Pesta telah usai, para rekan kerja dari divisi teknologi berpamitan pulang di area lobi cafe. Tak lupa mereka mengucapkan terimakasih pada Sunrise. Beberapa dari mereka ada yang sempoyongan karena terlalu banyak minum, termasuk Carmen.
Hanya beberapa yang masih nampak normal, termasuk Sunrise yang memang tak begitu menyukai minuman beralkohol. Lebih tepatnya ia memilih untuk hidup sehat dan sebisa mungkin menghindarinya. "Kenapa kau selalu menyusahkanku Carmen! Sudah kukatakan jangan terlalu banyak minum!" runtuk Sunrise yang nampak kesusahan saat memapah Carmen. Tak ada sahutan dari sahabatnya yang sudah teler itu. Dengan terseok-seok, Sunrise berusaha membawa Carmen ke mobilnya. Mini Cooper putih, mobil yang baru saja lunas dari cicilan. Ia sedikit kesusahan mengeluarkan kunci mobil dari dalam tasnya. Tubuh lemah Carmen lumayan membuatnya kewalahan. "Hassh, di mana kunci itu!" geram Sunrise yang sibuk merogoh isi tasnya. Dapat, ia mengeluarkannya. Tapi kesialan kembali datang. Kunci yang sudah ada di tangannya malah terjatuh. "Aaaarrgghh...sial!" Sunrise benar-benar gusar. Bahkan, kunci pun tak bisa diajak bekerja sama di saat urgent seperti ini. Dengan susah payah ia mencoba mengambil kunci, sedang tangan satunya menahan tubuh Carmen yang hampir tumbang. "Apa Anda butuh bantuan, Nona?" suara bariton dari arah belakang cukup melegakan Sunrise. "Ah, ya. Kunciku terjatuh, bisa Anda menolongku untuk mengambilkannya?" pinta Sunrise dengan sopan tanpa menoleh ke arah suara berasal. Lelaki tadi berjalan ke arah samping Sunrise. Tepat saat lelaki tadi membungkuk mengambil kunci, Sunrise melirik ke arahnya. Saat tahu siapa lelaki yang menolongnya, sontak saja, ia terhenyak kaget hingga menjatuhkan tubuh Carmen. Beruntung, dengan sigap lelaki tadi meraih tubuh Carmen yang nyaris menghantam aspal. "Tuan Nick?!" Sunrise terbelalak. Ia pun menoleh ke arah lainnya untuk mencari sosok yang lain. Dan benar, sosok lelaki yang sangat tidak ingin ia temui justru berdiri angkuh di belakangnya. "Tuan, Khairen...." Bahkan, di tempat yang tidak mungkin mereka kembali bertemu. Suatu kebetulan atau memang takdir membuatnya tak bisa lepas dari cengkraman lelaki yang sudah dibuatnya babak belur semalam. Senyum dingin, sorot mata tajam, dan ekspresi yang sulit dijelaskan tergambar kuat di wajah Khairen. Seperti seseorang yang ingin menerkam. "Tuan, juga ada di sini?" Sunrise mencoba mengendalikan rasa paniknya. Ia menegakkan badan dan merapikan kembali tampilannya yang berantakan. "Hm," jawab Khairen singkat. Tatapannya fokus pada Sunrise. Menelisik kembali setiap detail siluet wanita yang sama dengan malam itu. Tak menyangka dia memang Sunrise White. "Kami, harus segera pergi. Carmen sudah mabuk parah! Terima kasih Tuan sudah membantu." pamit Sunrise berusaha cepat kabur. Ia meraih kunci dari tangan Nick, lalu menarik tubuh Carmen yang dengan tidak tahu malunya bersandar nyaman di pundak Nick. Ia pasti tak akan berhenti membahasnya besok jika sudah sadar. "Mengapa kau begitu terburu-buru seperti sedang bertemu hantu, Nona...Sunrise...White?" sindir Khairen dengan suara rendahnya yang sengaja mengeja perlahan nama Sunrise. Langkah Sunrise terhenti. Ia berbalik menghadap Khairen. Nada suara yang cukup membuatnya terintimidasi. Seketika wajahnya berubah pias tanpa bisa disembunyikan. Mungkinkah Khairen sudah menyadari sesuatu tentang dirinya? Tapi itu tidak mungkin, Sunrise masih teguh dengan keyakinannya. Melihat perubahan wajah Sunrise. Khairen tak kuat lagi menahan tawa. Ia terkekeh pelan. Ternyata, menyenangkan juga mengerjai seorang Sunrise. "Cepat kembali ke rumah, ini sudah malam. Jangan membuat kalian besok datang terlambat ke kantor!" ucap Khairen mencairkan suasana yang nyaris membeku. Kali ini, ia sengaja melepaskan Sunrise. Tapi tidak untuk selanjutnya. "Baik Tuan, selamat malam! Sampai jumpa kembali di kantor!" pamit Sunrise tak ingin membuang waktu, ia segera menancap gasnya enyah dari hadapan Khairen. Boleh ia bernapas lega untuk malam ini, tapi tidak untuk hari esok. *** Keesokan harinya. Tower Crown's Nexus Companion. Di ruang meeting. Rapat hari kedua berjalan lancar dan normal. Sunrise masih waspada meski tak ada tanda-tanda kecurigaan. Khairen tetap terlihat profesional, meski terkadang memberi tatapan seolah mencoba mengenali sesuatu dari dirinya. Sunrise pun tetap menunjukkan dedikasi maksimal di posisi barunya. Fokus, disiplin, dan tenang. Tak satu pun gerak-geriknya menunjukkan ia pernah menghajar CEO-nya sendiri. Rapat berakhir, seluruh peserta mulai berkemas termasuk Sunrise. Namun, ketika mereka hendak pergi tiba-tiba Khairen berbicara kembali. "Kepala Divisi Teknologi, tetap di sini. Ada hal yang harus kita diskusikan. Untuk yang lainnya boleh kembali!" perintah Khairen. Sunrise menahan napas. Tangannya gemetar saat mendengarnya. Mengapa hanya dia yang tidak diizinkan pergi? Ia yakin semua telah selesai didiskusikan. Otaknya dipenuhi dengan pikiran negatif. Seluruh peserta rapat keluar satu-persatu. Menyisakan Khairen, Nick, dan Sunrise di ruangan yang dingin dan sunyi. "Apa yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Sunrise berusaha tenang dan profesional. Khairen meminta tablet yang dipegang Nick. Seolah sudah paham apa yang diperintahkan oleh tuanya, Nick membuka file berisi rekaman CCTV dan meletakkannya di meja. Mata Sunrise langsung tertuju pada layar. Ia masih belum paham hal apa yang akan mereka diskusikan. Tetapi, perasaan Sunrise sudah tak karuan. "Aku dengar, Nona sangat handal dalam dunia teknologi. Aku sedang ingin mengembangkan sistem keamanan di salah satu anak perusahaan properti kita. Terutama di Hotel. Kurasa sistem keamanan di sana perlu diperbaiki. Aku tidak ingin kejadian buruk yang menimpaku terjadi pada customer lain." ucap Khairen membuka diskusi dengan sindiran halus. Tubuh Sunrise menegang. Ia menelan salivanya yang mengering. Udara disekitar seketika menghimpit kuat tubuhnya. Ini jelas sedang mengintimidasinya. "Selama ini keamanan di sana terbilang ketat. Dan belum pernah ada kejadian yang tidak diinginkan." ucap Sunrise tetap bersikap profesional. "Aku juga berharap demikian. Kami berusaha sebaik mungkin untuk menjaga keamanan seluruh perusahaan. Tapi, aku mendapatkan laporan ada seseorang yang tertangkap CCTV di lantai 11 malam sebelum acara seremonial. Kami belum tahu identitasnya. Bisa Nona bantu lihat rekaman ini?" Khairen menggeser tablet tepat di hadapan Sunrise. Ia sengaja tidak menceritakan detail kejadian untuk melihat reaksi Sunrise. (Departemen Keamanan CNC. File CCTV) Matanya melebar. CCTV? Dengan napas tak menentu, ia segera melihat layar di hadapannya. Nick membuka file rekaman dan menunjukkan rekaman dari kamera lorong. Terlihat sosok wanita berpakaian hitam, berjaket hitam, dan memakai masker. Berjalan cepat ke arah lift lalu menghilang. “Itu…tak terlalu jelas. Bahkan wajahnya tertutup semua,” ujar Sunrise, berusaha terdengar netral. “Kami pikir begitu juga. Tapi setelah semua rekaman dicek ulang. Ada sesuatu yang janggal malam itu.” timpal Nick. Sunrise nyaris tak bisa berpikir. "Apa departemen keamanan sudah mencari tahu siapa dia?" tanya Sunrise mencoba menggali. Jika, departemen keamanan sudah bertindak sudah dipastikan kasus ini berada di tangan polisi. Haruskah sekarang ia mengaku dan berlutut meminta maaf. Tapi, itu bukan dirinya. Sunrise tak mudah goyah sebelum semua benar terjadi. “Mereka bilang rekamannya tidak jelas,” kata Khairen pelan. “Tapi instingku berkata lain.” ucapnya menekan setiap kata yang terlontar. Sengaja membuat Sunrise gentar. Sunrise menahan napas, berusaha mengatur wajahnya agar tetap netral. “Insting bisa salah,” jawabnya hati-hati. Khairen menatapnya lekat-lekat, lalu tersenyum samar. “Benar. Tapi aku suka mencari tahu sendiri. Dan aku akan cari tahu siapa wanita bermata biru itu, cepat atau lambat.”"Sepertinya kau butuh gaun yang cantik. Jangan khawatir Sunrise, aku akan membantumu. Serahkan padaku!" ucap Carmen menenangkan kegelisahan di mata sahabatnya. Ia berpikir jika Sunrise khawatir dengan penampilannya di gala dinner nanti.Di pusat kota, butik eksklusif dengan jendela kaca besar memantulkan cahaya senja. Carmen menyeret Sunrise masuk, mengabaikan protes halus temannya yang masih belum sepenuhnya berdamai dengan takdir gala dinner di Venice.Carmen terlihat sangat antusias. "Kau butuh gaun yang bisa membuat semua mata tertuju padamu."Sunrise hanya bisa mendesah. "Ini gala teknologi, bukan fashion show.""Justru karena itu. Orang-orang seperti kita, para wanita di dunia penuh jas abu-abu dan dasi ketat, harus tahu cara mencuri panggung. Dengan berkelas." Carmen menjentikkan jari, lalu dengan sigap memanggil asisten butik.Berjam-jam mereka habiskan menelusuri rak-rak elegan, mencoba berbagai gaun, dari warna gelap klasik hingga netral modern. Tapi, s
"Tiga tahun, itu bukan waktu yang singkat." Sunrise menarik napasnya panjang.Di sudut rest area kecil yang menjadi tempat pelarian dari kepenatan kantor pusat, Sunrise White duduk dengan tangan menggenggam cangkir berisi kopi yang sudah dingin. Di hadapannya, berkas kontrak laknat tergelak di atas meja.Dibacanya lagi dengan hati-hati, bahkan untuk ketiga kalinya. Bukan karena tidak mengerti isi syaratnya, tapi karena tidak percaya Khairen benar-benar menyodorkannya begitu saja.Sebuah pernikahan kontrak. Berdurasi tiga tahun. Dengan jaminan kebebasan penuh setelahnya. Dan sejumlah fasilitas yang jujur saja, bisa membuat siapa pun berpikir dua kali. Namun, bukan itu pertimbangan besarnya, melainkan bisa menyelamatkan keluarganya.Ia memandangi bayangan dirinya sendiri di kaca jendela. Ia melihat gadis yang berani meninggalkan zona nyaman keluarga hanya untuk membuktikan dirinya sendiri.Gadis yang pernah menghajar pria asing yang ternyata CEO perusahaan tempat ia bekerja. Gadis yang
Di lantai teratas Tower CNC, Magnus Crown berdiri membelakangi ruangannya, matanya menatap tajam ke arah hamparan gedung pencakar langit yang menyusun lanskap kota. Jari-jarinya saling mengait di belakang punggung, bahunya tegang. Cahaya matahari pagi menembus kaca, menyoroti siluetnya yang kaku dan penuh pertimbangan.Ia bukan pria yang mudah terkesan. Tapi sejak nama Sunrise White mulai melekat dalam lingkaran kehidupan putranya, Khairen Crown, Magnus tahu ada sesuatu yang berbeda. Tidak biasa. Tidak dapat diabaikan."Aku tak boleh gegabah dan salah langkah," gumamnya pada pantulan dirinya sendiri di kaca. "Ini semua tentang masa depan CNC."Menyatukan dua garis keturunan bukan perkara ringan, apalagi jika itu menyangkut reputasi Crown dan arah korporasi. Ia telah menghabiskan separuh hidupnya menjaga nama baik dan kejayaan perusahaan ini.Pintu ruangannya terbuka pelan. Liem, asistennya yang selalu sigap, masuk dengan tablet di tangan. Tatapannya serius namun tenang, ciiri khas pri
Lucas pergi meninggalkan kamar dengan langkah pelan. Tatapannya yang dalam memantulkan sesuatu yang lebih dari sekadar kasih seorang kakak. Ia menyimpan rencana, kekhawatiran, dan juga rahasia.Ia berjalan ke ruang kerja pribadinya yang tersembunyi di balik perpustakaan. Di sana, layar holografik sudah menyala, menampilkan beberapa artikel terbaru tentang CNC.1. "Kemunculan Perdana! Khairen Crown, Pewaris Tunggal CNC, Hadiri Acara Seremonial Bergengsi"2. "Resmi Tampil di Publik: Khairen Crown, Pewaris CNC, Cetak Sejarah di Acara Seremonial"3. "Sorotan Tajam Tertuju pada Khairen Crown: Pewaris CNC Muncul untuk Pertama Kalinya di Acara Seremonial"4. "Khairen Crown Buka Lembaran Baru: Penampilan Perdananya sebagai Pewaris CNC Hebohkan Acara Seremonial"“Sunrise...” gumamnya sambil menyentuh layar. “Kau sudah terlalu dekat dengan sarang naga.”Ia mengetik cepat, mengakses sistem informasi yang hanya dimiliki oleh jaringan AndersonNet.Ia membuka folder bernama ‘Koneksi Magnus'.“Magnu
Tanpa menimpali ucapan Khairen, Sunrise pun pergi meninggalkannya begitu saja. Lagi-lagi keangkuhan dan keteguhan Sunrise membuat Khairen kagum dan memuji dalam hati."Kau sendiri yang membuatku semakin ingin memilikimu, Sunrise White!" gumam Khairen di tengah bayangan Sunrise yang mulai menghilang dari balik pintu lift.Sunrise mempercepat langkahnya menuju mobil. Begitu mendekati mobil, ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari adiknya.(“Kak, Ibu merindukanmu. Ia ingin bertemu denganmu. Bisa pulang malam ini?")Sunrise menatap layar sebentar. Udara dingin basement terasa semakin menusuk. Ia menghela napas panjang, lalu menjawab singkat.("Baiklah, aku akan segera pulang.")Tak lama, mobilnya melaju keluar dari basement hotel, menyusuri malam kota yang terang oleh lampu jalan dan gedung-gedung pencakar langit. Tapi pikirannya tidak bersama arus kendaraan. Malam ini, semua terasa begitu kompleks.Sementara itu, di tempat lain, Nick tengah duduk d
Lampu lorong kembali menyala bersamaan dengan dentingan alarm darurat yang menggema menembus dinding hotel.Sorotan lampu putih menyilaukan, menyingkap wajah-wajah panik tim keamanan yang bergegas di depan kamar 1101. Manager hotel, staf keamanan, dan teknisi berkumpul dengan napas terengah. Di antara mereka, tak satu pun tahu bahwa kegelapan barusan bukan bagian dari simulasi.Nick datang dengan langkah cepat, tubuhnya tegak seperti perisai di tengah kepanikan.“Jangan panik,” katanya lantang dan tenang. “Ini bagian dari simulasi. Tuan Khairen dan Nona Sunrise sedang menguji skenario darurat untuk sistem keamanan.”Ucapannya terdengar meyakinkan, namun tidak ada satu pun di sana yang melihat raut santai di wajahnya. Bahkan bagi Nick sendiri, ini lebih seperti misi penyelamatan.SOP memang tak pernah mencatat simulasi pemadaman total lorong. Tapi siapa yang berani membantah seorang Khairen?Tok...tok...tok...Nick mengetuk pintu. Suara ketukan yang nyaring seolah mengiris udara tegang