Home / Mafia / The Mafia's Deceptive Bride / BAB 1 - TAMU TAK DIUNDANG

Share

The Mafia's Deceptive Bride
The Mafia's Deceptive Bride
Author: Shiva Jodi

BAB 1 - TAMU TAK DIUNDANG

Author: Shiva Jodi
last update Last Updated: 2025-12-20 01:27:23

"Lukisan ini palsu."

Suara bariton yang berat itu memecah keheningan Galeri Artéfact yang seharusnya sudah sejak tadi sunyi. Alana tidak menoleh. Matanya yang tajam, masih terpaku pada kaca pembesar yang ia pegang erat. Meneliti retakan halus pada kanvas di hadapannya. Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul sepuluh malam lewat tujuh belas menit. Galeri seharusnya sudah tutup dan terkunci. Tamu yang datang selarut ini, apalagi berani mendikte keaslian karya, jelas bukan tamu yang diundang.

"Maaf, Tuan. Galeri sudah tutup," jawab Alana dingin, nada suaranya penuh otoritas. Ia terus memegang kaca pembesar, fokusnya hanya pada objek lukisan yang tergeletak di atas meja periksa. "Dan Anda salah. Ini asli. Surya Kelana, ‘Senja yang Memudar’, tahun 1952. Konservasi terakhir dilakukan tahun 2018. Semua detail teknis sudah tervalidasi."

"Kau yakin, Nona Nareswari?"

Nada suaranya yang tiba-tiba berubah, membuat Alana menegakkan punggungnya. Seketika udara di dalam ruangan terasa menipis. Di ambang pintu ruangan kerja pribadinya—ruangan yang seharusnya terkunci rapat dari dalam—berdiri seorang pria.

Dia tinggi, menjulang. Setelan jas hitam yang memeluk tubuh tegapnya seakan perisai dengan kekuatan tersembunyi. Wajahnya? Tampan, dengan garis rahang yang tegas dan mata yang… mata yang terlalu tajam, seperti elang yang mengintai mangsanya. Aura berbahaya yang pekat, membuat bulu kuduk Alana meremang.

"Siapa Anda?" tanya Alana tajam, tangannya perlahan bergerak ke bawah meja."Bagaimana bisa Anda masuk ke sini? Semua pintu masuk sudah terkunci dari dalam."

Pria itu tidak menjawab. Dia melangkah santai, langkahnya nyaris tanpa suara di atas lantai marmer. Gerakannya anggun namun penuh ancaman. Dia mendekati meja, jari telunjuknya yang panjang dan bersih mengetuk pelan bingkai lukisan ‘Senja yang Memudar’ karya legendaris Surya Kelana itu.

"Bau minyak terpentin," gumam pria itu, tatapannya kini beralih ke wajah Alana, menatapnya lekat. "Untuk lukisan tahun 1950-an, baunya terlalu... segar. Terlalu kuat. Seperti baru dicat semalam."

Alana mendengus, dia jelas tersinggung. "Anda meragukan kompetensi saya? Nomor registrasi kolektor lama sudah terukir halus di sudut kiri bawah. Wax seal dari Balai Lelang Wina utuh, bukti integritasnya. Stretcher bar menggunakan pin kayu jati asli, metode yang lazim digunakan pada era itu." Ia menegakkan dagunya, menantang. "Semua bukti otentisitas ada di sana. Anda hanya kurang teliti."

"Detail teknis bisa dipalsukan, Nona Nareswari," potong pria itu cepat, suaranya datar namun menusuk. "Semuanya, dari nomor registrasi hingga serat kayu jati. Tapi jiwa... jiwa lukisan, emosi yang terpancar dari setiap sapuan kuas, itu tidak bisa dibohongi. Dan lukisan ini, meski indah, terasa hampa. Sesuatu telah diambil darinya."

"Keluar!" perintah Alana, suaranya kini sangat dingin. Jemarinya menekan tombol panik yang tersembunyi. Jantungnya berdetak kencang, tapi dia berusaha keras untuk tenang. "Atau saya panggil keamanan."

Pria itu tersenyum miring. Entah kenapa senyumnya membuat jantung Alana berdetak lebih cepat. "Keamanan di bawah sedang tidur nyenyak, Nona Manis. Kopi mereka sepertinya... terlalu kuat malam ini. Atau mungkin ada bahan tambahan yang lebih kuat daripada kopi."

Mata Alana membelalak mendengar ucapannya. Sistem keamanan di galerinya mestinya rahasia. "Apa maumu?" suara tercekat, lebih seperti bisikan memohon daripada pertanyaan.

Sebelum pria itu sempat menjawab, dering ponsel Alana memecah situasi yang mencekam. Alana melirik layar. Ayah!

"Angkatlah," kata pria asing itu, mundur selangkah, kedua tangannya kini dimasukkan ke dalam saku jasnya. Ia terus mengamati Alana dengan ekspresi yang tak terbaca. "Sepertinya penting. Sesuatu tengah terjadi di luar sana."

Dengan tangan gemetar, Alana menggeser tombol hijau. "Halo? Ayah, ada orang gila masuk ke—"

"Dengarkan aku. Jangan bicara." Suara Tuan Danu di seberang sana terdengar tajam, dingin, dan asing. Bukan nada suara ayahnya yang biasa ia kenal–penuh kehangatan dan tawa. "Jangan sebut namaku. Jangan sebut lokasimu."

Alana terdiam, napasnya tertahan. Matanya terkunci pada pria asing di depannya, yang kini sedang mengamati kukunya dengan santai seolah percakapan rahasia itu sama sekali tidak mengganggunya.

"Ayah... ada apa?" bisik Alana, suaranya nyaris tak terdengar.

"Kau harus pergi. Sekarang!" perintah Tuan Danu. Suaranya pecah oleh urgensi yang mendesak. "Tinggalkan galeri. Jangan pulang ke apartemenmu. Apa pun yang terjadi, jangan kembali ke sana."

"Kenapa, Ayah?" Alana kebingungan dan ketakutan.

"Rumah lama. Di Menteng," desis ayahnya, nada suaranya semakin rendah dan tertekan. "Ingat daybed antik di kamarmu? Ada kotak besi di dalamnya. Ambil, dan menghilang. Lakukan apa pun yang kau bisa untuk menghilang."

"Menghilang? Ayah, aku besok ada event penting dengan klien dari Singapura—"

"Lupakan event! Lupakan hidupmu!" bentak Tuan Danu. Malam ini sangat berbeda. Ayahnya yang biasanya selalu tenang. "Jangan pakai kartu kredit. Jangan hubungi siapa pun. Buang ponselmu setelah ini. Semuanya."

"Ayah?" Alana berbisik, rasa dingin merayap di tulang punggungnya. Alana merasa seakan ini semua sudah direncanakan.

"Mereka sudah bergerak, Alana. Mereka mengincar 'Buku Besar' itu. Dan sekarang," suara ayahnya meredup, terdengar seperti sedang berbisik dari lubang neraka, "mereka mengincarmu. Tetaplah hidup, Alana. Ayah sayang kamu!"

Sambungan terputus.

Alana menurunkan ponselnya perlahan, telapak tangannya terasa dingin dan basah. Wajahnya pucat pasi. Ia menatap pria asing itu lagi, sosok tinggi yang kini berdiri diam di ambang pintu, seolah menunggu. Apakah pria ini yang dimaksud ayahnya? Apakah dia salah satu dari mereka? Dan siapakah mereka?

"Kabar buruk dari Papa?" tanya pria itu. Nada suaranya berubah. Tidak lagi mengejek, tapi ada sentuhan waspada, seolah ia baru saja mendeteksi ancaman yang sama.

Alana menyambar kunci mobil di atas meja, lalu beranjak cepat. "Minggir."

Pria itu justru melangkah menghalangi jalan Alana. Tubuhnya yang besar dan kokoh memblokir pintu keluar, seolah tak tergoyahkan. "Kalau ayahmu barusan menyuruhmu lari, dia terlambat, Nona Manis. Mereka sudah menemukanmu."

"Apa maksudmu?" Suara Alana bergetar, ia mencoba menahan rasa paniknya.

Pria itu menunjuk ke arah jendela kaca besar yang menghadap jalan raya utama. Di bawah sana, dua buah SUV hitam baru saja berhenti di depan lobi galeri. Pintu-pintunya terbuka dengan kasar, memuntahkan beberapa pria berbadan tegap yang bergerak dengan efisiensi pemburu.

"Mereka sudah di sini," kata pria asing itu pelan, suaranya terdengar lebih serius dari sebelumnya. Ia menatap Alana kembali, seakan tidak memberi kesempatan wanita di hadapannya pergi. "Kau sekarang mempunyai dua pilihan, Alana. Keluar lewat pintu depan, menghadapi mereka, dan mati konyol. Atau..."

"Atau apa?" Suara Alana tercekat di tenggorokannya.

Pria itu mengulurkan tangannya, telapaknya terbuka, sebuah tawaran yang tidak bisa ia tolak, namun juga terasa seperti jebakan.

"Atau ikut aku lewat pintu belakang. Sekarang.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Rosy Syiddah
baru baca udah degdegan sendiri, jadi ikutan panik sendiri ......
goodnovel comment avatar
Lia Anggraini
baru baca udah bkin deg degan ni ceritamya
goodnovel comment avatar
Ade Novita
baru baca bab awal udah tegang banget
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • The Mafia's Deceptive Bride   BAB 22 - Sang Arsitek

    Alana menjulurkan tangan, siap untuk menarik pistol di ikat pinggangnya, melawan dengan kejam.Ia menyadari itu. Julian sengaja menunggu mereka kabur, hanya untuk memergokinya di detik-detik paling kritis. Jika Alana menarik pelatuk sekarang, itu adalah keributan. Keheningan Dermaga Angke adalah penyamaran mereka yang paling vital.Ia mengambil napas dingin dari udara malam yang berminyak, menutup mata selama satu setengah detik, insting fisiknya menang atas protokol seniman. Ia meninggalkan pistol itu.Gerakan itu secepat pemangsa. Tubuhnya bergerak rendah, mempraktikkan pelajaran dari sesi Malam Kedua, Silent Tread, yang Atlas sebut "Seni Membungkam Musuh." Alana melompat ke belakang ceruk pipa saluran air yang besar. Kedua pengawal Julian terlalu fokus pada titik keluar, yakin Alana masih terjebak di jalur sempit.Pengawal satu: berdiri tegak, memegang senapan dengan profesionalisme militan yang tidak sesuai dengan lingkungan Varma. Pengawal du

  • The Mafia's Deceptive Bride   BAB 21 - UJIAN KEPERCAYAAN

    Alana mengabaikan bau antiseptic dari lukisan Atlas dan bau lembap dari lingkungan Sanitarium Dharma Asih. Insting pertamanya setelah mengambil jarum suntik tipis berisi zat neuro-sinapsis itu adalah untuk berlari, meninggalkan Nomar Baru yang rapuh dan suaminya yang masih pincang di belakangnya. Dia tahu Atlas tidak menganggap ini misi penyelamatan, tetapi misi pembersihan dan akuisisi aset. Risa hanyalah sebuah umpan untuk melumpuhkan Julian Varma sepenuhnya. “Aku sudah mengamankan kanal komunikasi dari koneksi Nomad di Utara,” bisik Alana ke mikrofon di jam tangan satelit, suaranya teredam oleh desah angin kencang Jakarta Utara yang lembap. Udara di luar dingin, basah, dan bau garam bercampur minyak diesel dari dermaga memanjat dinding penyaringan suara. “Julian menggunakan jaringan lama Varma, yang paling mudah dilacak. Target kita, Nona, berada di dalam Gudang Logistik Tua di Dermaga Angke Timur. Hanya enam puluh menit tersisa sebelum dia mulai menyiksa aset

  • The Mafia's Deceptive Bride   Bab 25 - Obsesi yang Menghangatkan

    “Atlas, kita dijebak, cepat! Bawa aku lari, sekarang!” seru Alana.Lampu-lampu marmer yang menyinari lorong Ruang Mediasi Varma mati total, seolah ada tangan yang secara kejam menarik sumbunya. Kegelapan mutlak turun dalam waktu sepersekian detik, diselingi oleh bunyi senapan otomatis yang ditarik dari jarak tiga meter.Alana tidak membuang waktu. Dalam gelap, Matriark Varma berseru: “Maya, bawa pergi dokumennya! Nomar, keluar!”Kekacauan itu adalah lapisan kegembiraan murni yang kejam di tengah kepanikan. Adrenalin, selalu datang disajikan di piring paling brutal.Atlas tidak bicara. Ia bergerak. Tangan kanannya, meskipun perih karena luka yang belum sepenuhnya pulih, mencengkeram lengan atas Alana dengan cengkeraman baja. Dia menarik Alana melalui pintu samping tersembunyi, jalur evakuasi Matriark Varma yang telah ia pelajari sebelum malam itu.Tembakan menyalak di belakang mereka. Itu adalah peringatan dari Faksi Agra, tetapi jaraknya

  • The Mafia's Deceptive Bride   Bab 24 - Pertunjukan Opera Varma

    "Keluar dari mobil, sekarang! Tuan Varma. Kami tahu apa yang baru saja kalian curi di Bogor!" teriak salah satu komandan keamanan Agra, mengacungkan senjata besarnya ke arah kaca mobil mereka, siap menembak tanpa perintah.Alana tidak bergeming. Keindahan gaun sutra ungu yang mahal, hadiah Atlas, tiba-tiba terasa seperti baju zirah yang menekan udara keluar dari dadanya. Udara dingin di luar mobil diserap sepenuhnya, membawa serta bau klorofom yang halus dari pengawal Agra, bau bahaya yang sudah dikenalnya sejak lama.“Tahan tembakan, Kapten Arlan,” suara Atlas keluar dari interior mobil. Itu adalah perintah tenang yang diperkuat melalui sistem transmisi Nomad. Dia tidak mematikan mesin. “Kau tahu protokol, bukan? Agra Varma tidak diizinkan membuat kekacauan domestik di perjamuan Matriark. Itu akan memprovokasi Dewan.”“Kami memiliki instruksi berbeda, Tuan Atlas! Anda meretas aset krusial di Gudang Nareswari! Serahkan chip curian itu!” tuntut komandan Agr

  • The Mafia's Deceptive Bride   BAB 23 - KEMBALI KE SARANG

    "Tuan Varma, Nyonya Nareswari," sapa wanita itu, suaranya seperti bilah es. "Anda harus segera datang. Anda telah diminta untuk presentasi di Dewan Kuno.""Sudah kuduga," Atlas menggerutu. Dia mendapati kejutan lagi. Waktunya semakin menipis. Pilihan mereka sekarang: kembali ke sarang musuh untuk sebuah presentasi yang mematikan.Wanita Matriark itu tersenyum singkat, sebuah sentuhan menyeramkan yang menegaskan kedekatan bahaya. "Agenda pertama Dewan adalah menyelidiki mengapa aset berharga di Bogor dirampas dan kemudian dilacak, Nyonya Nareswari. File rahasia Ayah Anda telah digunakan untuk menyerang Matriark. Pertunjukan kecil Anda dengan Julian tidak dapat menipu Matriark lama.""Mereka mencuri apa?" tanya Alana, semua adrenalin Priok menguap seketika. Misi mereka, menyabotase Priok, memang berhasil. Tapi kerugian kecil kini telah berubah menjadi kerugian total. Agra baru saja mengaktifkan serangan baliknya, dan Agra berhasil masuk ke arsip rahasia Danu

  • The Mafia's Deceptive Bride   BAB 17 - MENETAPKAN ATURAN BARU

    Alana berdiri. Ia baru saja merobek kabel komunikasi terpenting milik Atlas, dan semenit sebelumnya, membenturkan Buku Besar keras-keras ke lutut Atlas yang terluka. Sensasi adrenalin membanjiri rasa jijik. Darah kering mengeras di tangan Atlas saat ia membuka mata yang tadi terpejam. Ekspresi kejutan total sudah sirna, berganti menjadi penerimaan dingin. Atlas menatap lurus ke Buku Besar yang kini terbaring di atas nakas, kemudian kembali pada Alana.“Sapaan yang kasar dari Nyonya Buku Besar,” desahnya, rasa sakitnya terdengar jelas, meskipun disembunyikan. “Jadi, apa syaratnya sekarang? Katakan semuanya. Cepat. Sebelum jaringanku, atau Jaringan Agra, mendeteksi kerusuhan ini.”“Kau memberiku koin untuk membuat Julian sibuk. Itu rencanamu yang buruk, Adhitama. Rencana yang seharusnya aku nikmati sendirian,” balas Alana, suaranya tenang, datar. Ia berjalan ke pinggiran ranjang perawatan dan mengambil sarung tangan lateks baru dari bungkusan yang tersedia.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status