalau aku hancur, kamu tetap mau pegang tanganku?” bisik Callista pelan.Adrian memejamkan mata. “Kalau kamu hancur, aku ikut pecah. Tapi setelah itu, kita bangun lagi. Bareng.”Callista mengangguk kecil. Kepalanya naik turun di dada pria itu. “Aku sering ngebayangin kamu waktu nggak ada aku. Kayak gimana hidupmu. Tapi sekarang aku sadar… aku nggak mau tahu. Karena yang aku pengen cuma satu: aku mau jadi bagian dari hari-harimu. Bahkan kalau hari itu buruk.”Adrian tersenyum samar. Ia meraih tangan Callista dan menaruhnya di atas dadanya. “Aku nggak punya hari baik sebelum kamu datang. Yang ada cuma rutinitas. Tanggung jawab. Dan kebohongan yang aku pelihara sendiri.”Callista tidak menjawab. Tapi jemarinya mengerat. Lalu mengusap dad