Apakah yang paling mengecewakan selain patah hati karena cinta? Mungkin pengkhianatan seorang teman adalah salah satu jawabannya.
Teman adalah seseorang yang paling berarti, bahkan terkadang melebihi keberadaan keluarga sendiri. Dengan teman seseorang bisa berbagi banyak hal, sampai hal-hal paling rahasia sekalipun.
Teman mungkin bukan orang pertama yang ikut tertawa saat dirimu bahagia, tapi teman selalu jadi orang pertama yang menangis saat dirimu sedang berduka. Teman sejati akan saling peduli dan melindungi satu sama lain.
Kali ini Aaron harus menghadapi kekecewaan itu untuk yang ke dua kalinya. Dikhianati dengan begitu keji oleh teman sendiri.
Daniel, teman Aaron sejak sama-sama berjuang meraih gelar sarjana, juga teman yang selalu ia andalkan saat membangun TCC di awal-awal dirinya menjadi CEO. Jika dihitung, usia pertemanan mereka mungkin sudah lebih dari dua puluh tahun.
Begitu banyak kepercayaan yang telah Aaron curahkan padanya. Begi
Aaron masih berdiri tegak, nyaris tak bergerak di depan makam Kevin Williams. Dia sungguh tidak menyangka jika pria yang selalu ia panggil paman itu mengambil jalan pintas yang begitu tragis untuk mengakhiri hidupnya. "Paman, haruskah berbuat sejauh ini?" bisik Aaron lirih. Ia menyusut sudut matanya yang terasa basah. Ia berlutut, sebelah tangannya mengusap batu nisan itu dengan perasaan bersalah. "Aku tidak bermaksud untuk menghancurkanmu, Paman. Aku hanya ingin memberi peringatan kecil karena kau sudah mengusik ketenanganku. Tapi ... aku juga tidak menyangka jika dampaknya akan sebesar ini. Maafkan aku, Paman." Aaron masih tergugu di depan nisan itu. Beribu rasa sesal memenuhi hatinya, membuat dadanya terasa sesak. "Untuk apa kau berada di sini?!" Tiba-tiba sebuah bentakan terdengar dari belakang Aaron. Aaron kaget, spontan menoleh untuk melihat si pemilik suara. Tepat di belakangnya, Lindsay berdiri mengenakan pakaian serba hita
Alis Aaron spontan bertaut mendengar pertanyaan ayahnya. Jane juga tidak kalah terperanjat, dia menatap Aaron dengan tatapan penuh selidik. "Terlibat dalam kematian Kevin? Apa maksud Papa?" tanya Aaron heran. Benyamin menghela napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang mendadak berdebar lebih cepat. Membicarakan hal yang krusial begini sebenarnya bukan hal yang mudah bagi Benyamin. Apa lagi dirinya dan Aaron jarang melakukan pembicaraan berat. Sejak Aaron menggantikan posisinya sebagai CEO, seolah ada jurang tak kasat mata di antara mereka berdua. Mereka tidak saling membenci, tapi untuk menunjukkan saling cinta juga tak mudah. "Apakah kau yang berada di balik bangkrutnya Williams Foods?" tanya Benyamin lagi. Kali ini pertanyaannya langsung pada pokok permasalahannya. Aaron terdiam, rahangnya bergerak-gerak, sementara sepasang netranya menatap lurus ke arah Benyamin. Namun, ekspresi itu tidak bertaha
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi Jane masih belum bisa memejamkan matanya. Tubuhnya terasa remuk hingga ke tulang. Pangkal pahanya terasa nyeri, organ intimnya lecet dan terasa pedih hingga ke dalam. Sementara kulit di sekitar dada Jane penuh oleh bekas gigitan Aaron. Jane bangkit lalu duduk bersandar di atas ranjang, melirik Aaron yang tertidur pulas di sampingnya. Hati Jane terasa perih mengingat perlakuan Aaron semalam. Dia mendadak menjadi beringas dan kasar. Sedikitpun tidak ada bisikan kasih sayang dari pria itu selama menggaulinya. Sorot mata Aaron hanya menyiratkan dominasi kepemilikan. Lewat aksinya seolah-olah Aaron berkata, Jane adalah miliknya, terserah dirinya akan berbuat apa. Jane meluncur dari ranjang empuk itu, lalu beringsut ke kamar mandi. Semua persendiannya terasa nyeri. Jane tidak bisa menahan laju air matanya saat menatap bayangan dirinya di cermin. Meskipun Aaron adalah calon suaminya, tapi Jane sulit m
Aaron melangkah gontai meninggalkan atelier Jane. Pikirannya terasa kosong, tidak tahu harus berbuat apa. Namun, telinganya terus terngiang kata-kata Jane. Matanya pun terus terbayang ekspresi Jane yang dingin dan penuh luka. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu menghela napas panjang, mendongakkan kepala menghadap langit untuk beberapa saat, lalu masuk ke mobil kesayangannya. Wajahnya kuyu, lemas tak bercahaya. "Hari ini aku tidak masuk. Jangan hubungi aku jika tidak terlalu penting," titahnya via sambungan telepon. Dengan tatapan lurus, Aaron menginjak pedal gas, lalu meluncur meninggalkan atelier yang telah memberikan kesan pahit atas sikap dingin Jane. Untuk jangka lama, memori Aaron akan merekam tempat itu sebagai tempat yang memberikan kenangan tidak menyenangkan. Namun, ingatannya melayang pada peristiwa malam tadi di kediaman Jane. Jika dengan sikap dingin Jane, dirinya sudah mendapatkan pengalaman buruk, lantas bagaimana dengan perasaan
"Mmm-memangnya apa yang akan kau lakukan?" tanya Daniel gelisah. Dia sudah mendapat firasat buruk, Aaron pasti merencanakan hukuman terberat untuknya. "Kau tidak akan pernah bisa bayangkan," desis Aaron. Ia menatap Daniel dengan tajam, lalu berbicara dengan nada rendah. "Akan kubuat kau berada di sel isolasi yang sempit. Kau tidak bisa berdiri lurus karena lotengnya rendah. Kau juga bisa tidur dengan meluruskan kaki, karena ruangannya pendek. Kau hanya bisa berjalan dengan setengah berdiri," kata Aaron menggambarkan ruangan sel yang akan ditempati Daniel. "Kau keterlaluan! Bagaimana kau bisa tidak manusiawi begini hanya karena perempuan itu?" protes Daniel keras. Ia bisa bayangkan betapa tersiksanya dirinya nanti saat berada di ruangan super duper sempit itu. "Perempuan yang kau sebut itu adalah tunanganku. Calon istriku!" teriak Aaron. Tangannya mengepal, lalu jatuh dengan keras di atas meja, menyiptakan suara yang berde
"Mengapa kau keluar dengan telanjang begitu, Sayang?" Lindsay langsung mendominasi pembicaraan seolah ingin menunjukkan kepada Jane bahwa dirinyalah sang tuan rumah. Ia melangkah mendekati Aaron dengan gerakan menggoda. "Jaga bicaramu, Lindsay," tegur Aaron ketus. "Mengapa kamu marah? Kamu pasti masih kelelahan karena kejadian semalam, kan," ujar Lindsay dengan jari telunjuk mengelus perut Aaron yang kotak. Sementara dadanya yang besar menempel di lengan Aaron. Jane membuang muka ke samping, jengah melihat tingkah Lindsay yang berusaha memanas-manasinya. "Apa yang kau lakukan?!" sergah Aaron kesal. Ia menepis tangan Lindsay dengan keras, lalu mendorong tubuh gadis itu hingga ia terduduk di sofa. "Jangan salah paham, Jane. Tidak ada yang terjadi di antara kami," kata Aaron dengan wajah frustasi. "Bagaimana kau bisa seyakin itu?" tanya Jane dingin. Wanita mana yang tidak akan berprasangka melihat kekasih hati berada
"Apa maksudmu melakukan semua itu di depan Jane, hah?" sergah Aaron pada Lindsay yang senyum-senyum sendiri melihat kepergian Jane. "Memangnya apa yang aku lakukan?" Lindsay balik bertanya pura-pura tidak tahu dengan kesalahannya. "Kau memfitnahku di depan Jane! Aku sungguh muak dengan tingkahmu Lindsay," ujar Aaron dingin. "Aku juga muak padamu. Aku bahkan membencimu. Kau tahu itu?!" teriak Lindsay tidak kalah emosi. Lindsay sebenarnya tidak suka dengan status barunya sebagai adik angkat Aaron. Dia akan lebih senang jika Benyamin menjadikannya menantu. Namun, Lindsay tidak punya pilihan lain. Dirinya sebatang kara semenjak kematian ayahnya yang begitu tiba-tiba. Sementara utang yang ditinggalkan sang ayah menumpuk. Harta berupa rumah, tanah, dan kendaraan memang masih ada. Namun, itu semua masih belum cukup untuk melunasi semua utang itu. Sekarang Lindsay harus bersyukur karena masih memiliki rumah untuk berteduh, dan uang yang
"Selamat malam. Apakah Anda ... Nona Jane Ariesta?" Sebuah suara terdengar menyebut nama Jane dari sisi kirinya. Jane menoleh, sepasang netra miliknya langsung beradu tatap dengan sepasang netra berwarna hitam pekat. Wajahnya terlihat ramah, tatapannya terlihat jelas menawarkan persahabatan. Ditilik dari wajahnya, Jane yakin pria yang baru saja menyapanya itu berdarah asli Indonesia seperti dirinya. Namun, ketika sebagian besar orang-orang di kota Big Apple memanggil Jane dengan Ariest, bagaimana bisa pria itu mengenal Jane, bahkan menyebut nama aslinya? "Ya, selamat malam. Maaf, bagaimana Anda bisa mengenal saya?" jawab Jane, seraya balik bertanya heran. Pria bermata teduh itu tersenyum. "Saya penggemar berat Anda, Nona Jane. Lemari istri saya hampir dipenuhi oleh hasil rancangan Anda," jawabnya dengan ramah. Sepasang netra milik Jane langsung berbinar. Bertemu dengan orang yang menyukai karyamu itu sebuah anugerah, kan?