On the day of her wedding, Celestia Montes was abandoned at the altar humiliated and discarded by the man she thought she would spend her life with. But just when her world collapsed, a cold and powerful stranger offered her a deal: marry him instead. What started as revenge turned into something far more dangerous—love.
더 보기Lampu putih menyala terang di langit-langit ruang operasi, memantul pada permukaan baja yang dingin. Malam begitu sunyi di luar, tapi di dalam sana waktu berlari tanpa ampun.
Seorang dokter berdiri di depan meja operasi, bersarung tangan steril, wajahnya tersembunyi di balik masker. Napasnya teratur, namun sorot matanya menyiratkan ketegangan yang menggantung di udara. Seorang ibu muda terbujur kaku di meja, tubuhnya sudah terbius setengah sadar, tapi detak jantungnya terus menurun, dan detak jantung janin di monitor terdengar kian lemah—seperti memudar.
"Tekanan darah drop, Dokter," lapor perawat dengan suara gemetar.
"Mulai sayatan," ucap dokter, singkat dan tegas.
Bersamaan dengan aba–aba itu, pisau bedah mulai membelah kulit. Darah hangat mengalir, waktu seolah berlari lebih cepat. Tim medis bekerja nyaris tanpa bicara. Suasana mencekam, seperti menahan napas bersama. Plasenta terlihat—dan ada darah, terlalu banyak darah.
"Plasenta previa totalis," gumam salah satu asisten.
Situasi darurat. Harus cepat.
Dengan tangan terampil namun terburu, sang dokter menyusupkan tangan ke dalam rahim, berusaha menarik keluar tubuh mungil yang belum sempat melihat dunia. Saat kepala bayi muncul, napas semua orang tertahan.
Hening.
Tidak ada tangis.
"Bayi tidak bernapas!" seru perawat anak, segera membawa tubuh kecil itu ke meja resusitasi. Suara alat bantu pernapasan mulai terdengar, diiringi kompresi dada seukuran dua jari. Bayi laki-laki itu diam, wajahnya kebiruan, tubuhnya dingin.
Di meja operasi, sang ibu mulai kehilangan tekanan darah lebih cepat.
"K–kenapa bayinya tidak menangis?" ucap Ibu muda yang dua matanya terus terpejam kembali. "Bayiku, selamatkan bayiku."
"Fokus ke ibu!" perintah dokter, dengan nada sedikit berteriak. Tangannya bergerak cepat, menghentikan perdarahan, menjahit jaringan yang nyaris kehilangan warna. Semua bergerak, berusaha menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan.
Beberapa menit kemudian, suara pelan terdengar dari sudut ruangan. "Nadi nol. Bayi tidak selamat."
Tak ada yang bicara. Hanya suara mesin, napas berat, dan detak jam dinding yang terdengar seperti palu godam.
Dokter tidak menoleh. Tak boleh. Tugasnya belum selesai, melanjutkan sisa–sisa prosedur dengan tangan bergetar. Bukan karena lelah, tapi karena kehilangan.
Saat ibu dari sang bayi yang dinyatakan meninggal dunia itu akhirnya distabilkan dan dibawa ke ruang pemulihan, dokter berdiri sejenak, masih di bawah cahaya terang yang terasa terlalu silau malam itu.
Inkubator kosong di sudut ruangan tampak dingin. Di antara bau darah, alkohol, dan cairan infus, ada satu hal yang tidak sempat lahir: tangis pertama.
Sementara itu, di ruang operasi yang berbeda—tak begitu jauh, namun seolah berada di dimensi lain—suasana juga sedang memuncak dalam kegentingan. Udara di dalam ruangan itu berat, penuh ketegangan yang merayap di antara napas-napas terburu.
Seorang ibu sedang bertarung dengan waktu. Tubuhnya menggigil meski ditutupi kain steril. Di wajahnya terpatri kepasrahan, juga semangat terakhir untuk bertahan, demi anak yang sedang berusaha keluar dari rahimnya. Darah menggenang, deras dan tak kunjung berhenti.
Dokter di sisi meja berusaha keras. Jemarinya bergerak cepat, menjahit luka, menyekat perdarahan, menyelamatkan organ yang sudah kehilangan warna. Setiap detik diukur dengan napas. Setiap keputusan diambil dengan risiko. Di sampingnya, anestesiologis terus menginformasikan tekanan darah yang merosot seperti angka di papan jatuh bebas.
"Dia masih sadar," bisik seorang perawat.
Dokter melirik. Mata sang ibu terbuka sedikit, menyiratkan ketakutan yang nyaris hancur. Bibirnya bergerak, tak terdengar, seperti hendak mengatakan sesuatu—atau mungkin hanya ingin mendengar suara bayinya menangis, sekali saja.
Dan lalu, tubuh sang Ibu melemas. Monitor berbunyi tajam.
"V-fib!"
"Kejut! Sekarang!"
Alat kejut didekatkan, gel diterapkan, tubuh sang ibu terguncang sekali, dua kali, tiga. Namun garis di monitor tetap lurus. Seperti takdir yang tak bisa dilawan.
Tangis bayi pecah di tengah kekacauan. Suara yang seharusnya jadi harapan, tapi datang terlambat bagi sang ibu yang kini terbaring diam.
Dokter menghentikan tangannya. Tanda tak ada lagi yang bisa dilakukan. Sedang bayi yang berhasil selamat tadi masih menangis, nyaring dan kuat. Hanya saja, peluk pertama dari ibunya tak pernah datang.
Dua ruang operasi.
Dua perjuangan.
Satu kehilangan seorang anak, sementara yang lain kehilangan seorang ibu.
Malam itu, rumah sakit tak hanya menyaksikan kelahiran—tapi juga perpisahan yang tak pernah diinginkan.
***
Di luar ruang operasi, langit masih pekat. Lampu lorong rumah sakit menyinari lantai dingin dengan warna kuning pucat, membentuk bayangan panjang di bawah kaki seorang pria yang duduk gelisah—tangan menggenggam erat tas kecil berisi pakaian ganti dan sebotol minyak telon.
Namanya Hannan. Ayah baru, seharusnya. Suami dari perempuan yang beberapa jam lalu tersenyum lemah padanya, sebelum dibawa masuk ke bilik pintu bertuliskan: "Ruang Operasi—Kelahiran".
Hannan terus menatap pintu itu, berharap wajah perawat keluar dengan kabar bahagia. Namun siapa yang mampu menebak kejutan takdir—yang keluar justru wajah-wajah tegang seolah membawa kabar besar di mana dapat meruntuhkan dunia Hannan dalam sekejap mata.
Langkah tergesa, bisikan antar petugas yang terlalu pelan untuk didengar, cukup membuat dada Hannan sesak.
Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar. Masker masih menempel di wajahnya. Matanya letih, menyiratkan pergulatan batin. Sosok bersnelli putih itu berdiri di depan Hannan, terdiam sejenak, sebelum akhirnya berbicara.
"Anaknya selamat, laki-laki. Hanya saja, istri Anda tidak bisa diselamatkan."
Dunia runtuh dalam satu kalimat.
Hannan terpaku. Seakan kata-kata itu terlalu asing untuk dimengerti. Mulutnya terbuka sedikit, tapi tak ada suara keluar.
Demi tekad istrinya Hannan ingin bertanya: Apa maksudnya? Bagaimana bisa? Bukankah Kesha harusnya baik-baik saja? Bukankah ini hanya persalinan biasa?
Namun yang keluar hanya napas pendek-pendek dan wajah yang memucat.
"TIDAKKK!" teriak Hannan, histeris.
"Nyebut, Hannan, Istighfar, kamu harus ikhlas," bujuk Lena-Ibu kandung Hannan yang juga berada di sana—mendengar berita yang sama.
Meski sedih karena kehilangan menantu kesayangannya, tapi sebagai seorang ibu, Lena harus tegar dan memberi kekuatan pada putranya.
"Kondisi istri anda sangat buruk. Sejak awal kehamilan, semuanya memang berjalan sulit. Namun tekad nyonya Kesha begitu kuat, dia tetap bersikeras menjalani kehamilannya agar bayi kalian lahir. Dia sudah tahu resikonya, Pak. Maafkan kami," ucap dokter kandungan yang menangani istri Hannan sejak mengetahui kehamilannya sampai hari ini.
"Kenapa? Kenapa, Kesha?" teriak Hannan, masih belum terima istrinya meninggal.
Dia terus bertanya-tanya mengapa sang istri harus merahasiakan semuanya? Kalau boleh memilih mungkin Hannan lebih memilih nyawa istrinya ketimbang memiliki keturunan. Tapi tidak dengan Kesha. Wanita itu siap mempertaruhkan nyawanya untuk memberi suaminya keturunan.
Tangan yang mulanya memegang tas persalinan itu gemetar hebat. Hannan mencoba mencari wajah istrinya di balik pintu—namun yang ada hanya kenyataan bahwa dia takkan pernah melihat mata itu terbuka lagi.
Di saat satu nyawa mungil menangis untuk pertama kalinya, satu hati yang paling dia cintai telah terdiam untuk selamanya.
XAVIER P.O.VPagkasara ng pinto ng kwarto ni Celestia, dahan-dahan akong lumingon. Wala na ang ngiting pilit. Wala na ang mahinahong tinig. Hindi na ako ang Xavier na maingat magsalita sa harap ng madla. Ang natira, ang totoong ako, Xavier Arguelles, ang lalaking walang sinasanto pagdating sa gusto niya.At siya, si Celestia Montes, ang matagal ko nang gusto.Tumayo ako sa hallway nang ilang segundo, nakapikit, pinakikinggan ang katahimikan ng gabi. Sa wakas. Nandito na siya. Sa loob ng bahay ko. Legal. Akin.Everything went according to plan. Hindi aksidente ang kasalang ‘yon. Hindi kapalaran. Hindi kabaliwan. Matagal ko na iyong inihanda. Bawat hakbang. Bawat posibilidad. Bawat detalyeng pinlano ko para lang sa isang bagay na mapunta siya sa akin.Hindi ko ginusto ang kahihiyan niya. Pero alam kong kailangan. Dahil si Celestia, hindi siya basta sumusuko. Kailangan niya ng dahilan para piliin ang sarili niya. At ako ang gusto kong piliin niya pagkatapos.Mula pa noon, matagal ko na s
CELESTIA P.O.VPagkapasok namin sa loob ng mansion, saka ko lang naramdaman ang buong bigat ng katawan ko. Mula sa simbahan hanggang reception, parang wala akong oras para huminga. Puro tapik sa balikat, congratulations, tanong na hindi ko alam kung paano sagutin. Pero ngayon, tahimik na. Wala nang kamera. Wala nang nagmamasid. Ako na lang. Kami na lang.Nilakad ko ang marble hallway na parang hindi ko alam kung saan pupunta. Sa totoo lang, wala akong ideya kung anong gagawin ko ngayong nasa bahay na ako ng taong pinakasalan ko pero halos hindi ko kilala.Nakahinto si Xavier sa paanan ng hagdan. Nakatingin lang siya sa akin, nakasuksok ang kamay sa bulsa ng pantalon niyang hindi pa rin niya napapalitan mula sa kasal.“May gusto ka bang inumin?” tanong niya, kalmado ang boses.“Water lang,” sagot ko, sabay bitiw ng mahinang buntong-hininga. “Grabe ang dami kong nasabing thank you kanina, parang natuyo na lalamunan ko.”“Same. Halika, kuha ako.”Sumunod ako sa kanya papunta sa open kitc
CHAPTER 3CELESTIA P.O.VHindi ko alam kung paano kami nakarating sa reception hall.Parang naglalakad ako sa panaginip. O bangungot na pilit kong ginagawang panaginip. Suot ko pa rin ang gown ko, pero iba na ang pakiramdam. Kanina, ang bigat-bigat nito, parang sapot ng alaala ni Enzo na ayaw kumawala. Pero ngayon, parang armor na siya. Parang ito na ang naging saksi ng muling pagtayo ko.Pagpasok namin ni Xavier sa grand ballroom ng hotel, tumayo ang mga tao. Nagpalakpakan. May mga naghiyawan. Ang iba parang sobrang saya. May mga kaibigan kong nagtatatalon sa tuwa. Parang walang nangyari. Parang hindi ako iniwan sa altar. Parang hindi ako ginawang tanga sa harap ng madla.“Congratulations, Cess! You did the right thing!” bulong sa akin ni Ate Lana, pinsan ko, habang kinikilig pa sa itsura ni Xavier. “Girl, ang gwapo ng asawa mo, grabe. Upgrade!”Napangiti ako, pilit man. Hindi pa rin nagsi-sink in sa akin ang lahat. Asawa ko na si Xavier Arguelles. I mean, legally and technically, we
CELESTIA P.O.VSobrang tahimik ng simbahan, para bang ang bawat yapak ko sa aisle ay dinig na dinig ng buong mundo. Sa bawat hakbang ko, ramdam ko ang pagbilis ng tibok ng puso ko, hindi dahil sa kaba, kundi dahil sa saya. Today is supposed to be the happiest day of my life.Hawak ko ang bouquet ng white peonies, ang favorite flowers ko na siya ring symbol ng pure love and fresh beginnings. Inaayos ko pa ang mahaba kong veil habang pinipilit ngumiti. Lahat ng mga mata nakatuon sa akin. Nakaupo ang mga bisita, nangingiti, kinukunan ako ng video, may mga naiiyak pa nga. Pero hindi ko sila pinapansin. Ang focus ko lang ay siya.Si Enzo. Nakatayo sa altar, naka-white tuxedo. Ang gwapo niya, parang model sa magazine. Nakatingin siya sa akin at ngumiti ng kaunti, pero may kakaiba sa mga mata niya. Parang may pag-aalinlangan. Pero hindi ko na pinansin. Siguro emotional lang din siya, gaya ko.Nang makarating ako sa harap niya, kinuha niya ang kamay ko. Malamig. Pinisil ko iyon. Nagpilit siya
Celestia “Cess” Montes P.O.VSobrang tahimik ng simbahan, para bang ang bawat yapak ko sa aisle ay dinig na dinig ng buong mundo. Sa bawat hakbang ko, ramdam ko ang pagbilis ng tibok ng puso ko, hindi dahil sa kaba, kundi dahil sa saya. Today is supposed to be the happiest day of my life.Hawak ko ang bouquet ng white peonies, ang favorite flowers ko na siya ring symbol ng pure love and fresh beginnings. Inaayos ko pa ang mahaba kong veil habang pinipilit ngumiti. Lahat ng mga mata nakatuon sa akin. Nakaupo ang mga bisita, nangingiti, kinukunan ako ng video, may mga naiiyak pa nga. Pero hindi ko sila pinapansin. Ang focus ko lang ay siya.Si Enzo. Nakatayo sa altar, naka-white tuxedo. Ang gwapo niya, parang model sa magazine. Nakatingin siya sa akin at ngumiti ng kaunti, pero may kakaiba sa mga mata niya. Parang may pag-aalinlangan. Pero hindi ko na pinansin. Siguro emotional lang din siya, gaya ko.Nang makarating ako sa harap niya, kinuha niya ang kamay ko. Malamig. Pinisil ko iyon.
Maligayang pagdating sa aming mundo ng katha - Goodnovel. Kung gusto mo ang nobelang ito o ikaw ay isang idealista,nais tuklasin ang isang perpektong mundo, at gusto mo ring maging isang manunulat ng nobela online upang kumita, maaari kang sumali sa aming pamilya upang magbasa o lumikha ng iba't ibang uri ng mga libro, tulad ng romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel at iba pa. Kung ikaw ay isang mambabasa, ang mga magandang nobela ay maaaring mapili dito. Kung ikaw ay isang may-akda, maaari kang makakuha ng higit na inspirasyon mula sa iba para makalikha ng mas makikinang na mga gawa, at higit pa, ang iyong mga gawa sa aming platform ay mas maraming pansin at makakakuha ng higit na paghanga mula sa mga mambabasa.
댓글