“Itu dulu ketika aku masih remaja,” ucap Karina mulai lelah.
Sungguh, ia tidak mengerti dengan Saka yang terus menuduhnya tanpa alasan. Mengapa pria itu terus menilainya dengan buruk padahal tidak tahu kenyataannya seperti apa?
“Lepaskan aku, Saka!”
Namun, Saka hanya tersenyum miring. “Kenapa kau memanggilku seperti itu? Aku ini bosmu. Kenapa kau begitu lancang?"
"Kau harus diberi hukuman.” Saka lalu menarik tengkuk Karina dan menciumnya perlahan.
Syok, Karina jelas memberontak.
Ia terus memukul dada Saka agar melepaskannya. Namun, Saka malah semakin tertantang menaklukannya.
Saka kini mengusap pelan pinggang Karina dan menggigit pelan bibir Karina agar memberi akses lidahnya masuk.
Ketika berhasil, ia merasakan manis yang membuatnya candu.
Karina hanya mampu memejamkan mata kala bibir Saka terus menggodanya.
Dia hanya bisa mengepalkan tangan di bawah sana.
Ia sadar semua ini salah. Apalagi, jemari Saka sudah bergilya di balik punggungnya.
Tes!
Air mata Karina jatuh. Ia menangis.
“Pergilah.” Saka melepaskan Karina mendadak dan berjalan ke kursi kerjanya tanpa merasa bersalah.
Karina lantas mengusap air matanya dan pergi keluar.
Namun, ia dapat mendengar Saka yang berucap pelan. “Dia bertingkah seperti wanita baik-baik saja.”
~~~
Karina memilih diam setelah kejadian itu.
Jika disuruh melakukan sesuatu, Karina hanya menjawabnya dengan anggukan.
Wanita itu tidak pernah membalas apalagi membantah perkataan Saka.
Karina pun selalu menjaga jarak dengannya.
Terus demikian, bahkan sesampainya di Hongkong. Tepatnya, di sebuah hotel yang akan digunakan untuk menginap.
“Itu kamarmu,” tunjuk Ronald pada sebuah kamar, hingga Karina mengangguk.
Wanita itu lalu mengambil sebuah kunci akses kamar. Kemudian pergi ke kamarnya sendiri.
“Nanti malam jangan lupa kau harus ikut,” peringat Ronald.
Karina lagi-lagi mengangguk, kemudian benar-benar masuk ke dalam kamarnya.
“Kenapa dia seperti itu?” heran Ronald. Padahal, terakhir kali bertemu dengan Karina, wanita itu tidak semurung itu. Mungkin, ia terlalu lelah menghadapi Saka.
"Oh, iya di mana Pak Bos?" ucap Ronald heran yang tak menyadari bahwa Saka sudah lebih dulu pergi ke kamarnya.
Bahkan, pria itu sudah masuk ke dalam kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan shower. “Ini semua belum cukup. Aku harus benar-benar menghancurkannya.” Saka memukul tembok kamar mandi hotel cukup keras.
~~
Sesuai rencana, sebuah makan malam formal yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Karina sudah berada di samping Saka. Ia mengikuti perbincangan meskipun hanya mendengarkan.
Sebenarnya, Karina mengerti dan paham yang dibicarkan. Namun, ia sungguh malas jika harus bergabung.
Perbincangan antarpemimpin perusahaan menurutnya sangatlah berat.
Tidak jauh-jauh dari pembicaraan bisnis atau bagaimana strategi bisnis agar semakin berkembang.
“Terima kasih sudah datang jauh-jauh ke sini.”
Saka mengangguk. “Sebuah kehormatan bisa bertemu dengan Anda langsung.”
“Mengenai kerja sama yang akan dilakukan, akan dibahas lebih lanjut di kantor.”
Saka bersalaman dengan calon kliennya itu. Dia tampak tersenyum puas karena mendapat kepercayaan. Setelah kepergian klien, Saka segera melonggarkan dasinya dan melirik Karina yang asik makan.
“Apa jadwalku selanjutnya?”
“Bertemu klien di Paradise Klub,” jawab Karina dan Ronald bersama-sama.
Saka menaikkan salah satu alisnya. Karina dan Ronald nampak saling memandang, saling melemparkan senyum.
Karina pun minum air perlahan menyadari kompaknya dirinya dan teman seperjuangannya itu.
'Paradise klub…. Paradise klub…' batin Karina.
satu
dua
tiga
Karina melebarkan mata. “Saya ikut?” cicitnya perlahan.
Saka menatap tidak suka pertanyaan Karina. “Tugasmu mengikutiku ke manapun aku pergi. Kenapa kau tidak paham-paham juga?”
Karina menunduk. Bertanya saja, langsung diomeli tidak henti. Karina mengerucutkan bibirnya. Ia sungguh lelah. Berhadapan dengan Saka sama saja menguras mental. Ia harus sabar dengan omelan dan hinaan pria itu.
~~~
Hanya butuh beberapa menit menempuh perjalan ke Paradise klub.
Sebagai klub nomer satu yang ada di Hongkong, hanya kalangan atas yang bisa masuk.
Karina menatap pakaiannya sendiri. Tidak ada yang salah. Ia tidak kalah cantik dan seksi dengan wanita yang berada di klub.
Kakinya terus melangkah mengikuti ke mana pun Saka pergi. Sampai di sebuah ruangan tertutup, mereka akhirnya masuk.
“Saya Hao,” ucap Hao memperkenalkan diri.
“Saya Saka.”
Sebagai pebisnis properti terkenal di Hongkong, tujuan utama Saka bertemu dengan Hao adalah membeli tanah di sini.
Bukan hanya tanah, Saka juga ingin membeli beberapa bangunan. Mungkin Apartemen atau rumah.
Keduanya pun berbincang, sedangkan Karina terus mengangguk perlahan.
Orang-orang mungkin mengira dirinya benar-benar menyimak perbincangan mereka. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah Karina 99 % mengantuk 1 % menyimak.
“Saya akan mengirim foto bangunan dan tanah yang Anda inginkan,” ucap Hao pada akhirnya yang dibalas anggukan oleh Saka.
Secara cepat, mereka keluar dari ruangan. Beralih ke ruang terbuka di mana bisa menikmati musik dan minuman berakhohol.
Di panggung, terlihat ada beberapa wanita yang menari dengan tubuh yang hampir telanjang.
Semua orang bersulang. Karina juga mengangkat gelasnya yang sudah terisi dengan wine. “Cheers.”
Karina sudah meneguk habis minumannya. Ia berdiri kaku di samping Saka. Keinginannya untuk kembali minum sedang meningkat.
Ia tidak bisa minum dan berakhir mabuk.Karina tidak mau itu terjadi. Jadi, ia harus benar-benar menahan diri kali ini.
Namun, saat membuka mata, ia justru mendapati Saka yang mengisi penuh gelas miliknya kembali dengan wine.
“Cheers.” Saka mengangkat gelasnya di hadapan Karina.
“Saya—” Karina menggeleng pelan. Ia tidak berani membuat Saka marah. Untuk itu, ia mengangkat gelasnya juga. “Cheers.”
Oke, Karina mulai pusing.
Ia menatap sekitar dan berusaha mencari bantuan.
“Ronald,” panggilnya.
“Ya?” Ronald sediki mendekat agar bisa mendengar Karina lebih jelas.
“Hentikan aku jika aku ingin minum lagi.”
Ronald mengangguk. Ia memberikan jempolnya.
Karina menghela nafas berkali-kali. Ia masih berperang dengan dirinya sendiri. Sudah minum 2 gelas namun rasanya masih sangat haus. Alhasil ia mengambil gelasnya dan mengisinya.
Tiga empat… gelas.
Karina hendak mengambil minum lagi. Namun, pinggangnya ditarik seseorang mundur.
Gelasnya dan botol sengaja dijuahkan dari jangkauannya. Karina memandang Saka yang melakukannya. Pandangannya mulai mengabur. Ia sudah setengah mabuk.
Jangan tanyakan Ronald ke mana. Pria itu sudah bersama seorang wanita seksi dan cantik.
Asisten Saka itu berdansa dengan gembira di tengah keramaian manusia.
“Pak,” panggil Karina. “Apa aku boleh pulang?”
Saka menghembuskan asap rokoknya tepat di hadapan Karina. “Pulang ke mana?”
Karina mengibaskan tangannya untuk menghindar dari asap rokok Saka. “Pulang ke Apartemenku,” cicitnya.
Tanpa sadar, Karina juga tersenyum kecil. “Aku ingin tidur,” ucapnya seperti anak kecil. Ia juga memperagakan bagaimana ia tidur.
“Tidak.” Saka menaruh rokoknya, kemudian minum lagi.
“Anda sangat jahat,” cicit Karina. Ia menunduk lalu menopang dagu dengan kedua tangannya.
Karina memperhatikan Saka yang minum banyak namun tidak terlihat mabuk.
Jika berada di klub, Saka tibak bisa meninggalkan Rokok dan Wine. Karena menurutnya dua hal itu adalah keharusan yang tidak bisa ditinggal.
Saka pun menoleh.
Ia menatap Karina dari samping. Entah kenapa, semakin dipandang, Karina semakin cantik meskipun ia hanya hanya duduk dan melamun.
“Karina,” panggil Saka dengan suara berat.
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud