Chloe mengerang pelan saat mengecek sisa saldo tabungannya. Jumlahnya tidak seberapa dibandingkan angka yang tertera di kertas itu. Chloe menghela napas dalam-dalam, di sampingnya Alex sudah tidur di sofa.
Chloe tidak mau Alex terhenti, tidak ketika pendidikannya sudah hampir selesai. Dia berdiri, berjalan pelan dan membuka pintu menuju balkon. Dilihatnya bintang-bintang yang berarak, jumlahnya ribuan dan Chloe berdecak lagi. “Seandainya aku memiliki uang sebanyak jumlah kalian di langit,” katanya pelan.
Tak akan ada yang berani meminjamkan uang sebanyak itu padanya. Teman-temannya tahu bagaimana kondisi Chloe, jadi harapan itu turut dicoretnya dalam hati. Chloe memegang ponselnya, dia menggeser nama-nama di layar.
Dia tergoda untuk menelepon Bibinya, tapi diurungkannya niat itu cepat-cepat. Tidak. Chloe bisa melakukannya sendiri. Dia tidak akan meminta bantuan mereka.
“Siapa yang akan bisa membantuku?” gumamnya pelan, lalu matanya terhenti pada satu nama.
Nash Sulivan.
Nama pria itu tak pernah benar-benar dihapus Chloe dari ponselnya. Dia ingat, dia mendapatkan kontak pribadi Nash diam-diam dari data siswa ketika salah satu guru memintanya untuk mengantar sesuatu ke ruang guru. Tapi sejak Chloe menyimpannya di ponsel, Chloe tak pernah benar-benar menghubungi Nash.
“Apa kabarmu sekarang?” Dia bergumam pelan, air mata itu mengalir jatuh.
Walau Chloe mengaku penolakan Nash yang berbalut penghinaan membuat harga dirinya musnah, Chloe tidak bisa menutupi jika Nash selalu mendapatkan satu tempat khusus dalam hatinya. Mungkin karena efek cinta pertama, mungkin karena kegagalan, entahlah.
Keesokan harinya Chloe kembali bekerja seperti biasa, Alex juga kembali ke kampusnya untuk mengurus beberapa hal. Tapi sepanjang rapat, lalu pertemuan dengan klien, hingga rapat kedua di sore hari, Chloe tak bisa fokus.
Di otaknya hanya ada: $350.000 dan tenggat waktu satu minggu.
“Satu hari akan berlalu,” gumamnya pelan pada dirinya sendiri. “Kini hanya tersisa enam hari lagi.”
“Apa kalian mendengarnya?” Salah satu rekan kerjanya seperti biasa membuka gosip baru sebelum jam pulang kerja. “Nash Sullivan kembali ke kota ini. Dia benar-benar pulang!”
“Ya, aku baru membaca kabarnya tadi pagi. Rasanya mendebarkan melihat pesona pria matang seperti dia. Dan jangan lupa jika Nash kini melejit menjadi orang paling kaya dengan aset triliunan dollar, dan paling berpengaruh. Astaga, aku penasaran wanita mana yang sanggup menggoyahkan perasaannya.”
“Gosip mengatakan dia mengalami penyimpangan di bagian bawah sana,” bisik yang lain sambil menahan tawa cekikikan. “Katanya, dia menyukai pria.”
“Hah? Artinya, harapanku musnah?”
“Bagian ‘itu’ tak bisa berfungsi, jadi lebih baik kamu mencari pria lain.”
Chloe nyaris tertawa. Bahkan sampai sekarang, Nash masih menjadi impian banyak wanita. Banyak yang ingin menjadi pendampingnya, tapi Chloe tahu, Nash normal. Bisa jadi itu hanya sebuah gosip tak berdasar. Siapa yang tahu kehidupan pribadi Nash? Mungkin saja, ada ratusan wanita yang naik turun ranjangnya berulang kali.
“Tapi ku dengar dia ke luar negeri untuk pengobatan ibunya. Ckk! Dia cukup malang, bukan?”
Chloe melirik. “Benarkah?”
“Kau tidak membaca beritanya, Chloe? Sepuluh tahun lalu, ibunya mengalami kecelakaan yang membuatnya koma sampai sekarang. Tapi,” Rekan kerjanya memberi kode supaya Chloe mendekat, “katanya itu percobaan pembunuhan.”
Chloe terkejut. “Percobaan pembunuhan?”
“Ya. Tapi sampai sekarang, belum terungkap siapa pelakunya dan juga motifnya. Aneh bukan? Bahkan sekelas Oasis Corp tak mampu mengungkap semua ini.”
Tentu saja itu aneh, atau lebih tepatnya tidak masuk akal. Nash memiliki banyak koneksi, atau lupakan soal koneksi, dia bahkan bisa menemukannya sendiri. Kenapa kasus ini dibiarkan sepuluh tahun terpendam begitu saja?
“Sudahlah, tidak ada gunanya mengurus pria yang kenyataannya hidupnya jauh lebih menyenangkan dari kehidupan kita,” kata temannya lagi. “Chloe, sampai bertemu besok.”
Sepulang kerja, Chloe memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Dia berhenti di sebuah bangunan pencakar langit dengan dinding kaca mengelilinginya. Gedung itu milik Oasis Corp, Chloe membaca jika Nash membelinya tahun lalu.
‘Dia memiliki aset triliunan dollar’, Chloe kembali teringat dengan pembicaraan rekan kerjanya. Dia menghela napas dalam-dalam. $350.000 bukan apa-apa bagi Nash, seandainya Chloe meminta bantuannya. Tapi tidak mungkin. Masih segar dalam ingatan Chloe bagaimana Nash menolaknya, bahkan menghinanya.
“Dia bahkan menyuruhku melihat diriku sendiri di cermin,” gerutu Chloe, dadanya masih sakit jika mengingat itu semua. “Memangnya kau sendiri bagaimana?”
Chloe menarik napas lagi. Dia mendongak, menatap bangunan itu hingga ke lantai akhir, lalu memutuskan pergi dari sana. Tapi ketika dia membalik badan, tatapannya terpaku pada seseorang, sosok yang terasa tidak nyata, tapi sedang berdiri di sana.
“Nash?” Suara Chloe nyaris tak terdengar.
Pria itu ada di sana, dengan jas hitam senada dengan bawahannya, menyatu dengan gelapnya malam. Dia tidak tersenyum, tidak menunjukkan wajah ramah. Chloe tahu, dia masih Nash yang sama seperti 10 tahun lalu.
Chloe menelan ludah. Sudah bertahun-tahun, tapi kehadiran Nash masih mampu membuat jantungnya berdetak tak teratur, entah kaerna gugup, takut, atau kebencian yang sepenuhnya belum padam. Chloe tahu Nash tidak akan lupa dengan pengakuan cintanya dulu.
Mungkin Nash masih menganggapnya sebagai Chloe yang berusia 16, tapi segalanya sekarang berubah. Chloe tidak membutuhkan cinta, tidak memiliki keinginan yang menggebu terhadap lawan jenisnya, sekalipun itu seorang Nash Sullivan.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Chloe ketika dia memutuskan pergi dari sana. Tapi saat dia baru melangkah tiga langkah, suara berat itu mengalun di telinga.
“Aku pikir aku salah melihat, ternyata benar kau!”
Chloe berbalik lagi, dia tersenyum. “Siapa aku?”
Mereka saling menatap dalam diam, lalu Nash tersenyum miring dan sinis. “Chloe Lynn, kau tidak berpikir aku akan melupakan wajahmu bukan?”
“Aku tersanjung kau mengingatku.” Chloe mencoba tenang. Wajah Nash terlalu mengintimidasi, dan senyum itu... Dia berbahaya, pikir Chloe.
“Kenapa kau ada di sini?”
Well, aku berdiri di sisi jalan, bukan gedung milikmu. Semua orang bisa ada di sini, bukan?
“Hanya berjalan-jalan,” sahut Chloe enggan. “Kalau begitu, aku pergi dulu.”
“Kau tidak sedang menghindariku karena masa lalu, bukan?”
Langkah Chloe kembali terhenti, tangannya mengepal kuat. Dia berbalik, tersenyum dengan kaku. “Masa lalu hanyalah masa lalu, siapa yang tidak melakukan kesalahan ketika muda?”
“Kesalahan?” Kening Nash mengernyit. “Kau berpikir jatuh cinta padaku adalah kesalahan?”
“Jatuh cinta bukan kesalahan. Tapi padamu,” Chloe menunjuk ujung rambut Nash hingga ke kakinya, “kaulah kesalahan itu. Kau menolakku dengan cara paling kejam yang bisa dipilih seorang pria, di depan seluruh teman-temanmu.”
Nash melirik sekilas, ekspresinya tak terbaca. “Dan kau pikir aku menyesal? Tidak Chloe. Aku tidak pernah menyesal menolak seorang gadis yang memakai air mata untuk menarik simpati.”
Dada Chloe kembali dipenuhi rasa sesak dan sakit hati. Rahangnya mengetat, pertemuan bodoh ini meninggalkan penyesalan padanya. “Kau tak tahu apa pun soal air mataku. Dan aku tidak pernah mengambil simpati padamu. Tidak dulu, tidak sekarang atau di masa depan.”
Nash tertawa kecil, mengejek rasa percaya diri Chloe. Tunggu hingga kau berlutut meminta pertolongan dariku, wanita munafik. Kau akan tahu bagaimana rasanya menelan ludahmu sendiri. “Aku mungkin tidak tahu kau bagaimana dulu, tapi sekarang, aku tahu banyak!”
Sepi menggantung ditengah mereka. Nash menggaruk kepalanya. “Benarkah? Aku tidak ingat bagian itu.”Chloe terhenyak, tangannya mengepal di balik gaun pendek yang dipakainya. Tapi tangan kekar Nash langsung menggenggamnya, diam-diam, tanpa melirik Chloe. Dia terus bertatap muka dengan Daisy seolah dia sedang memfokuskan dirinya pada wanita itu.Jangan bilang kau berbohong padaku, pinta Chloe dengan lirih dalam hati ketika dia menemukan ekspresi Nash yang datar. Jangan bilang keputusanku untuk memulai lagi sejak awal denganmu adalah sebuah kesalahan.Tolong, Nash.Jika kau menghancurkanku sekarang, aku tidak bisa percaya padamu lagi selamanya, dan aku akan bercerai darimu.“Kita bahkan ...” Daisy mulai bertingkah panik. “Kau ...”“Aku kenapa?” Nash mengangkat alis.Air mata Daisy kembali jatuh, dia menggeleng, menangis sesenggukan. Mila mengernyit, mulai merasa jengah dengan tingkah Daisy. Dan melihat Nash juga Adrian bahkan tidak melakukan apa pun pada wanita ular itu membuat emosi dal
Nash menyerbu masuk ketika Chloe hendak menutup pintu kamar mandi. Pria itu menatapnya dengan mata sensual, seolah sudah tidak sabar untuk menunggu hal yang ditahannya selama ini. Namun Chloe tahu, dia baru saja kehilangan janin dan melewati proses kuretase.Dia tidak bisa mewujudkan hasrat Nash, dan dia belum siap.“Kau mau apa?” Chloe mendelik.“Kita mandi berdua saja, lebih cepat!”“Kau mau cepat? Kau bisa mandi lebih dulu.”Nash berdecak, dia menyandarkan tubuhnya di sisi pintu kamar mandi. “Kau pikir aku buru-buru?”“Jadi?” Chloe pura-pura tidak mengerti. “Adrian dan yang lain ada di bawah. Kau ingin menemani mereka, kan?”“Mereka bisa menunggu, Chloe,” gumam Nash putus asa.“Lalu?” Alis Chloe naik.Nash mendorong Chloe lalu menutup pintu kamar mandi dengan cepat. Dia menangkup wajah gadis itu, menciumnya lagi dan mendorong tubuh Chloe hingga menempel di dinding. Tangannya dengan cepat meraih kancing gaun Chloe tapi gadis itu menghentikannya.“Kau tidak menginginkannya?” bisik Na
Petir menyambar cukup dekat, menciptakan cahaya lebih terang selama beberapa detik, mengalahkan sinar matahari yang terhalang awan-awan gelap. Chloe dan Nash masih berdiri berhadap-hadapan, jarak diantara mereka makin tertutup usai Chloe memberikan penawaran pada Nash.Tidak ada perceraian.Tidak ada perpisahan.Semuanya akan kembali seperti awal.“Tentu saja.” Chloe menghela napas, melihat Nash justru tidak bereaksi apa-apa. “Jika kau menginginkan Daisy, kau bisa menceraikanku secepatnya.”Nash mengernyit. “Kenapa kau membawa nama Daisy?”“Oh? Aku lupa, kau adalah tiang penyangga gadis itu. Aku tak bisa menyebut namanya tanpa izinmu,” dengus Chloe makin kesal.Nash tersenyum, untuk pertama kali sejak kemarin dia mengetahui kebenaran itu. Ditariknya pinggang Chloe untuk memupus jarak diantara mereka sampai tubuh gadis itu menempel padanya. Nash menatap wajah Chloe yang damai dan tenang, tangannya perlahan naik untuk menggantikan gadis itu memegang payung.Tangannya meraba punggung Chl
Gerimis perlahan turun. Bunyi guruh sahut menyahut di langit, awan hitam bergulung malas menaungi tempat pemakaman khusus yang telah disiapkan oleh Nash beberapa tahun lalu. Berada di atas perbukitan, hanya ada makam ibunya di sana, berikut makam dirinya sendiri yang juga telah disiapkan Nash.Foster dan Helena tidak terlihat di sana, hanya ada Eross, juga Alex, Adrian, Mila dan Chloe. Gadis itu memastikan dirinya tetap berada di sisi Nash, berusaha menjadi titik tumpuan pria itu di fase terendahnya.Nash tidak banyak bicara. Pun setelah peti diturunkan dan petugas menutup liang lahat, pria itu tetap diam. Namun sorot mata itu menceritakan semuanya. Bagaimana kepedihan hati Nash melepas ibunya, walau sejak beberapa tahun terakhir dia sudah mempersiapkan diri.“Kak ...” Eross berdiri di samping Nash, menatap batu nisan yang terpasang sempurna dan cantik. “Bibi Lori telah menemukan kehidupannya yang lebih baik. Aku ... minta maaf atas nama ibuku. Jika tidak ada kami, kau pasti masih mer
Nash tersenyum, dia mengangguk setuju alih-alih menolak. Adrian mengangkat alis, tidak percaya Nash justru memberinya reaksi santai seperti itu. “Kau bersedia?”“Kenapa tidak?”“Kau? Seorang Nash Sullivan?”“Jika menjadi pelayan Chloe, seumur hidup pun aku bersedia!”Adrian menggelengkan kepala sambil berdecak. “Kau sungguh tak tertolong lagi, Nash. Otakmu benar-benar sudah diekspansi oleh Chloe.”Nash tertawa pelan, keduanya saling berpandangan lagi ketika mendengar suara jerit Daisy lebih kencang. “Pria itu bermain cukup kasar sepertinya,” kelakar Adrian. “Daisy bahkan berteriak seperti itu.”Dia mengeluarkan ponselnya, mengatur sudut untuk menangkap dirinya dan Nash yang tergeletak di atas tempat tidur.“Kau mau apa?” lirik Nash tajam.“Tentu saja membuat bukti untuk mematahkan tuduhan Daisy,” sahutnya santai. “Kau tahu kan, dia pasti datang besok dan menangis tersedu-sedu. Dia akan mengatakan kau melecehkannya.”Nash tertawa kecil, dia mengangguk setuju. “Setelah ku pikir-pikir, d
Begitu Daisy pergi, Nash duduk dengan tegak. Diambilnya sapu tangan dari sakunya, lalu melap lehernya dengan kasar, begitu juga dengan kedua telapak tangannya. Dia memungut jasnya. Dengan tatapan dingin, pria itu turun dari ranjang dan keluar.Di ambang pintu, dia bertemu Adrian dan seorang pria yang perawakannya persis Nash. Sahabatnya itu tertawa kecil, dia menepuk lengan pria itu dan berkata, “Gantikan Nash untuk memuaskan nafsu wanita itu!”“Tapi bagaimana kalau ketahuan?” Pria itu sedikit khawatir.“Buat saja suara mendesah dan gumaman yang dibuat-buat, seolah kau mabuk berat. Katakan lampunya tidak boleh menyala, atau Daisy tak boleh menyentuh wajahmu. Bilang saja kau yang akan memuaskannya sendiri. Ingat, kau tak perlu banyak bicara jika tidak diperlukan,” sahut Adrian.“Aku akan menjaminmu,” tambah Nash lagi. “Dia tidak akan bisa menyentuhmu selama ada aku.”“Kalau begitu, aku akan masuk.” Pria itu bergumam riang dan nada bicaranya lebih santai.Adrian dan Nash mengangguk bers