Bau tanah basah menguar dari sela-sela jendela yang sedikit terbuka. Kepalaku berat dan leherku terasa kaku ketika aku mencoba mengangkatnya. Semuanya gelap, tapi bukan gelap dalam mobil atau ruangan—ini gelap yang alami, kelam, dan diselimuti bisikan dedaunan.
Aku tersentak. Tubuhku terguncang pelan saat menyadari bahwa aku tidak berada di tempat semestinya. Tanah lembap di bawahku dan hawa malam yang menusuk membuktikan satu hal: aku sedang berada di hutan. "Apa yang terjadi? Bagaimana bisa?" gumamku pelan, lebih kepada diriku sendiri. Jantungku berdetak keras saat ini. Kilasan terakhir sebelum semuanya gelap kembali kepadaku. Veronica. Mobilnya. Minuman dingin yang ia tawarkan dengan senyum palsu yang terlalu ramah. Aku menerima gelas itu tanpa berpikir. Bodohnya aku. Panik merayapi tenggorokanku, membuat napasku tercekat. Aku mengaduk-aduk isi tas kecil yang untungnya masih menempel di bahuku. Tanganku gemetar saat menePagi menjalar ke sela-sela retakan dinding kayu, membawa cahaya hangat yang memukul wajahku pelan-pelan. Kelopak mataku berat, seperti semalam bukan hanya berisi air mata, tapi juga seluruh beban dunia. Ketika akhirnya aku membuka mata, suara burung-burung dan desiran angin menggantikan mimpi buruk yang samar-samar masih menggantung. Aku bangkit perlahan. Tenggorokanku kering, tubuhku kaku. Mata mengamati sekeliling, memastikan bahwa semuanya nyata. Masih di gubug itu. Masih sendiri. Langkah pertama terasa seperti berjalan di atas jarum. Kepalaku pening, dan ketika kulihat ponselku, layar hitam menatapku kembali—baterainya benar-benar habis. Tidak ada sinyal, tidak ada penunjuk arah, hanya aku dan suara alam yang tak memberi jawaban. Aku keluar dari gubug, cahaya pagi menampar wajahku lembut. Matahari menggantung malu-malu di balik dahan tinggi, dan dedaunan gemetar ringan ditiup angin. Langkahku pe
Aku terbangun oleh suara dentingan. Logam menyentuh logam. Mula-mula aku pikir itu mimpi—tapi lalu bau kaldu hangat menyelinap masuk, memeluk rongga hidungku. Mataku terbelalak. Aku masih di gubug. Tapi sekarang, ada suara. Perutku berteriak lebih cepat dari otakku. Dan sebelum aku sempat bertanya, suara pria yang kemarin terdengar pelan dari sisi belakang gubug. “Maaf aku membuatmu terbangun. Tapi kau harus makan.” Aku bangkit, reflek memeriksa kaki. Masih terasa nyeri, tapi lebih ringan. Balutannya diganti kain bersih, jauh lebih rapi daripada yang aku lakukan sendiri semalam. Pria itu muncul dari balik tirai lusuh yang aku pikir hanya dekorasi. Dia membawa semangkuk kaldu panas dan dua potong roti pipih yang terlihat dibakar dengan sisa-sisa api unggun. “Aku tidak tahu kau alergi apa saja,” katanya. “Tapi ini sayuran. Aku memetik sendiri. Aman. Aku sudah makan setengah mangkuk.”
Langit belum sepenuhnya biru saat suara dedaunan basah menyapa telingaku. Aku terbangun dengan tubuh masih lelah, tapi gelisah yang menggerogoti lebih kuat dari kantuk. Corin sudah berdiri di depan gubug, menatap ke arah pepohonan yang memanjang seperti lorong tanpa ujung."Ada jalur ke utara. Beberapa kilometer dari sini ada batu besar, di situ sinyal kadang muncul," katanya tanpa menoleh.Aku merapatkan jaket yang bahkan bukan milikku—miliknya, sebenarnya. Sudah kering karena semalam dipanaskan dekat lilin kecil. Aku mengangguk. "Berapa jauh?""Tiga atau lima. Tergantung langkah kita. Tapi kau harus kuat."Kami berjalan tanpa banyak bicara. Aku tidak tahu harus menaruh kepercayaan di mana. Corin bukan orang jahat—setidaknya belum—tapi dari caranya tahu banyak hal, dari caranya memetakan rute dengan percaya diri, aku mulai berpikir: pria ini bukan kebetulan.Aku menyeka keringat yang menetes dari pelipis. Kaki kiriku masih terasa sakit w
“Kalau aku tidak keluar lagi, jangan tunggu aku.”Suara Corin barusan masih menggantung di udara, dan aku tidak sempat menjawab apa-apa. Satu tangan memegang pistol, tangan lainnya menunjuk celah di sisi kanan gua. Jalan setapak kecil, nyaris tersembunyi oleh semak-semak rimbun. “Jalan itu aman. Ikuti terus sampai kau menemukan jalan besar,” katanya singkat.Aku masih ragu. “Tapi kau?”Corin tersenyum samar. “Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Kau harus selamat. Aku beruntung bisa bertemu denganmu, bahkan tanpa tahu namamu.”Suaranya tenang, tapi sorot matanya mengatakan hal lain. Seolah dia tahu bahwa waktu kami habis.Aku tak bisa menolak lebih lama. Sesuatu di luar sana, sesuatu yang suaranya menyerupai Lucian, sudah dekat. Dan apa pun itu, aku tahu bukan dia bukan suamiku. Mungkin itu hanya jebakan akal, mungkin hanya permainan sinis. Tapi Corin jelas—dia akan menghadapinya sendiri.Aku lari. Tak menoleh.
Aku tidak diundang ke sini, dan aku tidak peduli. Kuperhatikan ruangan yang penuh dengan suara tawa dan ucapan selamat yang berulang-ulang. Gaun mahal berkibar saat para tamu bergerak, menyesap sampanye dan menikmati kemewahan pesta yang seharusnya tidak pernah terjadi. Aku berdiri di tengah ruangan, jantungku berdegup kencang, jemariku mencengkeram gelas anggur yang dingin. Untungnya, mereka tidak menyadari kehadiranku. Mataku sontak tertuju pada sosok pengantin pria, Damien Vaughn. Dulu, aku berpikir nama itu akan menjadi bagian dari hidupku selamanya. Tapi sekarang, dia berdiri di sana, mengenakan setelan hitam sempurna dengan dasi putih, tersenyum kepada wanita yang kini menjadi istrinya. Celeste Moreau. Wanita dengan nama belakang yang lebih berarti dalam dunia bisnis daripada milikku. Aku seharusnya menjadi orang yang berdiri di sisinya. Aku seharusnya yang mengenakan gaun pengantin itu. Tapi tidak—karena baginya, aku tidak cukup baik. Aku mengangkat gelas anggurku, men
Aku masih terdiam di kursi penumpang saat mobil Lucian melaju menembus malam. Jalanan lenggang, hanya lampu kota yang berpendar di kejauhan. Di dalam mobil yang hening ini, pikiranku justru riuh. Apa yang baru saja kulakukan? Aku menerima tawaran pria ini—tanpa benar-benar tahu apa konsekuensinya. Lucian duduk di sampingku dengan ekspresi dingin, tangannya tetap di kemudi dengan tenang, seolah dia tidak baru saja menyeretku keluar dari kekacauan. Aku meliriknya sekilas, mencoba mencari petunjuk dalam ekspresinya, tapi yang kutemukan hanya ketenangan yang mengintimidasi. "Kau diam saja sejak tadi," katanya tanpa menoleh. Aku menggigit bibir, mengatur napas sebelum menjawab. "Aku masih mencoba memahami ... apa yang sebenarnya terjadi." Dia mengeluarkan suara kecil, hampir seperti tawa sinis. "Sederhana. Aku menyelamatkanmu dari penghinaan, dan kau menerima kesepakatanku. Sekarang, kau harus mempersiapkan diri." Aku mengerutkan kening. "Mempersiapkan diri untuk apa?" Lucian a
Aku duduk di sudut sofa, menggenggam cangkir teh hangat yang diberikan pelayan apartemen Lucian. Tanganku masih sedikit gemetar, tapi bukan karena suhu minuman ini—melainkan karena aku masih belum bisa memproses sepenuhnya apa yang baru saja terjadi dalam hidupku. Pernikahanku dengan Damien telah hancur sebelum sempat dimulai, dan sekarang aku terjebak dalam pernikahan lain—dengan seorang pria yang sama sekali tidak kukenal. Lucian Devereaux. CEO dingin dengan tatapan yang mampu membuat siapa pun tunduk dalam hitungan detik. Lucian duduk di seberangku, membaca sesuatu di tabletnya dengan ekspresi tanpa emosi. Kami belum berbicara lagi sejak percakapan singkat tadi. Suasana di antara kami terasa begitu canggung, seolah-olah ada jurang tak kasat mata yang memisahkan kami. Aku memutuskan untuk mengakhiri keheningan lebih dulu. "Jadi ... apa yang terjadi sekarang?" Lucian tidak langsung menjawab. Dia meletakkan tabletnya di meja dan menatapku. "Sekarang, kita akan mulai menyesuaik
Saat lift bergerak naik, aku bisa merasakan tekanan di dadaku semakin berat. Tanganku masih dalam genggaman Lucian, tetapi bukan kehangatan yang kurasakan—melainkan cengkeraman kekuasaan. Dia tidak hanya menggandengku. Dia sedang memperlihatkanku pada dunia sebagai miliknya. Pintu lift terbuka dengan bunyi nyaring. Lantai eksekutif. Interior di sini terasa berbeda dari lobi di bawah. Lebih sepi, lebih eksklusif. Karpet lembut meredam suara langkah kaki, tetapi keheningan yang menggantung di udara jauh lebih menusuk. Beberapa pria dan wanita dalam setelan mahal menoleh saat kami lewat. Beberapa berbisik satu sama lain, beberapa hanya menatap tajam dengan ekspresi tak terbaca. Aku tidak perlu menebak siapa mereka. Dewan direksi. Orang-orang yang memiliki pengaruh besar dalam perusahaan ini—dan mereka semua sekarang melihat ke arahku. Seorang pria tua dengan rambut perak rapi berdiri dari kursinya saat kami memasuki ruang rapat. “Lucian,” katanya dengan nada penuh wibawa. “Ka
“Kalau aku tidak keluar lagi, jangan tunggu aku.”Suara Corin barusan masih menggantung di udara, dan aku tidak sempat menjawab apa-apa. Satu tangan memegang pistol, tangan lainnya menunjuk celah di sisi kanan gua. Jalan setapak kecil, nyaris tersembunyi oleh semak-semak rimbun. “Jalan itu aman. Ikuti terus sampai kau menemukan jalan besar,” katanya singkat.Aku masih ragu. “Tapi kau?”Corin tersenyum samar. “Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Kau harus selamat. Aku beruntung bisa bertemu denganmu, bahkan tanpa tahu namamu.”Suaranya tenang, tapi sorot matanya mengatakan hal lain. Seolah dia tahu bahwa waktu kami habis.Aku tak bisa menolak lebih lama. Sesuatu di luar sana, sesuatu yang suaranya menyerupai Lucian, sudah dekat. Dan apa pun itu, aku tahu bukan dia bukan suamiku. Mungkin itu hanya jebakan akal, mungkin hanya permainan sinis. Tapi Corin jelas—dia akan menghadapinya sendiri.Aku lari. Tak menoleh.
Langit belum sepenuhnya biru saat suara dedaunan basah menyapa telingaku. Aku terbangun dengan tubuh masih lelah, tapi gelisah yang menggerogoti lebih kuat dari kantuk. Corin sudah berdiri di depan gubug, menatap ke arah pepohonan yang memanjang seperti lorong tanpa ujung."Ada jalur ke utara. Beberapa kilometer dari sini ada batu besar, di situ sinyal kadang muncul," katanya tanpa menoleh.Aku merapatkan jaket yang bahkan bukan milikku—miliknya, sebenarnya. Sudah kering karena semalam dipanaskan dekat lilin kecil. Aku mengangguk. "Berapa jauh?""Tiga atau lima. Tergantung langkah kita. Tapi kau harus kuat."Kami berjalan tanpa banyak bicara. Aku tidak tahu harus menaruh kepercayaan di mana. Corin bukan orang jahat—setidaknya belum—tapi dari caranya tahu banyak hal, dari caranya memetakan rute dengan percaya diri, aku mulai berpikir: pria ini bukan kebetulan.Aku menyeka keringat yang menetes dari pelipis. Kaki kiriku masih terasa sakit w
Aku terbangun oleh suara dentingan. Logam menyentuh logam. Mula-mula aku pikir itu mimpi—tapi lalu bau kaldu hangat menyelinap masuk, memeluk rongga hidungku. Mataku terbelalak. Aku masih di gubug. Tapi sekarang, ada suara. Perutku berteriak lebih cepat dari otakku. Dan sebelum aku sempat bertanya, suara pria yang kemarin terdengar pelan dari sisi belakang gubug. “Maaf aku membuatmu terbangun. Tapi kau harus makan.” Aku bangkit, reflek memeriksa kaki. Masih terasa nyeri, tapi lebih ringan. Balutannya diganti kain bersih, jauh lebih rapi daripada yang aku lakukan sendiri semalam. Pria itu muncul dari balik tirai lusuh yang aku pikir hanya dekorasi. Dia membawa semangkuk kaldu panas dan dua potong roti pipih yang terlihat dibakar dengan sisa-sisa api unggun. “Aku tidak tahu kau alergi apa saja,” katanya. “Tapi ini sayuran. Aku memetik sendiri. Aman. Aku sudah makan setengah mangkuk.”
Pagi menjalar ke sela-sela retakan dinding kayu, membawa cahaya hangat yang memukul wajahku pelan-pelan. Kelopak mataku berat, seperti semalam bukan hanya berisi air mata, tapi juga seluruh beban dunia. Ketika akhirnya aku membuka mata, suara burung-burung dan desiran angin menggantikan mimpi buruk yang samar-samar masih menggantung. Aku bangkit perlahan. Tenggorokanku kering, tubuhku kaku. Mata mengamati sekeliling, memastikan bahwa semuanya nyata. Masih di gubug itu. Masih sendiri. Langkah pertama terasa seperti berjalan di atas jarum. Kepalaku pening, dan ketika kulihat ponselku, layar hitam menatapku kembali—baterainya benar-benar habis. Tidak ada sinyal, tidak ada penunjuk arah, hanya aku dan suara alam yang tak memberi jawaban. Aku keluar dari gubug, cahaya pagi menampar wajahku lembut. Matahari menggantung malu-malu di balik dahan tinggi, dan dedaunan gemetar ringan ditiup angin. Langkahku pe
Bau tanah basah menguar dari sela-sela jendela yang sedikit terbuka. Kepalaku berat dan leherku terasa kaku ketika aku mencoba mengangkatnya. Semuanya gelap, tapi bukan gelap dalam mobil atau ruangan—ini gelap yang alami, kelam, dan diselimuti bisikan dedaunan. Aku tersentak. Tubuhku terguncang pelan saat menyadari bahwa aku tidak berada di tempat semestinya. Tanah lembap di bawahku dan hawa malam yang menusuk membuktikan satu hal: aku sedang berada di hutan. "Apa yang terjadi? Bagaimana bisa?" gumamku pelan, lebih kepada diriku sendiri. Jantungku berdetak keras saat ini. Kilasan terakhir sebelum semuanya gelap kembali kepadaku. Veronica. Mobilnya. Minuman dingin yang ia tawarkan dengan senyum palsu yang terlalu ramah. Aku menerima gelas itu tanpa berpikir. Bodohnya aku. Panik merayapi tenggorokanku, membuat napasku tercekat. Aku mengaduk-aduk isi tas kecil yang untungnya masih menempel di bahuku. Tanganku gemetar saat mene
“Saya turun di sini saja,” ucapku pada sopir taksi ketika mobil melewati sudut jalan tempat toko bungaku berdiri. Hujan masih belum turun, meski langit sudah menggelap sejak pagi. Di luar, angin bertiup pelan, menyapu dedaunan yang mulai menguning. Hari libur ini tidak berjalan seperti yang kubayangkan—tidak ada olahraga pagi bersama Lucian, dan tentu saja, tidak ada ketenangan.Aku melangkah masuk ke toko. Aroma bunga mawar putih menyambutku, dan suara lonceng kecil di pintu membuat Margaret yang sedang merangkai bunga menoleh cepat.“Seraphina?”“Margaret,” jawabku sambil tersenyum. “Kukira aku mampir sebentar. Sudah lama juga aku tidak ke sini.”Margaret langsung meletakkan gunting bunganya dan menepuk-nepuk kedua tangannya. “Wah, lihat siapa yang datang. Madam Fleur DeVere sendiri. Masih ingat tempat ini, rupanya.”Aku terkekeh pelan dan menyender ke meja kasir. “Tentu saja. Ini rumahku sebelum semua menjadi rumit.”
Hari libur seharusnya menjadi momen paling kutunggu—terutama jika bisa dimulai dengan wajah Lucian yang masih mengantuk dan rambutnya yang berantakan di atas bantal. Tapi pagi ini, tempat tidur terasa terlalu besar. Terlalu sunyi.Lucian berangkat kerja lebih awal. Dia bahkan tidak sempat sarapan."Hanya ada satu rapat penting," katanya saat mencium dahiku di ambang pintu. "Aku akan pulang cepat."Ya, tentu saja. Satu rapat penting, seperti kemarin. Dan hari sebelumnya.Kupaksakan tersenyum sambil menyeruput kopi. Biasanya kami akan ke gym bersama, lalu sarapan sambil berdebat kecil soal playlist lagu siapa yang lebih menyebalkan. Tapi pagi ini hanya ada suara jam dinding dan desahan angin dari jendela.Kupikir aku akan menghabiskan hari ini menonton drama Korea sambil mengenakan kaos bekas Lucian.Sampai ponselku berdering."Haelyn Devereaux".Nama yang muncul di layar membuat tenggorokanku tercekat. Kutatap la
Cahaya sore mengalir pelan melalui jendela kaca kafe kecil di sudut kota, membentuk siluet tenang di atas meja kayu bundar tempat aku duduk. Jemariku melingkar di cangkir teh yang mulai kehilangan panasnya, tapi aku nyaris tak menyadari itu. Pikiranku terlalu sibuk menimbang. Bertanya. Menebak-nebak.Dia sudah lima belas menit terlambat.Dan aku masih di sini.Bukan karena aku tak punya pilihan. Tapi karena rasa ingin tahu adalah jebakan yang manis sekaligus berbahaya.“Maaf, aku terlambat.”Suara itu membuatku menoleh. Pria itu berdiri di dekat meja dengan jaket hitam dan wajah yang lebih tirus dari yang kuingat dari foto-foto skandal yang dulu sempat beredar. Tak ada aura menggoda, tak ada karisma gelap seperti yang pernah digembar-gemborkan media. Yang kulihat hanya lelah.“Xander?” tanyaku, meski aku sudah tahu jawabannya.Dia mengangguk, lalu duduk dengan kikuk. Matanya bergerak cepat, menghindari tatapanku.
Langit siang itu sedikit mendung, tapi hangat. Angin dari laut membawa aroma asin yang terasa familiar. Aku memarkir mobilku di dekat dermaga kayu tua, tempat yang beberapa bulan lalu menjadi pelarianku. Saat dunia terasa seperti runtuh di bawah kakiku, aku pernah berdiri di sini, tak tahu harus ke mana. Tapi seseorang waktu itu menghentikanku. Seorang pria asing dengan mata penuh dunia. Hari ini aku kembali ke pantai itu. Bukan karena aku ingin melarikan diri, tapi karena aku ingin mengucapkan terima kasih. Untuk seseorang yang tidak kutahu namanya, tapi entah kenapa masih membekas dalam ingatanku seperti bekas luka yang tidak menyakitkan, hanya mengingatkan. Butuh waktu lima belas menit berjalan menyusuri pasir sebelum aku melihat sosoknya. Duduk di bangku kayu reyot, membelakangi laut, seperti sebelumnya. Diam, tenang, nyaris seperti batu karang itu sendiri. Aku ragu. Tapi akhirnya aku melangkah. Langkahku pelan agar tidak mengejutkannya, meski aku tahu—entah bagaimana—dia pasti