Share

Trauma pacaran
Trauma pacaran
Penulis: sulmifa

Prolog

Him POV

Lantai tiga parkiran FKIP masih dipenuhi jajaran motor. Pukul dua siang menjadikan lahan terbuka ini sepi pengunjung. Satpam yang biasa menjaga di sini pun tak kelihatan batang hidungnya. Hanya gue sendiri, mengenakan helm full face biru gelap incaran Dimas. Sampai kapanpun gue enggak akan pernah memberi pinjam helm ini ke dia.

Saat mengenakan sarung tangan, suara nyaring dari lantai bawah terdengar. Langkah kaki saling berburu diikuti dengan gumaman penuh cacian. Dia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru parkiran ini. Gue tebak dia lagi mencari letak motor miliknya. Gue memperhatikan tujuan langkah kecilnya melalui kaca spion. Sarung tangan yang sudah terpasang rapi kembali  gue lepas, mengulang kegiatan tidak berguna agar terlihat sibuk.

Rambut pendek yang terpotong rapi itu bergerak mengikuti gerak langkahnya. Kemeja kuning membalut sempurna tubuh mungil itu. Memberi kesan cerah di kulitnya yang sedikit gelap.

“Duh ini motor siapa sih? Mepet banget markirin motornya!” maki perempuan itu. Kepalanya memutari penjuru parkiran lagi. Netranya berhenti ke arah sini. Dengan respon cepat, gue menyalakan motor bersiap untuk pergi. Hampir saja ketauan! Gue sengaja memanaskan motor sebentar sambil memperhatikan kembali perempuan tadi. Wajahnya menunjukkan keraguan.

Ia melangkah kearah gue. “Permisi, A.”

“Iya?” Keraguan di wajahnya makin tampak. Pipi bulat dihiasi dengan rona merah menjadi pusat perhatian. Dia lucu.

Ia berdeham. Apa dia gugup?

“Boleh minta tolong?” ucapnya seraya memainkan jemari.

“Minta tolong apa?”

“Minta tolong buat bantu keluarin motor aku, boleh?” Matanya menyorot penuh harap. Mata yang indah. Bulu matanya sangat tipis bahkan hampir tak kelihatan. Dari jarak dekat seperti ini saja hanya terlihat beberapa helai. Tidak lentik seperti kebanyakan perempuan lain dengan bantuan make up.

Gue turun dari motor membuatnya mundur beberapa langkah. “Motornya yang mana?” jawab gue pura-pura tak tahu. 

“Yang itu.” Ia menunjuk motor matic miliknya. Gue menerima kunci motor darinya untuk membantu mengeluarkan motornya. Dering ponsel bukan dari dalam saku gue memecah kesunyian diantara kita.

“Halo?” sapanya kepada sang penelepon. Balasan dari orang itu tidak bisa gue dengar. Namun wajahnya menunjukkan ekspresi kaget sekaligus kesal. Aura gemas dari dirinya makin meningkat. 

“Hah, jam tiga? Aku baru mau pulang!”

Gue lihat helm bogo miliknya tertempel stiker jurusan dan UKM yang ada di kampus ini.  

Heh jangan sembarangan ngomong! Aku, Kesha Dwi Anggraeni tidak bertanggung jawab atas apapun yang terjadi nanti!”

Kesha, nama yang cantik.

Motornya berhasil gue keluarkan. Panggilan tadi sudah terputus. Ia memasukkan ponsel ke dalam tas. Pandangannya berpindah dari motor ke arah gue. Senyum manis terpahat di wajah kecilnya. Hanya buat gue, kan? Di sini cuma ada gue. Kecuali dia bisa melihat hal lain di sini.

“Makasih banyak ya, A. Maaf udah ngerepotin.” Ia memakai helm bogo yang membuatnya terlihat makin lucu. Astaga, boleh cubit pipinya tidak sih?

Gue mengangguk. Untung saja helm ini enggak dilepas. Senyum di bibir yang dari tadi terbentuk ketika melihat betapa gemasnya dia terselamatkan.

“Duluan, A,” pamitnya. Ia menjalankan motor matic seraya menjauh. Meninggalkan gue dengan serbuan rasa.

Penasaran.

Kagum.

Gemas.

Dia benar manusia kan? Bukan jelemaan Caca yang baru saja lahir minggu lalu?

Getaran di ponsel menyadarkan hayalan akibat terpesona oleh gemasnya Kesha.

“Halo, Dim”

“Woy dimana lo? Cepetan ke sini! Nyasar di mana lo?” teriak Dimas. Meski tidak di loudspeaker, suaranya memecah keheningan parkiran.

“Gue masih di parkiran FKIP.”

“Lama banget, ngapain aja sih di sana? Godain maba ya, Lo? Wah parah sih, enggak ngajak-ngajak!” Sembarangan ngomong ini anak. Di sini malah gue yang digodain. Dari tadi pipi nya seolah manggil minta dicubit, di elus-elus, di unyel-unyel. Astaga, udah gila gue! Sadar Dika! Otak gue sudah teracuni banyak anime dari Dimas, jadinya begini. Sekali ketemu sama boneka hidup traveling pikirannya.

“Mana ada, udah sekarang gue OTW.” Kalau enggak begini, Dimas bakalan nyerocos tanpa henti. Udah melebihi bawelnya ibu kos nagih uang bulanan deh.

“Awas aja kalau nyangsang ke tempat lain. Enggak bakalan gue kasih liat kesayangan gue lagi!” ancam Dimas kemudian mematikan sambungan telepon itu.

Enggak masalah, Dim. Barusan gue udah liat versi nyata. Sedangkan kesayangan loe cuma bisa diliat di laptop.

Sial! Orangnya udah pergi dari tadi, tapi gemasnya masih terbayang sampai sekarang. Semoga kita bisa bertemu lagi, Kesha. Oke, Dika, sekarang fokus nyetir!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status