Juna kembali ke rumah pada malam harinya. Ia tidak enak hati karena tidak memberi kabar pada istrinya ini, terlebih ingin meminta uang kepada Tasya. Bisa-bisa ia di usir dari rumah ini.
Ia memandang istrinya. Dalam otaknya tercetus ide di luar nalar. Dari awal pernikahan, Juna belum menyentuh Tasya dan itu artinya, istrinya ini masih perawan. Keraguan masih berada dalam hati Juna. Ia tidak mungkin melakukan ini, tetapi bila uangnya tidak disetor, maka nyawanya bisa jadi taruhan. Toni pernah mengatakan kalau barang ini milik orang yang berkuasa dan memiliki bawahan yang bisa menghilangkan hidup seseorang. Harus dengan alasan apa Juna membujuk Tasya nanti. Ia dalam kebingungan sekarang. Tasya sudah baik padanya. Mereka juga sudah menjadi pasangan suami istri. Menjerumuskan istri ke pelukan pria lain bukankah keterlaluan? Ah! Juna menggaruk kepalanya. Tiba-tiba terasa pusing karena memikirkan masalah ini. "Ada apa? Sejak kembali kau diam saja," ucap Tasya. "Tidak apa-apa, Sayang. Aku lelah. Ini uang untukmu." Juna memberi Tasya uang lagi senilai 3 juta. Anggap saja sebagai bujukan karena ia tidak pulang beberapa hari ini. "Kalau gitu kita tidur saja." Tasya mengambil posisi membelakangi Juna, ia memang sangat mengantuk dan berniat ingin segera tidur. Sementara Juna masih dilema. Bahkan matanya saja tidak dapat terpejam. Besok, waktunya tinggal sedikit. Jika uang itu tidak disetor, takutnya ini berdampak pada dirinya. Ia masih bisa meminta Toni untuk mengulur waktu sampai besok malam. Ya, sekarang Juna harus mencari pria yang akan membeli Tasya. Juna teringat pada seorang teman lama. Ya, dia adalah pria sukses sekarang. Juna bisa meminta dia untuk mencarikan seorang pria yang bisa membeli Tasya untuk satu malam saja. Paginya, Tasya menyiapkan sarapan sebelum pergi mencari pekerjaan. Ia tampak ceria karena uang yang diterima dari Juna. "Pagi, Sayang." Juna mendekat, ia mengecup pipi Tasya "Ini masih pagi." Karena Juna memeluknya. "Aku mau keluar. Ada pekerjaan yang harus kuurus. Kau belum dapat pekerjaan?" "Belum ada panggilan?" ucap Tasya. "Mungkin nanti. Bersabarlah, Sayang. Aku masih bisa menampungmu." "Aku tahu, tapi aku ingin bekerja saja." Tasya menatap Juna. Ia tersenyum karena Juna masih memikirkan dirinya. Keduanya sarapan bersama. Setelah itu, Juna pergi lebih dulu, sedangkan Tasya harus membereskan meja makan barulah pergi mencari pekerjaan. Juna menunggu seorang teman yang sudah berjanji padanya untuk bertemu. Sudah lama sekali karena pria ini adalah teman sekolahnya. Nasib temannya ini mujur karena punya otak pintar dan dari keluarga terpandang. Yang positifnya adalah temannya ini tidak memandang status. Itu sebabnya, Juna dapat berteman dengannya. Sampai pada jam yang telah ditentukan, Juna dapat bertemu dengan teman lamanya. Memang orang kaya. Sungguh sangat berbeda dari dirinya. "Hai, Don." Juna menjabat tangan Doni. "Biasa saja. Kenapa kau menghubungiku?" Doni lekas menarik tangannya. "Begini, Don. Aku butuh uang. Tolong bantu aku. Kau itu bekerja di perusahaan besar, kan? Tolonglah. Sekali saja." "Sudah kuduga kau pasti akan bicara seperti ini. Tidak bisa! Kalau bukan karena kau pernah menyelamatkanku saat kita naik gunung, aku tidak sudi menemuimu." "Kenapa kau sekejam ini?" "Menurutmu? Ini karena dirimu yang problematik. Kau sudah pernah kubantu mendapat pekerjaan karena kau bilang harus punya kerja untuk menarik seorang gadis." "Aku menikah gadis itu. Dia jadi istriku, tapi dia masih belum kusentuh." "Apa? Tapi, kenapa?" tanya Doni, yang cukup kaget akan fakta ini. "Aku butuh uang 100 juta malam ini. Dia jaminannya. "Kau keterlaluan! Bagaimana bisa kau ... ?" Doni menggeleng. "Kau carikan saja pria kaya untuk bermalam dengan istriku. Kau pikir aku mau menjualnya? Dia istriku. Begitu cantik, dan aku mencintainya. Tapi, kami punya hutang. Nyawa kami ini taruhannya. "Hanya kali ini saja. Nanti malam, kau bisa datang ke tempat ini. Aku akan menunggumu." Doni memberikan alamatnya. "Baik, aku akan datang tepat waktu." "Oke! Sampai jumpa nanti." Doni pergi setelah itu. Juna menghela napas panjang. Meski ini keterlaluan, tetapi ia harus melakukannya. Ini juga demi keberlangsungan hidupnya serta Tasya. Hanya kali ini saja. Setelah itu, Juna janji ia akan bertobat. Sore harinya Juna tiba di rumah dan melihat meja makan penuh dengan hidangan. Ah, Juna baru sadar jika ia baru makan malam di rumah ini sebagai suami. Ketika masih pacaran, Juna sering makan malam bersama Tasya. "Apa ada pesta?" tanya Juna. "Makanlah dulu, Sayang." Tasya menarik kursi, lalu mempersilakan suaminya duduk. "Kau lelah bekerja. Jadi, biarkan aku melayanimu sekarang." "Oh, Sayang. Aku mencintaimu." Juna memajukan bibir agar Tasya menyentuhnya. "Aku juga mencintaimu." Tasya mengecup bibir manis itu. "Ayo, kita makan." Juna semakin sayang pada Tasya yang perhatian padanya. Istrinya ini memang sangat baik. Tentu bukan hanya itu saja. Tasya itu cantik, bahkan Juna heran kenapa bisa wanita ini jatuh hati padanya. Beruntung sekali ia memilikinya sebagai istri. "Sayang, kau tidak pergi lagi, kan? Kita belum malam pertama," ucap Tasya yang berhasil membuat pria ini tersedak minuman. Tasya datang dengan menyodorkan tisu dan mengusap punggung belakang Juna "Kau baik-baik saja?" "Ya, terima kasih." "Kau selalu tidak ada di rumah. Saat menjadi kekasih, kau selalu ingin menyentuhku." Tasya berucap seraya kembali duduk di bangkunya. "Maafkan aku, Sayang. Aku mengecewakanmu. Kita harus melakukan malam pertama di tempat spesial," ucap Juna. "Memangnya kenapa di rumah ini?" "Aku ini seorang suami, Sayang. Ini juga malam pertama kita. Aku ingin memberikan yang terbaik." "Kau punya uang?" tanya Tasya. "Untuk menyewa satu malam kamar hotel, aku masih bisa. Berdandanlah dengan cantik. Kita akan ke sana setelah ini." "Sayang ...." Tasya tersenyum. Di sini, ia harus memutar otak agar Juna tidak marah saat mendapati dirinya sudah tidak perawan. Mungkin dengan membuat luka sendiri, maka semuanya akan teratasi. Tasya belum mampu untuk jujur, meski ia jual diri karena Juna juga. "Bagaimana kalau kita main ke Night Club dulu?" Jury tersenyum penuh arti. "Untuk apa kita ke sana?" tanya Tasya "Sudah lama kita tidak bersenang-senang. Kau juga harus coba pergi ke tempat itu. Kau belum pernah, kan? Kau sendiri bilang ingin sekali melihat orang-orang berdansa dengan musik." "Itu benar. Aku ingin sekali ke sana." "Habiskan makanmu dan cepatlah bersiap." Dalam hati, Juna berkali-kali meminta maaf pada istrinya. Ya, mau bagaimana lagi. Ini harus dilakukan "Sayang, kau sudah siap?" Tanya Juna. "Ya. Kita berangkat sekarang?" Jury mengulurkan tangan. "Tentu. Aku sudah pesan taksi online-nya." Tiba di club tersebut, Juna memesan beberapa minuman. Ia sengaja menyewa satu bilik untuk minum bersama. "Sayang, minum ini." Juna menyodorkan segelas minuman beralkohol. "Apa aku bakal baik-baik saja? Aku tidak mau mabuk." Tasya mendorong minuman itu. "Tidak akan terjadi apa pun. Minum ini agar malam kita semakin menggairahkan." Tanpa curiga sama sekali, Tasya meneguk minuman itu sampai habis. "Hmm, rasanya manis." "Tambah lagi." Juna menyodorkan segelas minuman lagi. Dalam keadaan seperti ini, ia juga takut. Malam ini, ia membawa istrinya ke dalam pelukan pria lain. Beberapa saat berlalu, Tasya mulai merasakan pusing. Tubuhnya pun terasa panas. "Ayo, Sayang. Waktunya pergi," ucap Juna.Teriakan Tasya membuat semua yang ada di meja itu kaget. Tasya melangkah mendekati kerumunan dan langsung menarik rambut Juna, ia bahkan memberi pukulan pada pria tidak tahu diuntung itu. "Aku membayar hutangmu dengan mempertaruhkan harga diri, dan kau di sini seenaknya menghabiskan uang. Berjudi dan bermain wanita. Kau pikir dirimu siapa, hah?!" teriak Tasya, yang berhasil membuat rekan Juna menyingkir dari meja. "Lepaskan aku!" Juna menepis tangan Tasya. "Memangnya aku memaksamu? Kau sendiri yang berniat membayarnya. Kau juga istriku. Sudah sewajarnya kau itu bertanggung jawab atas apa yang kulakukan. Memangnya kau saja yang ingin bersenang-senang? Aku juga, Tasya." Plak ! Entah berapa kali Tasya melayangkan tangannya hari ini. Sakit hati tidak bisa sembuh dengan hanya satu tamparan atau pukulan. Perihnya begitu nyata. Juna berhasil mengiris-iris sanubarinya. Cinta kini telah berganti dengan luka. "Puas? Pergi dari sini. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Kita sudah
Ketika tiba di kediaman, Rangga sudah menunggu serta menyerahkan sebuah dokumen dalam map biru. Tasya membuka dan membaca kata per kata isi dari surat tersebut. Ya, yang berada di tangan Tasya saat ini adalah surat perceraian yang sudah ditandatangani oleh Juna. Yang dikatakan oleh Mira, kekasih gelap pria itu, benar adanya.“Tinggal kau saja yang belum tanda tangan,” ucap Rangga.“Apa ini semua ulahmu? Kau bukan hanya memaksa, tetapi juga ikut campur dalam urusan rumah tanggaku.”“Harusnya kau berterima kasih, Tasya. Aku menyelamatkanmu dari pria berengsek itu.”“Kau menyelamatkanku? Kalau kau tidak hadir dalam hidupku, pernikahan ini tidak akan hancur!” Tasya meninggikan suaranya.“Ternyata kau sangat mencintai pria itu. Sampai kau lupa apa yang telah dia lakukan. Bukan aku yang membuatmu bercerai, tetapi mantan suamimu itu yang datang padaku. Dia meminjam uang dengan jaminan dirimu.”“Bohong!” Mata Tasya melotot. “Setelah apa yang terjadi, apa aku harus percaya padamu? Kau itu pria
"Katakan sekali lagi." Tasya memang mendengar apa yang diucapkan oleh Mira, tapi ia ingin memastikan lagi apakah telinganya ini benar-benar menangkap perkataan yang wanita itu lontarkan. "Aku, kekasih Juna. Kau tidak lihat kunci rumah ini ada padaku?" Tasya berjalan mendekat. Mengangkat tangan, lalu menampar pipi Mira. "Kau sungguh tidak tahu malu. Ini rumahku dan Juna adalah suamiku, tapi kau berani mengaku sebagai kekasihnya.""Memang itu faktanya. Biar kuberitahu padamu jika aku dan Juna pernah bercinta di rumah ini." Mira tersenyum penuh arti. "Kau bilang apa?!" Tasya menarik rambut Mira. Wanita itu berteriak. "Lepaskan tanganmu!""Kau bercinta dengan suamiku. Berani sekali kau. Perebut sepertimu memang harus diberi pelajaran." Tasya menyeret Mira keluar. Karena teriakan wanita itu, tetangga sekitar keluar dari kediaman masing-masing. Bukannya melerai, tetapi mereka malah merekam aksi pertengkaran itu. "Kau itu tidak dicintai oleh Juna. Hanya aku, wanita yang paling dia cinta
Bagaimana cara memberitahu pria ini? Tasya sudah memikirkan banyak cara yang pasti berakhir pada satu titik di mana ia harus menerima semua pemberian dari Rangga. "Apa aku boleh bolos bekerja?" tanya Tasya. Saat ini, keduanya tengah berada di ruang makan. Menyantap makanan pagi bersama-sama."Memangnya kau mau ke mana? Kau juga tidak punya pekerjaan di rumah ini?" Lebih baik ke kantor yang sudah jelas ada pekerjaan."Aku ingin izin sehari saja." "Kuizinkan. Mulai besok, kau boleh kembali ke perusahaan sebagai sekretaris pribadi." "Aku tidak sekolah setinggi itu sampai bisa menjadi sekretarismu. Apa kata yang lain nanti?" "Kenapa kau memikirkan orang lain? Yang gaji kau itu adalah aku." "Kalau kau belum pernah merasakan hidup seperti diriku, lebih baik diam saja." "Kau cukup membuatkanku kopi, bersih ruangan, mengantar dokumen, menemaniku ketika aku butuh, termasuk aktivitas ranjang." Rangga tertawa. Pria berengsek! Dua kata itu hanya bisa Tasya lontarkan dalam hati saja. Tapi,
Juna melakukan ini karena terpaksa. Jika ada penagih, maka hidup Tasya juga bahaya. Jadi, ia memutuskan untuk meminta bantuan kepada Rangga Saputra. Yang terpenting adalah mendapatkan uang. Sisanya akan diurus belakangan.Sesuai dengan permintaan Juna, maka Doni membawa temannya ini menemui Rangga Saputra di kediaman. Rumah yang besar sekali sampai Juna begitu menggaguminya. Ia berkhayal jadi orang kaya dengan harta yang tidak pernah habis.Setelah tiba di sini, Juna memikirkan istrinya. Di mana Tasya? Apa dia sudah tidur? Bersama siapa? Juna penasaran apakah istrinya itu melayani Rangga? Membayangkannya membuat perasaan Juna tidak karuan.“Don, istriku di mana?” tanya Juna.“Kau tidak berhak bertanya di mana keberadaan istrimu karena dia bukan lagi milikmu.”“Tetap saja dia istriku.”“Fokus dengan tujuanmu datang ke mari.”Sekitar 10 menit, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya, muncul juga. Rangga keluar dari sebuah kamar dengan memakai kimono satinnya. Terlihat rambut pria ini basah
"Apa kau mendengar sesuatu di dalam kamar mandi sana?" tanya pelayan pada rekannya. Temannya ini berdeham. Suara helaan napas dan teriakan terdengar dari dalam kamar mandi. Rangga dan Tasya ada di sana. Sudah pasti keduanya tengah melakukan hal-hal nikmat. "Cepat bersihkan kamar ini. Bisa jadi Tuan akan membawa wanita itu ke tempat tidur." "Pikiranmu sama sepertiku." Bergegas keduanya membereskan kamar ini termasuk mengganti seprainya secepat mungkin. Setelah itu, mereka keluar. Di dalam kamar mandi, Tasya tertunduk-tunduk karena ulah Rangga. Pria ini menarik rambutnya, mencengkeram leher dengan napas yang menderu."Kau tahu alasan kenapa aku tertarik padamu? Itu karena kau selalu berpura-pura berakting polos. Kau itu munafik. Tadinya kau menolak, tapi lihatlah dirimu sekarang. Lihat di cermin itu, kau menikmatinya." "Lakukan sepuasmu," ucap Tasya. "Dengan senang hati, Sayang. Setelah mandi bersama, kita lanjutkan di tempat tidur." Air dingin membasahi seluruh tubuh Tasya dan