Share

The Shadows Man
The Shadows Man
Penulis: Cristhina

Kucing hitam

Lelaki setengah baya, dengan janggut tebalnya tak pernah jauh dari cerutu berbahan kayu.

Ia sedang bercengkrama dengan beberapa lelaki muda berusia kisaran 18 sampai 20 tahunan.

Sebut saja dia Bos Dady. 

Ada yang tertawa, ada yang memijat jari jemari kaki, dan ada juga yang memijat di area punggungnya. Mereka saling bercanda ria, seolah tak ada setitik pun masalah yang menggelayuti kehidupan nyata mereka.

Ketika mereka sedang saling bersahutan melempar candaan, seketika itu tawa mereka terhenti. Tatapan mereka bersarang kompak di salah satu handphone yang di letakan berjejer di lantai berkarpet merah.

Zero Brijen, salah satu lelaki kepercayaan dari Si Dady, langsung meraih handphone itu.

"Ini Bos!" ia menyerahkan handphone yang terus berdering nyaring.

Bos Dady tersenyum memicingkan bibirnya, seolah sedang berterimakasih karena tanpa di suruh pun, Zero cukup cekatan melakukan apa yang seharusnya di lakukan oleh seorang pria pesuruh yang paling dipercayai di tempat itu.

Sebuah telepon kemudian mati, dan berganti dengan pesan yang datang beriringan.

Seorang pelanggan yang memintanya mengirim satu ekor kucing di terminal pusat kota untuk di bawa kencan ke sebuah hotel.

"Ada oleh-oleh dua buah melon segar untuk sang kucing," isi inbox susulan yang di terima oleh Bos Dady.

Ya, sebutannya emang kucing. namun kucing yang di maksud di sini bukan hewan berkaki empat dengan bulu putih penyuka ikan asin atau minuman susu segar.

Kucing itu sebutan untuk para pria muda pemuas wanita tua yang bernafsu baja.

Dan melon yang di maksud dalam inbox itu adalah pelanggan hidung belang.

Mereka melayani tamu khusus wanita di atas usia.

Rata-rata kisaran 30 tahunan lebih, para wanita itu sering berebut lelaki segar bertubuh atletis dan memiliki nafsu yang sangat menggairahkan.

"Siapa yang mau aku kirim? ayo? siapa yang suka melon segar?" tawar Bos Dady yang di sambut gelak tawa riuh tiga kucingnya siang itu.

"Ach, kalau diana sedang nepsong suruh sindang! biar akika tahu melon kaya apa itu? cucok ya ih mayang sari," ujar salah satu lelaki muda dengan tangan melambai-lambai dan dada kekar.

Namun rambutnya lurus tertata rapi memakai lipstik menor dan kosmetik lengkap.

Kata-kata itu memiliki arti. " Kalau dia sedang nafsu, suruh dia ke sini saja! bagaimana wajahnya, pasti cocok cantik sekali."

Zero menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sembari tersenyum tipis melihat tingkah temannya itu.

Sebut saja Monik. Lelaki setengah wanita yang selalu jadi bahan guyonan para pria yang siap menerima pelanggannya.

Bos Dady pun tertawa terbahak sambil menghempaskan kepulan asap rokok ke arah langit-langit atap ruangan yang cukup sempit itu.

Siang perlahan pergi dan berganti sore cepat sekali.

Satu persatu lelaki pemuas di bawah naungan Bos Dady itu kini silih bergantian datang, dan mendapatkan jadwalnya masing-masing.

Sedangkan Zero masih tetap berdiri tegak dengan tangan di lipat di belakang bokongnya menunggu perintah sang Bos Dady.

Banyak kucing nampaknya laris mendapatkan pelanggannya masing-masing. Lalu masuk dan keluar silih bergantian, terkadang mendapatkan tempat yang sudah di tentukan pelanggan.

Namun Bos Dady bisa menjamin, rumahnya yang selama ini di kenal dengan sebutan panti pijat, tak akan di satroni oleh pihak yang berwajib karena banyak alibi yang sudah ia siapkan sebelumnya.

Ia pun sudah paham akan trik agar semua kucing tidak datang secara bersamaan. Ia mengatur jadwal sedemikian rupa, agar semua pekerjanya tidak datang secara bersamaan.

Setelah semua mendapatkan jadwalnya, kini Bos Dady hanya tinggal berdua saja bersama Zero.

Kepulan asap rokoknya terhenti begitu saja, setelah kuntumnya mulai habis. Tanpa jeda ia mengeluarkan rokok berikutnya. Bahkan ia bisa menghabiskan beberapa bungkus rokok dalam satu harinya.

"Api Bos!" serogoh Zero menyalakan korek di depan bibir Bos Dady yang mengulum satu kuntum rokok.

Matanya melirik sinis.

Zero mulai tegang dengan tatapan tajam itu. Hatinya berdetak kencang, dan ia tetap bersikap sempurna dan tegak di hadapan Bosnya.

"Kamu!"

"Saya Bos!"

"Ikut saya!" 

Bos Dady menurunkan kakinya yang sedari tadi menjulur santai di atas meja.

Zero yang merasa tegang langsung menghela nafas lega, ia pun berjalan mengiringi jejak langkah kaki Bos Dady.

Pikirannya terus bertanya-tanya. Entah apa yang terjadi, karena sampai detik itu belum satu pelanggan pun yang di jadwalkan untuknya.

Tapi, ia pun sedikit senang dengan situasi seperti itu. Karena tanpa bekerja malam, ia tetap mendapatkan gajinya walau hanya membuntuti Bos Dady sang majikan.

 ***

Di pinggiran jalan, Zero berjalan sedikit menikung Bosnya untuk membukakan pintu mobil mewah yang sudah terparkir di halaman toko panti pijatnya.

Dengan gagah Bos Dady melemparkan kunci mobil itu ke arah wajah Zero.

Crek!

Dengan tepat Zero menangkap kunci itu yang hampir terjatuh ke atas aspal.

"Tunggu apa lagi? jalan!" perintah Bos Dady dengan kecut.

Zero segera berlari memutari punggung mobil dan ia segera menyalakan mesin mobil dengan suara yang masih halus.

Saat ketika ia ada dalam satu mobil dengan Bos Dady, Zero sangat tahu ketika itu juga ia harus menutup telinganya, dan menutup mulutnya seolah tuli dan bisu.

"Sayang ... sabar dulu! ada urusan yang harus aku selesaikan. Tahan dulu ya! aku tidak akan lama kok!" ucap Bos Dady menelpon seseorang di dalam mobilnya.

Ia duduk santai di belakang Zero. Setelah ia menutup telpon pertamanya, ia kembali menelpon orang lainnya lagi.

Mata romantis majikannya seketika berganti sangar, itu terlihat jelas oleh Zero di balik kaca spion mobil yang di tumpanginya.

"Enyahkan dia hari ini juga! kalau aku masih melihat orang itu di muka bumi ini, maka kamulah yang akan jadi penggantinya. Aku enyahkan kau dengan tanganku sendiri! Paham!" telpon lainnya.

Dengan suara sengit, Bos Dady bersikap sangat kejam sambil mengelus satu senjata kesayangannya.

Air gun kesayangannya itu merupakan pistol senjata angin dengan tekanan yang sangat tinggi di bandingkan air softgun biasa.

Memang tidak mematikan, tapi Zero tahu sekali kalau saja satu peluru itu mengenai kakinya, seenggaknya ia akan lumpuh dalam waktu yang cukup panjang.

Maka dari itu dalam ketegangannya, Zero tetap bersikap aman menyetir dan menatap jalanan dengan teliti.

Krek! 

satu gerakan seolah datang tepat di sisi telinga Zero.

Airgun itu seolah telah menempel di pergelangan lehernya.

Ia langsung mengangkat bahunya tegang, dengan tangan dan kaki tetap mengemudi.

"Apa kamu masih ingin hidup?" ancam Bos Dady.

Zero menahan nafasnya sejenak dan menelan air liurnya dalam-dalam.

"Apa salah saya Bos?"

Wajah Zero nampak pucat, ujung jari tangannya seolah kaku, dan bola matanya menatap nanar ke arah aspal jalanan.

"Hahahahah bercanda...!"

Setelah melihat ketegangan di wajah Zero yang semakin meyakinkan, Bos Dady tertawa terbahak-bahak seperti orang gila, lalu langsung memasukan kembali Air Gun itu kedalam sarangnya. Dan semua itu ia lakukan hanya untuk main-main saja.

Plak! plak! plak!

Bos Dady menepuk bahu Zero dengan ketukan yang teratur.

"Tidak usah setegang itu ... kamu salah satu kepercayaanku!" tukas Bos Dady duduk santai kembali.

Saat itu juga Zero menurunkan ketegangannya, dan menurunkan bahunya kembali. merasa telah keluar dari ancaman yang sangat sengit.

Tapi baru saja ia merasa lega hati, di hadapannya terlihat nenek tua yang menyebrangi jalan tergopoh-gopoh.

Laju mobil Zero yang sedang tinggi-tingginya seketika berganti haluan.

Cekkkiiiittt, Brug!

***

Bersambung ...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Andrea_Wu
Ceritanya seru kak Cristin, ayo semangat lanjutkan.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status