Share

Celakalah Zero

Mata Zero yang remang-remang seolah banyak bintang, kini sudah cerah kembali. Tatapannya sedikit heran, karena semua yang ia lihat hanya putih gamlang.

Langit-langit dan semua dinding nampak putih bersih saat ia mulai sadarkan diri. Ia merasa sedang berada di sebuah tempat asing yang sama sekali tak ia kenal.

Zero mengerjatkan tubuhnya bergegas bangkit dari ranjang berkaki besi.

"Hei ... akikah bangun juga, yeee?" Cakap Monik sahabatnya, sambil menyelipkan rambut halus di telinganya.

Zero mengedipkan mata, menyidik wajah Monik semakin dekat.

"Huft! aku kira siapa? Bagaimana dengan Bos? Wanita itu?"

Bukan Nenek tua yang ia tanyakan. Tapi sebelum Zero tak sadarkan diri, matanya tertuju pada seorang wanita tinggi semampai yang merangkul Nenek tua, dan melindungi dari mobil yang di kemudikannya.

"Santuy! Bos lagi nyenyong sama kiwk kiwk di lapang barunya ...," Balas Monik berlagak cantik.

Bahasa itu mengartikan "Santai saja, Bos sedang asyik nyanyi sama cewek cantik di tempat barunya,"

Memang Monik tak pernah serius, tapi kalau di bidang solidaritas sesama sahabat, dia paling jagonya.

Sekali dia sudah perduli, maka apapun bakalan ia lakukan. Tapi sebaliknya, kalau dia sudah membenci, kepalan tangan sebesar jambu batu akan menghantam kepada siapa saja yang mengganggunya.

Zero nampak sedikit lega, dan mulai merebahkan badannya kembali di atas blankar sebuah klinik.

Lukanya tidak begitu parah, hanya karena terpental di atas stir mobil, Zero tak sadarkan diri hingga balutan perban menggulung bagian kepalanya.

Tapi, bukan rasa sakit yang ia rasakan. Namun Zero sedang membayangkan kejadian sebelumnya yang telah ia lewati sebelum dirinya tergeletak di atas blankar itu.

Berapa korban yang telah ia lukai?

Dan Bagaimana keadaan mobil yang ia kendarai? Zero terus melamun mengingat-ingat kembali apa yang sudah terjadi? 

"Yey! gak usah pusiang! tenang sajja!" Monik menenangkan Zero.

Zero bangkit lagi, dan tubuh kekarnya seolah sudah segar kembali.

"Bawa aku pulang saja!"

"Tinta! yey tetap di sini sampe Bos Dady datang ye!"

Tubuh Zero nampak tegang. Rasa takut mengerubuni perasaan Zero. Karena ia yakin masalahnya akan rumit kalau sudah berurusan dengan sang Bos.

Terlebih ingatannya masih terpaut pada seorang wanita baik yang menyelamatkan nenek tua itu.

"Balik yuk! urusan Bos belakangan aja! aku capek. Pengen tidur di apartemen aja!" pinta Zero pura-pura kuat.

"Adindang yakin? sudah tinta sekong lagi?" [Kamu yakin? sudah tidak sakit lagi?"]

"Ho'oh! ayu ah! jangan banyak bacot! antar gue balik rumah!"

"Okelah kalau begitu!"

Monik menggaet tas merah jambunya, lalu tubuh tinggi kekar berambut panjang itu membantu Zero turun dari blankar klinik dengan menggopoh sedikit demi sedikit badan Zero yang masih kaku.

"AAhh, Aw! pelan tau!" Zero menoyor Monik dan mereka nampak sangat akrab sekali.

"Salah akikah dimana ye? indang saja yang parna sekali! greget deh ach!" candanya sambil keluar dari ruangan itu.

Melewati jalur belakang, mereka keluar tanpa sepengetahuan dari pihak klinik. Itu sudah biasa mereka lakukan karena mereka paling tidak menyukai sesuatu yang terkait dengan sebuah prosedur. Mereka libas cuek tanpa menggubris aturan apapun.

Sambil melajukan mobilnya dengan santai, Si Monik terus mengemudi dengan cermin yang tak pernah jauh di hadapannya.

Sedang Zero masih meringis kesakitan duduk di belakang dengan kaki di naikan ke atas jok mobil.

"Kamu tahu kenapa aku bisa sampai di klinik itu?" tanya Zero iseng sambil memijat tangannya sendiri.

"Mene ketehe," [Mana ku tahu,] balas Monik melihat Zero di balik cerminnya.

Zero sedikit menyampingkan bokongnya, dan menarik handphone di balik saku bagian belakang celananya.

"Jrit! ANCUR!" sergah Zero menepuk-nepuk handphonenya yang sudah terlihat remuk.

"Hahaha ... rasain lo!"

Kling!

Suara satu pesan masuk sedikit memberinya harapan untuk handphonenya hidup kembali.

Saat ia cepat melihat isi inbox dengan layar yang sudah retak, Zero nampak semangat.

Ia fokus mengotak atik layar tanpa menghiraukan Si Monik.

"Siape?" tanya Monik penasaran.

Mata Zero sedikit mengernyit. Keningnya berkerut, dan semangatnya surut lagi.

"Bos Dady,"

"Apose? katanya?"

"Masa dia ngasih bil bayaran atas kerusakan mobil dia, mana gue harus potong gaji. Huft! nasib!"

Zero mulai muraung dan mengacak-acak lagi isi handphonenya agar normal kembali.

Dan suara pesan kembali datang mengejutkan Zero.

"Tunggu aku malam ini ya!" isi inbox dengan nomor tak ia kenal.

'Siapa ini?' bisik hatinya dengan wajah heran.

Zero nampak mengelus janggut halusnya dengan ukuran satu mili, Ia mengira-ngira, dan tetap tak ada sedikit pun bayangan di otaknya.

"Cap cus! sampei juga yey! aku antar ya?"

"Gak usah! terimakasih ya say!"

Hanya dengan sebutan itu saja, membuat Monik melayang-layang bahagia.

Zero keluar perlahan dari mobil Monik, dan jalan berjinjit sedikit menahan rasa sakitnya.

Setelah ia sampai, Zero nampak sedikit kebingungan dengan keadaannya yang di rasa masih belum normal. Zero melihat gedung apartemen pencakar langit dengan nanar.

Ia membulatkan pandangannya, dan mau tidak mau tetap dia harus sampai di apartemen dengan lantai menjulang sangat tinggu, dengan melewati beberapa bangunan lainnya yang berukuran sangat luas.

Wajah meringis kesakitan, dengan jalan sedikit terpingkal-pingkal menahan rasa sakitnya, Zero tetap gigih maju untuk segera sampai di tempat peristirahatan yang paling nyaman.

Saat perjuangannya berjalan jauh sampai memasuki lift, dan keluar lagi. Akhirnya Zero sampai tepat di depan apartemennya.

Namun rasa heran kembali datang di benaknya.

Kunci yang ia pakai bukannya tidak berfungsi, melainkan pintu yang ia kunci sebelumnya sudah terbuka, dan ia hanya tinggal membuka dengan memutar gagang pintu saja.

Kreeek!

Ia membukanya dengan perlahan.

Kakinya mulai melangkah pelan, takut ada sebuah ancaman di dalamnya.

Satu ruangan berhasil ia lewati dengan aman dan tak ada satu pun orang di dalamnya, kini ia mulai memasuki ruangan selanjutnya.

Ruangan tengah dengan lahan yang sangat luas itu terdapat banyak peralatan modern. Hingga apartemennya memang terlihat sangat kekinian.

Setelah di rasa rumahnya aman tanpa ada orang di dalamnya, Zero meregangkan tubuhnya di atas sofa berwarna merah bata dengan bahan sweady yang selalu menghangatkannya.

Kakinya ia angkat sampai di atas meja. Lalu ia bersantai sejenak menarik nafas panjang setelah beberapa perjalanan menguras tenaganya.

Baru saja ia akan memejamkan matanya untuk relax, Zero merasakan ada sesuatu yang dingin menggerayangi bagian dadanya, dan rasa itu datang dari arah belakang.

"Sayaaaang ...!" bisiknya halus di telinga Zero yang masih menahan agar matanya tetap terpejam.

'Hah? sayang?' gemuruh hati Zero bertanya-tanya.

Rasa dingin itu sekarang mulai menjalari seluruh lehernya.

Dengat kilat Zero bangkit dan terkejut hingga melupakan rasa sakitnya.

"Siapa kamu? hah?" teriaknya sambil berjalan mundur di samping sofa itu.

Tatapan takut itu seolah ia sembunyikan dengan memasang kuda-kuda untuk membela dirinya.

***

Mau tahu siapa?

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status