Si Joanna Rissa Lico, nawala sa kaniya ang lahat dahil sa panloloko ng kaniyang boyfriend. Kinuha na nito lahat ng yaman niya, pati mukha niya ay sinunog nito. Dahil sa pinagdaanan ni Joanna na dumurog sa puso niya ay binalak niyang magpakamatay pero hindi 'yun natuloy dahil kay Marvin Guevarra, isang gwapong bilyonaryo na masungit at walang modo para kay Joanna. Inalok siya ni Marvin na tutulungan siya nito sa paghihiganti sa dating nobyo ni Joanna sa pamamagitan ng isang kasal, wala man naibigay na dahilan ng pagtulong ay kinuha ni Joanna ang pagkakataon na 'yun upang makapaghiganti sa dati niyang nobyo. Pero paano kung sa paglipas ng mga araw ay biglang makipaglaro si Marvin kay Joanna na mahuhulog ito sa kaniya, mapigilan kaya ni Joanna ang kaninyang nararamdaman upang manalo sa larong inumpisahan ni Marvin? Maging totoo kaya ang larong ginawa nila?
view moreDesa Ciboeh, 1985
“Apa saya harus benar-benar pergi?” ujar Ujang begitu sepedanya menepi ke sisi jalan. Tangannya segera menyeka peluh di dahi dengan kain sarung yang tersampir di bahu.
Ujang menoleh ke belakang, tepatnya pada cahaya dari perkampungan yang kian meredup seiring sepeda menggerus jarak. Di sisi kiri dan kanan, terhampar persawahan yang berselimut gelap karena tengah dicumbu malam. Kakinya kembali bersiap di pedal sepeda, tetapi pikiran dan hatinya masih terkunci pada nyaman dan hangatnya kediaman.
Tatapan Ujang teralih pada pekatnya kegelapan di depan. Pria itu cukup beruntung karena petromaks yang berada di keranjang sepeda masih memberikan cahaya, berbanding terbalik dengan rembulan yang hanya mengintip di balik awan tanpa sudi membagi sinar.
“Apa saya harus benar-benar pergi?” ulang Ujang. Tubuh dan jiwanya mendambakan kasur empuk di rumah, sedang sang mertua dan istri menuntutnya agar tak pulang sebelum melaksanakan permintaan.
Ujang hanya memiliki dua pilihan malam ini. Pertama, pria itu kembali ke rumah dan langsung dihadiahi amukan mertua dan wajah masam sang istri. Kedua, ia akan selamat dari amarah penghuni rumah, tetapi harus berdamai dengan rasa takut ketika dihadapkan kengerian Mak Lilin.
Setelah menimbang, Ujang mengambil pilihan kedua. Dengan wajah setengah pucat, ia kembali mengayuh sepeda menuju kegelapan jalan di depan. Sebenarnya, Ujang tak keberatan bila Mak Lilin yang dimaksud adalah seorang wanita tua renta. Akan tetapi, realita berkata bila sebutan itu tak lain ditujukan untuk sebuah pemakaman di utara desa.
Semakin dekat ke arah tujuan, Ujang kian dibuat terengah-engah. Dadanya kembang kempis seiring bahu yang naik-turun. Pria itu berhenti tepat di depan gapura kuburan untuk menstabilkan napas. Tatapannya lantas mendongak, tepatnya pada setitik cahaya di gubuk milik penjaga makam, dan di sanalah tempat tujuannya.
“Sepertinya saya harus benar-benar pergi,” gumam Ujang sembari turun dari sepeda, kemudian menyimpan benda beroda dua itu di bawah pohon. Tak perlu takut akan dicuri, Ujang sadar kalau hanya orang bodoh yang akan menginjak tanah Mak Lilin di malam hari. Pencuri akan berpikir ribuan kali sebelum melakukan aksi.
Untuk sampai ke gubuk milik penjaga makam, Ujang harus melewati jembatan, hamparan pusara, kemudian menaiki tangga. Jaraknya tak begitu jauh dari gapura, hanya saja tekanan kawasan ini benar-benar membuat langkah melambat, berbanding terbalik dengan degup jantungnya yang kian cepat.
Bau kamboja seketika tercium ketika Ujang melumat kegelapan. Sisi kanan dan kiri dipenuhi dengan pepohonan bambu liar. Saat angin menerobos celah-celah tanaman itu, suara memekakkan akan langsung bertamu ke pendengaran.
Ujang seketika terpejam saat pekikan gagak dan dehaman burung hantu hadir menemani perjalanan. Ia bisa merasakan burung-burung itu mengamatinya di suatu tempat. Ujang tak punya nyali untuk sekadar mencari tahu. Ia hanya tak ingin saat sinar petromaks terangkat lebih tinggi, sesuatu yang tak ingin ditemuinya akan menampakkan diri.
“Mbah Atim,” ucap Ujang saat melihat siluet manusia bergerak menuju jembatan. Bukannya ketakutan, pria itu malah mempercepat langkah. Ketegangan di wajahnya sedikit mencair.
Kegelapan memudar saat Ujang sudah berada di depan jembatan. Empat buah obor menyala di tiap sisi jembatan. “Mbah, saya ingin ... minta buah delima untuk istri saya yang sedang ngidam, boleh?” tanyanya.
Pria berpakaian serba hitam itu terus berjalan, tetapi Ujang menerjemahkan sebagai anggukan persetujuan. Untuk itu, ia segera berjalan di jembatan dengan penuh kehati-hatian. Rasa takutnya tak sekentara tadi.
“Mbah,” panggil ujang saat berada di tengah jembatan. Begitu mengangkat petromaks lebih tinggi, ia sama sekali tak menemukan Mbah Atim. Namun, ia dengan jelas masih mendengar suara langkah kaki.
Begitu Ujang berhasil melewati jembatan, ia dengan tergesa-gesa menaiki gundukan tanah yang disusun menyerupai tangga. Sepintas, Ujang merasa bila ada seseorang yang tengah menatapnya. Namun, saat ia memastikan lebih jeli, nyatanya tak ada siapa pun di sana. Pemandangan yang tampak justru hamparan makam. Sialnya, tanah kuburan malah disiram cahaya rembulan yang kian memperjelas bentuk gundukan tanah dan batu bisan.
Ujang refleks menutup mulut begitu bau kamboja menyengat hidung. Sepanjang melumat tanah kuburan, ia tak berani mendongak, memilih mengikuti cahaya petromaks.
“Mbah,” panggil Ujang.
Kali ini, Ujang memberanikan diri mendongak. Ia melihat orang yang dipanggilnya sudah lenyap ditelan kegelapan begitu melewati ujung pekuburan. Pria itu mengambil napas panjang, kemudian meneruskan perjalanan.
Cahaya bulan kini terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Suara burung dan serangga tak terdengar lagi saat Ujang mulai menaiki tangga. Suasananya teramat hening. Ujang bahkan bisa mendengar suara langkah kaki dan embusan napas sendiri. Namun, ada sesuatu yang ganjil menurut Ujang. Meski ia tengah berdiri di anak tangga terakhir dengan posisi tak bergerak, tetapi entah mengapa ia masih mendengar suara langkah kaki.
Apa mungkin ada seseorang di belakangnya?
Nyatanya tidak. Ujang hanya melihat kunang-kunang yang tiba-tiba muncul dari ujung tangga.
“Mbah.” Panggilan Ujang berbalas dehaman seseorang.
Ujang sudah berada di depan gubuk. Delima yang diminta istrinya hanya berjarak beberapa jengkal darinya. Ia lantas masuk, kemudian mulai memetik buah.
“Mbah, saya ambil tiga buah,” kata Ujang sembari menyimpan sebungkus rokok yang berisi empat batang ke atas batu di depan gubuk, “nuhun.”
Ujang menutup pintu pagar perlahan, lalu mengaitkan talinya pada paku. “Mbah—”
Mendadak wajah Ujang tertutup sarung saat angin tiba-tiba menerjang. Dedaunan ikut bergoyang karena aliran udara tadi. Pria itu kemudian melirik tempat terakhir ia melihat rokoknya. Rupanya batangan tembakau itu sudah tak berada di sana.
“Nuhun, Mbah,” ujar Ujang sekali lagi.
Ujang kembali berjalan. Namun, baru saja ia menuruni dua buah anak tangga, pintu gubuk tiba-tiba terbuka kencang. Pria itu seketika meneguk saliva, menoleh ke arah suara, lalu memilih meninggalkan bangunan itu dengan segera.
Kunang-kunang menyambut Ujang saat dirinya menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Lolongan anjing tiba-tiba terdengar entah dari mana. Tangannya menghempas kerlipan cahaya milik kumpulan kunang-kunang tersebut dengan gerakan asal. Ujang benci mahluk itu. Kata orang tua dahulu, serangga itu adalah kuku orang mati, pertanda hal buruk akan terjadi.
Ujang kembali berada di area kuburan. Tubuhnya seketika menegang ketika mendengar suara raungan yang tiba-tiba. Sontak bulu kuduknya meremang dan jantungnya berdetak cepat seperti akan meledak.
Ujang dengan gemetar mengamati sekeliling, mencari pemilik suara raungan barusan. Ia dengan cepat menutup mulut dengan sarung ketika bau bangkai menyingkirkan aroma kamboja. Perutnya serasa diaduk-aduk dan ususnya laksana diluruskan paksa.
Ujang tak peduli lagi dengan lolongan anjing atau suara raungan itu. Ia hanya ingin cepat keluar dari area pemakaman. Saat berada di pertengahan arena kuburan, Ujang akhirnya memuntahkan isi perut. Ia sampai harus berjongkok untuk lebih mudah mengosongkan perut. Ia cukup terbantu berkat pijatan seseorang di lehernya.
“Nuhun, Mbah,” ucapnya.
Saat menyadari hal yang tak semestinya terjadi, mata Ujang seketika terbelalak. Keringat dingin tiba-tiba mengucur deras. Lehernya terasa basah karena cairan kental. Ujang yakin itu bukan balsem seperti dugaan sebelumnya, tetapi ia tak sudi untuk sekadar menerka jawaban. Ia lebih memilih berdiri dan segera enyah dari kawasan ini.
Saking tergesa-gesa, Ujang tak sengaja menjatuhkan keresek yang berisi buah delima hingga isinya menggelinding ke tanah. Dua buah delima tergelatak tak jauh darinya, tetapi sisanya terlempar agak jauh. Saat akan mengambilnya, lolongan anjing kembali terdengar.
Ujang merasakan lehernya kembali basah. Namun, ia memilih untuk mengambil buah delima terakhir. Di luar dugaan, rasa mual mengocok perutnya lagi. Bau busuk kian menyengat bersamaan dengan langkahnya yang semakin dekat dengan buah delima ketiga. Rasanya seperti ada ratusan ulat bulu yang berkumpul di tenggorakan.
Napas Ujang mendadak berhenti saat buah delima itu tiba-tiba terbang ke atas. Mau tak mau matanya mengikuti pergerakan benda itu. Ia terpaksa menggigit bibir saat melihat sesosok mahluk hitam berdiri di depannya. Pria itu dengan segara menahan teriakan yang akan meledak. Di saat seperti ini, entah mengapa kakinya malah mendadak tak bisa digerakan. Sekujur tubuhnya laksana batu yang tertancap kuat. Buah delima yang lebih dahulu ia pungut malah terjatuh kembali.
Dengan sisa tenaga dan kesadaran yang ada, Ujang memunguti kembali delima dan memasukkannya ke dalam keresek. Ia berharap bila apa yang dilihatnya barusan hanyalah bayangan. Namun, saat tubuhnya sudah setengah berdiri, mahluk hitam penuh borok itu malah menyodorkan buah delima terakhir ke arahnya. Bersamaan dengan itu, nanah dan darah menetes saat sosok itu tersenyum. Hanya manusia yang sangat bodoh saja yang mau menerima pemberian dari mahluk hitam itu, pikir Ujang.
“Ju-jurig!”
Ujang seketika pontang-panting di tengah area pemakaman. Lampu petromaksnya terombang-ambing hingga nyaris padam. Sekilas, ia menengok ke belakang. Mahluk itu masih berada di tempatnya semula, memelotot dengan mata merah menyala. Saking takutnya, Ujang tak sadar menangis. Ia tak peduli lagi dengan delima yang diminta istrinya.
Ujang yang dilanda panik tak menyadari jika kain sarungnya melilit kaki. Alhasil, ia terjatuh dari atas anak tangga hingga tersungkur ke bawah. Petromaksnya mati seketika. Ujang menggeliat bak cacing kepanasan, mengaduh di sisi jembatan.
Ujang mengelus kakinya yang terkilir. Berbekal pencahayaan dua lampu minyak dan paksaan kuat, ia berjalan dengan tergesa-gesa menuju jembatan. Langkahnya terkesan diseret.
Namun, kesialan Ujang nyatanya tak berhenti di sana. Jembatan kayu yang tengah ia pijak malah bergoyang-goyang karena diterjang angin. Ujang terombang-ambing di tengah jembatan.
“Ampun!” Ujang memegang kuat tali jembatan saat perantara dua jalan itu berguncang seakan hendak terbalik. Saat akan lari, kakinya malah terperosok. Berkali-kali ia berusaha menarik kaki. Namun, semakin kuat berusaha, kian dekat pula ia dengan mahluk hitam berbau busuk itu.
“Ampun!” Ujang tak berani melihat. Ia menangis sembari memeluk satu lutut, sedang satu tangannya berpegangan kuat pada tali jembatan. “Sa-saya tidak ada niatan ganggu. Jangan bunuh saya,” ucapnya gemetar.
Ujang kian menunduk dalam, sedang tangisnya semakin menjadi. Ia menyesali kepergiannya malam ini. Kalau saja kejadiannya akan seperti ini, ia lebih baik menerima wajah masam istri dan omelan mertua selama seminggu.
Ujang mendongak saat merasa bau busuk mulai menghilang. Rupanya mahluk hitam itu sudah pergi. Pria itu mencoba kembali berdiri. Namun, nahas, saat ia menarik kakinya kuat-kuat, pijakannya tiba-tiba ambruk. Dalam satu tarikan napas, tubuh Ujang terjatuh. Untungnya, ia masih mampu berpegangan pada pijakan jembatan.
“Tolong saya!” Ujang berteriak. Raganya terayun-ayun di tengah jembatan.
Namun, setelah sadar kalau ia berada di area pemakaman, Ujang hanya bisa pasrah. Dalam keputusaasaannya, pria itu melihat mahluk itu berlari ke arahnya.
Ujang sudah tak kuat untuk terus berpegangan. Tangannya mulai mati rasa. Dalam hitungan detik, jemarinya satu per satu terlepas dari pegangan hingga akhirnya raganya jatuh ke jurang yang dipenuhi tumpukan batu.
AGAD NA napalayo si Joanna kay Marvin na bitawan siya nito sa pagkakahawak nito sa bewang matapos nilang makalayo sa boutique. Nasa may parte sila ng mall na wala masyadong dumadaan na mga tao ng alisin ni Marvin ang saklob at salamin na suot nito at masamang tingin ang pinukol kay Joanna."Do you really want everyone to fvcking get their attention unto you huh?! Hindi ba at sinabi ko na sumunod ka lang sa akin?" may inis na sermon ni Marvin kay Joanna."Nakasunod naman ako sayo eh, hinarang lang talaga ako nung sales lady. Tsaka hindi ako kumukuha ng atensyon sa iba, sadyang hindi magawang manahimik ng mga tao pag nakakakita ng ganitong mukha. Sunog ang mukha ko at lahat ng taong makakakita sa akin iisipan ako ng hindi maganda, it's not my fault." paliwanag na ani ni Joanna."Do you know how people knew about me? If they fvcking know that i'm---""--na panget at sunog ang mukha ang kasama mong babae? Sorry ha, pero ikaw naman ang may gusto nito diba?" putol na ani ni Joanna na tinata
PAGSAPIT nang umaga ay inis na inis si Joanna kay Marvin habang nakasakay ito sa taxi papunta sa mall na sinabi ni Marvin na pagkikitaan nila. Hindi maiwasan ni Joanna na mapikon sa lalaki dahil talagang hindi siya nito sinabay sa pag-alis gayong iisang lugar lang ang pupuntahan nila.“Okay lang Joanna, atleast kahit papaano nagbigay ng pamasahe ang damuho na ‘yun kahit parang napilitan lang. Habaan mo ang pasensya mo dahil tutulungan ka niyang makabawi kay Gin kahit parang labag sa kalooban ng hudyong panget ang ugali. Panget man ang mukha ko mas panget naman ang ugali niya, at hindi nareretoke ‘yun.”inis na ani ni Joanna habang kausap niya ang kaniyang sarili.“Ms. okay ka lang ba?” usisang tanong ng taxi driver na agad ikinalingon ni Joanna dito.“A-ah o-opo, hobby ko po talagang kausapin ang sarili ko.”ngiwing ngiting sagot ni Joanna sa taxi driver.“Hija, pasensya na sa itatanong ko, pero anong nangyari sa mukha mo? Bakit parang nasunog ‘yan?”tanong ng driver na ikinahawak ni Jo
MATAPOS makapagpalit ni Joanna ng damit na bigay sa kaniya sa baniyo sa likuran ng bahay ni Marvin, ay lumabas na siya sa banyo habang tinutuyo ang buhok niya gamit ang bagong tiwalya. Habang tinutuyo ni Joanna ang buhok niya ay hindi niya maiwasan na madagdag ang inis kay Marvin, ilang oras siyang pinaghintay nito kanina sa labasan kaya lamig na lamig siya. At ng bumalik ito na may dalang tiwalya at damit na gagamitin niya ay hindi man lang nito inabot ng ayos at dere-deretso siyang iniwan.“Hindi sa nagiging ungrateful ako dahil may gustong tumulong na makapaghiganti ako kay Gin ah, pero may attitude problem ba ang Marvin na ‘yun? Doesn’t he know ang tamang pag-abot ng gamit? Hindi ko naman pinagpilitan ang sarili ko na tulungan niya ako ah, siya ang nag-offer kaya bakit parang masama pa sa loob niya?”inis na reklamo ni Joanna ng magulat siya ng may tumikhim sa bandnag likuran niya na agad niyang nilingon.“Kung wala ka ng irereklamo at tapos ka na diyan, get inside. Madami pa tayon
PABAGSAK na napaupo si Joanna sa may kalsada sa tapat ng malaking bahay ni Marvin ng hilahin siya nito at ipagtabuyan sa bahay nito matapos niyang tanggihan ang tulong na inaalok nito dahil na rin sa gagawin niya na mahirap pagdesisyunan. Napangiwi si Joanna dahil sa kaniyang pagkakabagsak dahil na rin sa pagkakatuon ng kaniyang mga palad sa kalsada na masamang tingin ang ibinaling niya kay Marvin na nasa may bukas na gate nito at plain na nakatingin sa kaniya.“Hindi mo ba alam ang pagiging gentleman?! Hindi mo naman ako kailangang kaladkarin palabas ng mansion mo ah!”inis na singhal ni Joanna dito.“It’s your fvcking fault, ikaw na nga ang tinutulungan ikaw pa anng nag-iinarte. Why? Maganda ka ba? Sa itsura at kalagayan mo sa tingin mo you can revenge to the man who made you miserable?”pahayag ni Marvin na agad ikinatayo ni Joanna sa pagkakasalampak nito sa kalsada.“Nasasabi mo lang na panget ako dahil sunog ang mukha ko eh, masyado kang mapanglait! Tsaka sino ba naman kasi ang tat
INIIKOT ni Joanna ang kaniyang tingin sa malaking bahay na pinagdalhan sa kaniya ng lalaking hindi niya alam kung bakit isinama siya nito. Nakatayo lang siya sa ilang dipa ang layo sa kinauupuan ngayon ng lalaking prenteng nakaupo. Mag-iisang oras na din silang nakarating na sa tingin ni Joanna ay bahay ng lalaking di man lang siya inaayang maupo.“E-excuse me, pwede ko bang malaman kung bakit dinala mo ako dito? Bahay mo ‘to tama ba?” agaw pansin na pagtatanong ni Joanna dito na poker face lang siyang binalingan ng tingin nito.“Will you just zip your mouth for a minute, I’m fvcking thinking here.”“Sandali lang mister, dinala-dala mo ako sa bahay mo para tumayo ng mahigpit isang oras dito tapos gusto mo na manahimik pa din ako? Hindi ko alam kung bakit dinala mo ako dito pero mister, mukhang mayaman ka naman, imposible naman na kidnapper ka.”sitang ani ni Joanna.“Why would I kidnap an ugly woman like you, I’m thinking here so keep fvcking quite.”sita nito kay Joanna na hindi niya m
AKALA NI JOANNA noong mamatay ang kaniyang mga magulang at si Gin nalang ang naging kasama niya ay mararanasan pa rin niya ang masayang buhay dahil kasama niya pa ang lalaking minamahal niya. Maraming pangarap si Joanna na gustong matupad kasama si Gin, pero hindi niya inakala na ang mismong wawasak sa pangarap na ‘yun ay ang lalaking akala niya ay magpapasaya sa kaniya.Walang buhay si Joanna na naglalakad habang napapatingin sa kaniya ang mga taong kaniyang nakakasalubong, tulala lang siya at nawalan na ng pag-asa. Kahit anong sabihin niya ay walang naniniwala sa kaniya dahil narin sa nangyari sa mukha niya, pinagtatawanan at pinandidirihan na siya. Pakiramdam ni Joanna ay wala ng saysay pa ang buhay niya, na masasaktan lang siya lalo dahil sa kalagayan niya.“Ano pang silbi ng buhay ko kung ganito lang din naman?”sambit ni Joanna sa kaniyang sarili.Patuloy lang si Joanna sa kaniyang paglalakad ng matigilan siya ng may apat na batang lalaki ang magkasalubong niya sa daan, napatingi
Maligayang pagdating sa aming mundo ng katha - Goodnovel. Kung gusto mo ang nobelang ito o ikaw ay isang idealista,nais tuklasin ang isang perpektong mundo, at gusto mo ring maging isang manunulat ng nobela online upang kumita, maaari kang sumali sa aming pamilya upang magbasa o lumikha ng iba't ibang uri ng mga libro, tulad ng romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel at iba pa. Kung ikaw ay isang mambabasa, ang mga magandang nobela ay maaaring mapili dito. Kung ikaw ay isang may-akda, maaari kang makakuha ng higit na inspirasyon mula sa iba para makalikha ng mas makikinang na mga gawa, at higit pa, ang iyong mga gawa sa aming platform ay mas maraming pansin at makakakuha ng higit na paghanga mula sa mga mambabasa.
Mga Comments