Share

The Ghost and I
The Ghost and I
Penulis: Nuna Ni

1. Syarat Pendamping CEO

Peringatan!

Cerita ini hanyalah sebuah fiksi, bukan berdasarkan pada kenyataan yang ada. Melainkan murni khayalan dari penulis semata.

Dan tidak ada kaitannya dengan organisasi, ras, budaya, kepercayaan agama, latar tempat, nama tokoh, dll, yang ada di kehidupan nyata.

***

Sudah hampir satu bulan, semua orang menjadi ketakutan dan berniat ingin kabur dari hotel. Rumor mengenai ruangan mendiang atasannya—Satya Gusmananda, tak lagi menjadi buah bibir semata.

Semua orang percaya bahwa CEO-nya itu masih tetap tinggal di dalam ruangannya. Ia tidak ingin ada penggantinya. Setiap kali ada seseorang yang masuk, hendak menduduki bangku kebesarannya, selalu saja gagal.

Entah bangku yang tiba-tiba terbalik sendiri. Kertas-kertas yang melayang di udara. Atau pintu ruangan yang dengan sengaja terkunci rapat dari dalam.

Dialah 'hantu' yang bernama Satya Gusmananda.

Sudah ada puluhan orang pintar, juga ahli agama. Mereka datang, berbondong-bondong dalam artian yang sama. Ingin mengusir makhluk tak kasat mata yang menghuni ruangan, juga hotel tersebut.

Tidak ada silsilah, orang mati akan menjelma menjadi hantu. Jelas itu adalah roh jahat. Mengatasnamakan dirinya sebagai CEO, di hotel & apartemen Lilac.

Atau, kita hanya sedang berjalan dalam sebuah cerita novel? Sebuah dunia fantasi yang tidak benar-benar terjadi di dalam dunia nyata. Bisa jadi.

***

'Dibutuhkan segera pegawai tetap untuk pendamping CEO. Syarat utama: Disiplin, tepat waktu, berpenampilan menarik, dan indigo. Gaji: 50 juta/bulan.'

Indira Parmadita, baru saja pulang dari kerja serabutan sebagai pecukur tanaman hias di rumah mewah. Ia sedang memandang baliho berukuran besar di pinggir jalan.

Tulisannya hanya sedikit. Jadilah, Indira gampang dalam membaca dalam jarak yang masih jauh. Itu adalah lowongan pekerjaan untuk perusahaan level atas—hotel bintang lima.

"Halah, pasti lowongan buat lulusan S1 atau S2. Percuma saja, buatku yang hanya sebagai lulusan SMA ini."

Indira menarik tali tasnya yang merosot. Berniat untuk jalan kembali, karena matahari mulai membuntutinya sejak tadi.

Tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang aneh dalam pengejaannya. Maka, untuk memastikan ulang, Indira kembali membaca tulisan yang didominasi dengan latar serba putih.

"Serius syaratnya cuma begini doang? Dapat gaji sampai 50 juta?!" kejut Indira. Sampai tak sadar, kalau dirinya sedang melotot, membiarkan tali tasnya semakin melorot.

***

Malamnya, Indira berniat untuk menulis surat lamaran pekerjaan di hotel bintang lima itu. Pendamping CEO, maksudnya adalah sekretaris 'kan? Pikir Indira yang kadung senang membaca syarat utama dalam lowongan pekerjaan itu.

"Ya, sekarang itu udah gak zaman ngelamar kerja pakai embel-embel pendidikan tinggi. Toh yang dipakai hanya skill dan kegigihan dalam bekerja. Percuma pendidikan tinggi, tapi lemah dalam mental."

Indira, tengah asik mengetik surat lamaran dan beberapa berkas yang diperlukan. Walau aslinya, tidak tercantum dalam syarat utama menjadi pegawai tetap di hotel Lilac.

Setelah selesai, Indira berpikir untuk mencari beberapa informasi terkait hotel yang akan ia datangi besok pagi.

"Hotel Lilac, merupakan salah satu hotel bintang lima yang selalu menjadi tujuan utama para pengunjung lokal ataupun turis."

Mata Indira terus bergerak, mengikuti layar laptop yang mulai ia scroll ke bawah untuk membaca lanjutannya. Aksinya berhenti, ketika pupilnya mulai membesar dan jari telunjuk yang menggerakkan mouse terangkat.

"CEO Satya Gusmananda dinyatakan meninggal dunia dalam kecelakaan beruntun."

Setelah mendapati keterangan itu, Indira langsung membuka handphone-nya dan melihat kembali gambar baliho yang tadi siang sengaja ia potret.

"Indigo. Kenapa mereka mencantumkan syarat konyol seperti ini?"

***

Disiplin dan tepat waktu. Sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya. Setidaknya Indira sudah memegang 2 keunggulan dari dirinya.

Sebenarnya Indira sudah tidak percaya diri dengan memakai kemeja putih dan rok mini merah muda, dengan heels hitam yang terlihat usang. Ia hanya berdoa, semoga heels itu akan bertahan. Setidaknya sampai ia kembali pulang ke rumah.

"Oh, Indira ...."

Ada bangunan menjulang tinggi, sedang menantikannya. Indira sangat gugup. Ini baru pertama kalinya—setelah berkali-kali ia melamar sebagai cleaning service di perusahaan besar lainnya.

"Tenang saja, Indira. Heels ini tidak akan patah ketika melewati lantai empuk di depan sana. Huft!"

Indira membereskan pakaiannya. Singkat saja, hanya dengan membenarkan roknya yang miring sedikit, dan menata kembali helaian rambut yang habis terkena angin topan kendaraan, di jalanan tadi.

Di lobi, Indira tidak menemukan orang yang dapat ia tanyai atau sekadar memberi sapaan selamat pagi. Rupanya, ia telah berangkat terlalu pagi.

Buktinya ada salah satu pegawai yang baru saja datang, tepat di belakangnya.

"Selamat pagi. Mau menginap untuk berapa orang?"

"Oh?" kejut Indira, refleks memutar tubuhnya ke arah wanita yang telah menyapanya tadi.

Buru-buru Indira mengeluarkan berkasnya, untuk diberikan pada wanita itu, yang diyakini sebagai resepsionis hotel.

"Saya datang ke sini untuk melamar pekerjaan, Mbak. Bukan untuk menginap di hotel ini."

Pegawai itu terlihat seperti terkejut setelah menerima berkas dan membaca sekilas isi di dalamnya "O-oh, baiklah. Anda dapat menunggu di sebelah sana lebih dulu."

"Oh, baiklah. Terima kasih."

Indira harusnya tahu. Alasan resepsionis itu mengeluarkan ekspresi pucat di wajahnya.

'Tidak apa-apa, Indira. Demi 50 juta, apapun itu kamu harus bisa menjalaninya!'

Baru mendaratkan pantatnya di sofa, beberapa menit kemudian datang seorang pria bertubuh kekar, berdiri tepat di depan Indira.

"Apa Anda yang bernama Nona Indira Parmadita?" sapanya, yang diyakini Indira sebagai petugas keamanan di hotel tersebut.

Indira mengangguk pasti. "Iya, saya Indira."

"Kalau begitu, mari Anda dapat ikut saya untuk menemui pak Sandi."

"Baik!"

Sepertinya rumor itu telah menghilang. Ya, itu hanyalah asumsi Indira sesaat. Setelah mendengar nama—Sandi, sebagai atasannya nanti.

"Loh, Pak? Saya mau dibawa ke mana?"

Bukannya naik ke lantai atas, pegawai berseragam serba hitam itu malah menggiring Indira agar masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya di halaman kantor.

"Bapak Sandi tidak ada di sini. Jadi, Anda harus pergi menemui beliau."

"Memangnya, sekarang ini pak Sandi sedang ada di mana?"

***

Sebenarnya, apa yang sedang Indira lakukan? Pergi melamar pekerjaan atau akan menjelma menjadi putri kerajaan, di negeri dongeng?

Setelah menaiki mobil bernilai ratusan juta rupiah, kini ia disuguhi dengan pemandangan rumah megah bak istana. Indira seperti sedang bermimpi. Ia berharap, bangun nanti kasurnya tidak akan basah akibat kegirangan di dunia mimpinya.

"Nona, silakan masuk."

"Emm, Pak! Tunggu sebentar!" cegah Indira, saat pria yang membawanya ke rumah gedongan itu, sudah bersiap akan membukakan pintu untuknya.

"Ya, Non?"

"Duh, Pak. Jangan panggil saya dengan sebutan begitu. Saya jadi gak enak."

"Tidak apa-apa, Nona. Karena semua pegawai hotel yang berjenis kelamin perempuan, akan saya panggil dengan sebutan 'nona' juga."

Ah, begitu alasannya. Indira hanya terkekeh sebentar. Lalu mengulurkan tangan, meminta pria berusia di atas 40 tahun untuk melanjutkan pekerjaannya.

Indira memang sudah hidup miskin sejak ia dilahirkan di dunia. Seperti tidak ada garis keturunan akan menjadi seorang putri, atau pewaris kekayaan dari keluarga konglomerat.

Satu langkah Indira memasuki ruangan, ia sudah menduga. Bahwa tidak akan ada kecoa atau serangga lainnya yang berani masuk ke dalam rumah—ah, bukan. Istana kerajaan, layaknya di negeri dongeng, namanya.

Lukisan berukuran besar. Sofa kulit bernilai puluhan juta rupiah. Belum lagi dengan berbagai macam guci kinclong yang mampu membuat silau penglihatan Indira.

"Nah, Anda bisa langsung menjalani tes wawancara dengan pak Sandi sekarang."

"Oh?"

Setelah digiring lebih dalam masuk ke dalam rumah, ada sosok pria tua yang mungkin lebih tua dibandingkan dengan pria sebelumnya. Indira bingung harus memulai dari mana.

"Kau yang bernama Indira Parmadita?" panggilnya yang sedang duduk di meja makan.

"I-iya, Pak!" Walau tidak gugup. Tetap saja irama jantung Indira tidak normal.

"Apa keahlianmu?"

Satu hal yang dapat ditangkap Indira. Pak Sandi ini tidak suka dengan pembicaraan yang bertele-tele. Buktinya, beliau langsung menanyakan inti dari obrolan pagi ini.

"Disiplin, tepat waktu, dan berpenampilan menarik?" Indira mengucapkannya dengan sedikit ragu.

"Saya tidak mencari pegawai yang seperti itu. Jadi, lebih baik kamu mencari peker—"

"Em ..., sa-saya indigo, Pak!" seru Indira, memotong cepat ucapan pria tua yang bernama Sandi Gusmananda itu.

***

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status