Home / Romansa / The Shadows Man / Celakalah Zero

Share

Celakalah Zero

Author: Cristhina
last update Huling Na-update: 2021-09-06 22:29:36

Mata Zero yang remang-remang seolah banyak bintang, kini sudah cerah kembali. Tatapannya sedikit heran, karena semua yang ia lihat hanya putih gamlang.

Langit-langit dan semua dinding nampak putih bersih saat ia mulai sadarkan diri. Ia merasa sedang berada di sebuah tempat asing yang sama sekali tak ia kenal.

Zero mengerjatkan tubuhnya bergegas bangkit dari ranjang berkaki besi.

"Hei ... akikah bangun juga, yeee?" Cakap Monik sahabatnya, sambil menyelipkan rambut halus di telinganya.

Zero mengedipkan mata, menyidik wajah Monik semakin dekat.

"Huft! aku kira siapa? Bagaimana dengan Bos? Wanita itu?"

Bukan Nenek tua yang ia tanyakan. Tapi sebelum Zero tak sadarkan diri, matanya tertuju pada seorang wanita tinggi semampai yang merangkul Nenek tua, dan melindungi dari mobil yang di kemudikannya.

"Santuy! Bos lagi nyenyong sama kiwk kiwk di lapang barunya ...," Balas Monik berlagak cantik.

Bahasa itu mengartikan "Santai saja, Bos sedang asyik nyanyi sama cewek cantik di tempat barunya,"

Memang Monik tak pernah serius, tapi kalau di bidang solidaritas sesama sahabat, dia paling jagonya.

Sekali dia sudah perduli, maka apapun bakalan ia lakukan. Tapi sebaliknya, kalau dia sudah membenci, kepalan tangan sebesar jambu batu akan menghantam kepada siapa saja yang mengganggunya.

Zero nampak sedikit lega, dan mulai merebahkan badannya kembali di atas blankar sebuah klinik.

Lukanya tidak begitu parah, hanya karena terpental di atas stir mobil, Zero tak sadarkan diri hingga balutan perban menggulung bagian kepalanya.

Tapi, bukan rasa sakit yang ia rasakan. Namun Zero sedang membayangkan kejadian sebelumnya yang telah ia lewati sebelum dirinya tergeletak di atas blankar itu.

Berapa korban yang telah ia lukai?

Dan Bagaimana keadaan mobil yang ia kendarai? Zero terus melamun mengingat-ingat kembali apa yang sudah terjadi? 

"Yey! gak usah pusiang! tenang sajja!" Monik menenangkan Zero.

Zero bangkit lagi, dan tubuh kekarnya seolah sudah segar kembali.

"Bawa aku pulang saja!"

"Tinta! yey tetap di sini sampe Bos Dady datang ye!"

Tubuh Zero nampak tegang. Rasa takut mengerubuni perasaan Zero. Karena ia yakin masalahnya akan rumit kalau sudah berurusan dengan sang Bos.

Terlebih ingatannya masih terpaut pada seorang wanita baik yang menyelamatkan nenek tua itu.

"Balik yuk! urusan Bos belakangan aja! aku capek. Pengen tidur di apartemen aja!" pinta Zero pura-pura kuat.

"Adindang yakin? sudah tinta sekong lagi?" [Kamu yakin? sudah tidak sakit lagi?"]

"Ho'oh! ayu ah! jangan banyak bacot! antar gue balik rumah!"

"Okelah kalau begitu!"

Monik menggaet tas merah jambunya, lalu tubuh tinggi kekar berambut panjang itu membantu Zero turun dari blankar klinik dengan menggopoh sedikit demi sedikit badan Zero yang masih kaku.

"AAhh, Aw! pelan tau!" Zero menoyor Monik dan mereka nampak sangat akrab sekali.

"Salah akikah dimana ye? indang saja yang parna sekali! greget deh ach!" candanya sambil keluar dari ruangan itu.

Melewati jalur belakang, mereka keluar tanpa sepengetahuan dari pihak klinik. Itu sudah biasa mereka lakukan karena mereka paling tidak menyukai sesuatu yang terkait dengan sebuah prosedur. Mereka libas cuek tanpa menggubris aturan apapun.

Sambil melajukan mobilnya dengan santai, Si Monik terus mengemudi dengan cermin yang tak pernah jauh di hadapannya.

Sedang Zero masih meringis kesakitan duduk di belakang dengan kaki di naikan ke atas jok mobil.

"Kamu tahu kenapa aku bisa sampai di klinik itu?" tanya Zero iseng sambil memijat tangannya sendiri.

"Mene ketehe," [Mana ku tahu,] balas Monik melihat Zero di balik cerminnya.

Zero sedikit menyampingkan bokongnya, dan menarik handphone di balik saku bagian belakang celananya.

"Jrit! ANCUR!" sergah Zero menepuk-nepuk handphonenya yang sudah terlihat remuk.

"Hahaha ... rasain lo!"

Kling!

Suara satu pesan masuk sedikit memberinya harapan untuk handphonenya hidup kembali.

Saat ia cepat melihat isi inbox dengan layar yang sudah retak, Zero nampak semangat.

Ia fokus mengotak atik layar tanpa menghiraukan Si Monik.

"Siape?" tanya Monik penasaran.

Mata Zero sedikit mengernyit. Keningnya berkerut, dan semangatnya surut lagi.

"Bos Dady,"

"Apose? katanya?"

"Masa dia ngasih bil bayaran atas kerusakan mobil dia, mana gue harus potong gaji. Huft! nasib!"

Zero mulai muraung dan mengacak-acak lagi isi handphonenya agar normal kembali.

Dan suara pesan kembali datang mengejutkan Zero.

"Tunggu aku malam ini ya!" isi inbox dengan nomor tak ia kenal.

'Siapa ini?' bisik hatinya dengan wajah heran.

Zero nampak mengelus janggut halusnya dengan ukuran satu mili, Ia mengira-ngira, dan tetap tak ada sedikit pun bayangan di otaknya.

"Cap cus! sampei juga yey! aku antar ya?"

"Gak usah! terimakasih ya say!"

Hanya dengan sebutan itu saja, membuat Monik melayang-layang bahagia.

Zero keluar perlahan dari mobil Monik, dan jalan berjinjit sedikit menahan rasa sakitnya.

Setelah ia sampai, Zero nampak sedikit kebingungan dengan keadaannya yang di rasa masih belum normal. Zero melihat gedung apartemen pencakar langit dengan nanar.

Ia membulatkan pandangannya, dan mau tidak mau tetap dia harus sampai di apartemen dengan lantai menjulang sangat tinggu, dengan melewati beberapa bangunan lainnya yang berukuran sangat luas.

Wajah meringis kesakitan, dengan jalan sedikit terpingkal-pingkal menahan rasa sakitnya, Zero tetap gigih maju untuk segera sampai di tempat peristirahatan yang paling nyaman.

Saat perjuangannya berjalan jauh sampai memasuki lift, dan keluar lagi. Akhirnya Zero sampai tepat di depan apartemennya.

Namun rasa heran kembali datang di benaknya.

Kunci yang ia pakai bukannya tidak berfungsi, melainkan pintu yang ia kunci sebelumnya sudah terbuka, dan ia hanya tinggal membuka dengan memutar gagang pintu saja.

Kreeek!

Ia membukanya dengan perlahan.

Kakinya mulai melangkah pelan, takut ada sebuah ancaman di dalamnya.

Satu ruangan berhasil ia lewati dengan aman dan tak ada satu pun orang di dalamnya, kini ia mulai memasuki ruangan selanjutnya.

Ruangan tengah dengan lahan yang sangat luas itu terdapat banyak peralatan modern. Hingga apartemennya memang terlihat sangat kekinian.

Setelah di rasa rumahnya aman tanpa ada orang di dalamnya, Zero meregangkan tubuhnya di atas sofa berwarna merah bata dengan bahan sweady yang selalu menghangatkannya.

Kakinya ia angkat sampai di atas meja. Lalu ia bersantai sejenak menarik nafas panjang setelah beberapa perjalanan menguras tenaganya.

Baru saja ia akan memejamkan matanya untuk relax, Zero merasakan ada sesuatu yang dingin menggerayangi bagian dadanya, dan rasa itu datang dari arah belakang.

"Sayaaaang ...!" bisiknya halus di telinga Zero yang masih menahan agar matanya tetap terpejam.

'Hah? sayang?' gemuruh hati Zero bertanya-tanya.

Rasa dingin itu sekarang mulai menjalari seluruh lehernya.

Dengat kilat Zero bangkit dan terkejut hingga melupakan rasa sakitnya.

"Siapa kamu? hah?" teriaknya sambil berjalan mundur di samping sofa itu.

Tatapan takut itu seolah ia sembunyikan dengan memasang kuda-kuda untuk membela dirinya.

***

Mau tahu siapa?

Bersambung ...

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • The Shadows Man   Mayat Pertama.

    Telapak tangan besar itu semakin membuntal gagang pisau berujung tajam. Ia melinting kemeja putihnya, dan meregangkan dasi serta kancing di bagian leher teratasnya. Malam menunjukan jam 00.00. Suara riuh hewan malam diiringi deburan ombak di tepian pantai mahakan membuat gemuruh pendengarannya semakin mencekam. Tak ada satu kepalapun terlintas berlalu lalang di sekitarnya. Hanya ada dia, dan sebilah pisau yang akan ia mainkan malam itu. 'Andai ada pilihan lain, pasti aku akan menolak untuk jadi pembunuh. Tapi ... ini semua aku lakukan untuk sang guru.' riuh isi hatinya mempertegas langkahnya. Tak terasa tempat yang ia tuju sudah semakin dekat. Petakan rumah padat yang sudah sangat sepi aktivitas. Zero mengintip hunian terujung, lalu membungkus wajahnya dengan masker hitam. Sebelumnya ia cepat merogoh kantung celananya, mempertegas kisi-kisi yang di berikan oleh Steve.

  • The Shadows Man   Terjerumus rumah hitam Steve

    Tak ada pilihan lagi untuk Zero selain melarikan diri sejauh mungkin. Emang pantang bagi laki-laki untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi rasanya kali itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyambangi apartemennya. Deretan aparat berseragam coklat, dengan senjata laras panjang memagari apartemennya sangatlah ketat. Sambil merangkul anjing peliharaannya, Zero mengendap-endap menyelinap meliuk-liukkan badannya seperti cacing yang menempel di alas tembok hingga tubuhnya tak berbayang. "SSSttt! jangan berisik ya Echo!" bisik Zero di pinggir daun telinga anjingnya yang tipis dan lebar. Seperti sudah mengerti saja, Anjing itu hanya mendesah sambil menjulur-julurkan lidah sesuai perintah majikannya diam tak menggong-gong. Awan di Samboja, Kutai waktu itu sedang mendung-mendungnya. Langit seolah sedang menampung beratnya air yang akan di hempaskan malam nanti.&nb

  • The Shadows Man   Bagai tersambar petir

    "Paman ...?" Mata Ken seketika sumringah melihat keberadaan Zero yang tak di sangka-sangka sebelumnya. Anak berambut gimbal itu sontak memeluk Zero tanpa kata. Ia terlihat sangat nyaman berada di dalam pelukan Zero. Itu terlihat jelas di depan kelopak mata Anjani. Tak terasa bibir anjani melebar. Senyuman itu tak terelakan, untuk pertama kalinya ia melihat anak sematawayangnya nampak bahagia di dalam pelukan lelaki itu. Seolah Kenzie telah menemukan sebuah kasih sayang yang tak sempat ia dapatkan dari ayah sendiri. "Ken, Paman Zero nampaknya masih lelah, Lepaskan!" "Ibu ...tapi Ken masih rindu," rengeknya. "Tidak apa-apa, Paman juga kangen banget sama Ken. Lain kali kita main basket lagi yuk!" ajak Zero menggendong Kenzie dengan tubuh gempalnya. "Ayok ... siapa takut? Kali ini Ken bakalan jadi pemenangnya." &nb

  • The Shadows Man   Handphone yang Tertukar

    Lari Zero semakin kencang hingga semua yang ada di hadapannya ia tubruk tak beraturan. Anjing kecilnya pun ikut berperan menarik Zero agar lari lebih cepat dan Fokus. Namun karena Anjing itu berukuran kecil ia berlari bisa menyelip kemana pun dia suka. Echo berlari menyelinap ke jalanan sempit sambil menyeret majikannya mencari arah. Karena polisi semakin penasaran dengan pelarian Zero yang tiba-tiba, akhirnya pengejaran terhadap Zero semakin diperketat. Beberapa lelaki bertubuh gagah memakai seragam itu memegangi pentungan perangkat untuk berjaga-jaga. Selain pentungan, jelas mereka memiliki senjata satu sama lain. Mereka simpan di bagian samping sabuk seragamnya. Lari tiga orang polisi pun tak kalah cepat dengan pelarian Zero. Melihat persimpangan, Zero merasa waktu yang tepat untuk mengecoh semua polisi.

  • The Shadows Man   BAYANGAN SEMU

    "Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve. Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun. "Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve. Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya. "Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani. Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja.

  • The Shadows Man   Zero Salah Kaprah

    Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku. Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah. Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel. Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya. Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan. Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya. Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora. Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status