Sementara Adit bergegas ke kamarnya untuk berkemas, Laras berdiri di dekat jendela, matanya menyapu jalanan di depan rumah Adit. Entah kenapa, ia merasa sedang diawasi. Kemampuan barunya untuk membaca aura dan energi memberikan perasaan tidak nyaman; seperti ada kehadiran asing di sekitar mereka.Di kamar, Adit segera berganti pakaian dan membawa apa saja yang perlu dibawa."Sudah siap?" tanya Laras saat Adit keluar dari kamar dengan tas kecilnya."Sudah," jawab Adit, meski dalam hatinya ia merasa sama sekali tidak siap untuk apa pun yang akan mereka hadapi.Mereka berjalan ke mobil Laras. Sebelum masuk, Adit menoleh ke rumah kecilnya. Entah kenapa, ia merasa mungkin tidak akan kembali dalam waktu dekat."Tenang saja," Laras seolah bisa membaca kekhawatirannya. "Kita akan kembali. Tapi kita perlu belajar mengendalikan ini dulu," ia mengangkat tangannya yang sempat berpendar dengan cahaya ungu.Adit mengangguk dan masuk ke mobil. Saat mesin dihidupkan dan mobil mulai bergerak, ia meras
Larasati menutup matanya sejenak, mencoba memperdalam konsentrasinya. Ia bisa merasakan getaran energi yang semakin mendekat, seperti gelombang yang merambat melalui tanah di bawah kaki mereka."Dua orang," gumamnya pelan. "Seorang laki-laki dan perempuan. Mereka... berbeda. Energi mereka terasa dingin, seperti kabut di pegunungan yang menusuk tulang."Mbah Joyo mengangguk perlahan. Garis-garis di wajahnya yang sudah menua semakin dalam saat ia memejamkan mata, membuka indera keenamnya."Benar. Mereka bukan orang biasa. Mereka sudah terlatih, tapi berbahaya. Mereka pasti bagian dari sekte itu."Adit yang sedari tadi hanya mendengarkan, bangkit dari duduknya. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal. " Kalau mereka mencari masalah, biar aku yang hadapi. Hanya dua kan. Mungkin aku bisa melawannya. Kita tak bisa terus lari, Laras…"Mbah Joyo menatap Adit dengan senyuman tipis yang misterius. "Kau berani, Nak. Itu bagus. Dan kau benar, kadang-kadang kita memang harus berhenti lari dan me
Setelah pertarungan itu, Mbah Joyo membimbing mereka kembali ke dalam pondoknya. Tubuh Adit masih gemetar akibat penggunaan kekuatan yang besar, sementara Larasati nampak cemas melihat kondisi sahabatnya barunya itu.Mbah Joyo mengambil beberapa daun kering dan rempah-rempah dari toples yang tersimpan di rak dapurnya, lalu menyeduhnya dengan air panas."Minumlah," kata Mbah Joyo, menyodorkan secangkir ramuan herbal kepada Adit. "Ini akan memulihkan tubuhmu."Adit menerima cangkir itu dan meminumnya perlahan. Rasa pahit yang diikuti kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya, memberikan sensasi tenang yang aneh."Terima kasih," ucap Adit, merasakan kekuatannya berangsur pulih. "Sebenarnya itu tadi... apa yang saya lakukan? Saya merasa kadang tidak berpikir saat melawan dua orang itu. Seolah, tubuh ini bergerak sendiri…"Mbah Joyo duduk bersila di hadapan mereka, wajahnya yang berkeriput menyiratkan keseriusan. "Kau baru saja menunjukkan potensi kekuatan yang kau miliki. Tapi menggunakanny
“Heh! Apa yang kamu lakukan di sini?! Kamu mengintipku, hah?!”Adit, yang tengah mengepel lantai ruang ganti pelanggan, nyaris menjatuhkan pelnya saat mendengar suara bentakan itu.Di hadapannya, seorang wanita cantik dengan tubuh menggoda dan hanya mengenakan pakaian dalam berenda, berdiri dengan napas memburu.Itu Bu Celina, manajer tempatnya bekerja!Tangan wanita itu menutupi dadanya yang montok, tapi pahanya yang mulus justru terabaikan.Glek.Adit menelan ludah. Otaknya berteriak untuk tidak melihat, tapi matanya berkhianat.Takut? Jelas. Adit hanya trainee rendahan. Terpergok dalam situasi seperti ini bisa membuatnya dipecat seketika.Namun, senang?Bagaimana tidak? Bu Celina adalah fantasi hidup para terapis pria di panti pijat ini!Dengan tubuh berlekuk sempurna, kulit sehalus sutra, dan tatapan tajam menggoda, siapa yang tidak pernah membayangkan wanita itu dalam pelukan mereka?Dan sekarang… tubuh yang biasanya hanya ada dalam bayangan, terpampang jelas di depannya!Tapi… a
Segera saja Adit menuju ke lokernya. Kunci masih tergantung di sana dan dia segera mengambil seragam kerja, lalu ke ruang ganti untuk mengenakan bajunya.Buru-buru ia memasukkan baju dan bawaannya yang lain, memasukkannya ke loker, menguncinya dan mulai bergegas menuju ke ruang 25.Satu kamar itu ada satu ranjang untuk klien. Semua peralatan yang dibutuhkan ada di sana.Adit mengetuk pintu dan kemudian masuk. Dilihatnya seorang wanita berusia 40 tahunan. Dia masih sedang menelefon entah siapa. Jadi Adit hanya berdiri menunggu saja di dekat pintu. Ia pun masih merasa berdebar.Wanita itu terlihat kaya dengan outfit yang melekat di tubuhnya yang biasa saja itu. Adit memperhatikan wajah wanita itu; biasa saja. Tapi terlihat mahal karena perawatan. Kulitnya putih mulus tanpa jerawat. Make-upnya tampak natural kecuali bibirnya yang terlihat merah oleh gincu. Rambutnya juga terlihat mahal yang tak mungkin pula disentuh oleh salon biasa.Wanita itu menutup telefon, lalu menoleh ke arah Adit,
Adit kembali memijit. Ia merasa lebih tenang saat ini karena ternyata kliennya suka dengan pelayanannya.Namun demikian, Adit bertanya-tanya; kenapa wanita itu meliuk-liuk seperti cacing dan juga mengeluarkan suara aneh?Adit memang polos. Di usianya yang ke 22 tahun itu, dia belum pernah sekali pun nonton film dewasa.Bukannya ia tak mengerti apa itu terangsang dan apa itu hubungan badan. Tapi sesungguhnya baru kali ini ia melihat secara langsung ada wanita yang sedang merasa seperti itu yang menurutnya sangat ambigu; apakah dia sakit atau apa? Sebab ia sungguh murni hanya memijit.Adit juga sangat sopan dalam memijit. Ia tak aneh-aneh. Bahkan tak berani benar-benar melihat wanita itu. Ia memijit bagian yang semestinya sopan untuk dipijit.Hingga kemudian, dua jam berlalu begitu saja. Dua jam adalah waktu standard klinik untuk melayani konsumen dengan pijitan.“Huff... amazing... aku, sampai dibuat basah sama kamu. Siapa tadi namamu?” tanya wanita itu dengan nafas terengah.“E—Adit,
Buru-buru Ayunda melepaskan diri dari rengkuhan Adit. Namun aura marah yang tadinya tampak di wajah cantik itu seketika lenyap, berganti rona merah di pipinya. Tanpa mengatakan apa-apa, Ayunda pergi meninggalkan Adit.‘Dia itu kenapa!’ ucap Adit dalam hati. Ia sungguh tak mengerti. Namun ia tak mau terlalu memikirkannya, sebab ia pun buru-buru harus ke ruang pelatihan.Ada lima orang termasuk Adit yang merupakan terapis baru. Adit satu-satunya calon terapis cowok. Lalu empat yang lain adalah terapis cewek. Ada dua trainer, satu cewek dan satu cowok. Keduanya adalah senior yang sudah lama bekerja di tempat itu.“Maaf terlambat!” kata Adit.“Loh, kok kamu ada di sini? Bukannya kata Pak Rudy kamu sudah out ya!” ucap Anton, trainer cowok yang mendapatkan tugas mengajari anak-anak baru itu.“Iya. Tiga hari kamu nggak masuk dan hari ini pun datang setelah istirahat siang!” kata Cindy, si trainer cewek. Adit bertanya-tanya pula, kenapa Cindy juga tahu ia tak masuk kerja.Di titik itu, ia yak
Pak Rudi menunggu di luar ruangan dengan senyum penuh kemenangan. Di sebelahnya ada Anton dan Cindy yang baru saja menyusul karena ingin menyampaikan sesuatu.“Nanti dulu. Aku ingin melihat drama!” kata Pak Rudy. Dia yakin sebentar lagi, Nyonya Nesya akan keluar dengan wajah merah padam dan mengomel seperti biasanya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Saat pintu terbuka, yang keluar adalah seorang wanita yang sama sekali berbeda dari yang mereka kenal selama ini. Nyonya Nesya terlihat begitu rileks, wajahnya berseri-seri, dan langkahnya ringan seolah baru saja kembali dari liburan mewah."Adit!" serunya sambil menepuk bahu pemuda itu dengan akrab. "jangan lupa ya, pokoknya aku hanya mau dipijat olehmu. Pastikan kamu ada setiap kali aku datang, ya?"Pak Rudi hampir terlonjak. Mata Anton dan Cindy terbelalak tak percaya. Mereka saling berpandangan, mencoba mencari penjelasan atas fenomena langka ini. Adit sendiri hanya bisa tersenyum canggung.“Siap Nyonya!” balas Adit.Nyonya Nesya
Setelah pertarungan itu, Mbah Joyo membimbing mereka kembali ke dalam pondoknya. Tubuh Adit masih gemetar akibat penggunaan kekuatan yang besar, sementara Larasati nampak cemas melihat kondisi sahabatnya barunya itu.Mbah Joyo mengambil beberapa daun kering dan rempah-rempah dari toples yang tersimpan di rak dapurnya, lalu menyeduhnya dengan air panas."Minumlah," kata Mbah Joyo, menyodorkan secangkir ramuan herbal kepada Adit. "Ini akan memulihkan tubuhmu."Adit menerima cangkir itu dan meminumnya perlahan. Rasa pahit yang diikuti kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya, memberikan sensasi tenang yang aneh."Terima kasih," ucap Adit, merasakan kekuatannya berangsur pulih. "Sebenarnya itu tadi... apa yang saya lakukan? Saya merasa kadang tidak berpikir saat melawan dua orang itu. Seolah, tubuh ini bergerak sendiri…"Mbah Joyo duduk bersila di hadapan mereka, wajahnya yang berkeriput menyiratkan keseriusan. "Kau baru saja menunjukkan potensi kekuatan yang kau miliki. Tapi menggunakanny
Larasati menutup matanya sejenak, mencoba memperdalam konsentrasinya. Ia bisa merasakan getaran energi yang semakin mendekat, seperti gelombang yang merambat melalui tanah di bawah kaki mereka."Dua orang," gumamnya pelan. "Seorang laki-laki dan perempuan. Mereka... berbeda. Energi mereka terasa dingin, seperti kabut di pegunungan yang menusuk tulang."Mbah Joyo mengangguk perlahan. Garis-garis di wajahnya yang sudah menua semakin dalam saat ia memejamkan mata, membuka indera keenamnya."Benar. Mereka bukan orang biasa. Mereka sudah terlatih, tapi berbahaya. Mereka pasti bagian dari sekte itu."Adit yang sedari tadi hanya mendengarkan, bangkit dari duduknya. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal. " Kalau mereka mencari masalah, biar aku yang hadapi. Hanya dua kan. Mungkin aku bisa melawannya. Kita tak bisa terus lari, Laras…"Mbah Joyo menatap Adit dengan senyuman tipis yang misterius. "Kau berani, Nak. Itu bagus. Dan kau benar, kadang-kadang kita memang harus berhenti lari dan me
Sementara Adit bergegas ke kamarnya untuk berkemas, Laras berdiri di dekat jendela, matanya menyapu jalanan di depan rumah Adit. Entah kenapa, ia merasa sedang diawasi. Kemampuan barunya untuk membaca aura dan energi memberikan perasaan tidak nyaman; seperti ada kehadiran asing di sekitar mereka.Di kamar, Adit segera berganti pakaian dan membawa apa saja yang perlu dibawa."Sudah siap?" tanya Laras saat Adit keluar dari kamar dengan tas kecilnya."Sudah," jawab Adit, meski dalam hatinya ia merasa sama sekali tidak siap untuk apa pun yang akan mereka hadapi.Mereka berjalan ke mobil Laras. Sebelum masuk, Adit menoleh ke rumah kecilnya. Entah kenapa, ia merasa mungkin tidak akan kembali dalam waktu dekat."Tenang saja," Laras seolah bisa membaca kekhawatirannya. "Kita akan kembali. Tapi kita perlu belajar mengendalikan ini dulu," ia mengangkat tangannya yang sempat berpendar dengan cahaya ungu.Adit mengangguk dan masuk ke mobil. Saat mesin dihidupkan dan mobil mulai bergerak, ia meras
Di rumahnya yang megah, Larasati berbaring di ranjang king size-nya, menatap langit-langit kamar yang tinggi. Rumah besar ini terasa lebih sunyi dan dingin setelah menghabiskan waktu di rumah kecil Adit yang hangat.Ia menutup mata, mencoba merasakan sisa-sisa energi Adit yang masih terasa di tubuhnya. Seperti bekas sentuhan yang tidak bisa dihapus, energi itu masih berdenyut lembut di bawah kulitnya, mengingatkannya pada sensasi luar biasa yang ia rasakan di bawah sentuhan pria itu."Kenapa kamu tidak menahanku, Adit?" bisiknya pada keheningan kamar.Ponselnya berbunyi sekali lagi. Ia membaca pesan dari Adit dan tersenyum. Ada banyak yang tidak terucap di antara mereka, banyak perasaan yang tertahan. Tapi mungkin ini memang belum waktunya. Mereka baru saja memulai perjalanan untuk memahami kekuatan mereka, untuk memahami ikatan aneh yang menghubungkan mereka.Laras bangkit dan berjalan ke jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumahnya. Langit malam bertabur bintang, bulan se
Mereka keluar dari kamar dengan perasaan yang campur aduk. Adit berjalan lebih dulu, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu cepat. Ia merapikan rambutnya yang berantakan dengan jari, mencoba terlihat normal meski pikirannya masih berkecamuk dengan apa yang baru saja terjadi.Larasati mengikuti di belakangnya, wajahnya masih merona. Tatapannya terus tertuju pada punggung Adit, seolah menunggu pria itu berbalik dan melanjutkan apa yang tadi terhenti. Namun Adit tidak berani; atau mungkin tidak menyadari tatapan itu."Kamu mau minum sesuatu?" tanya Adit, suaranya terdengar serak. Ia berdeham, berusaha menormalkan nada bicaranya."Air putih saja," jawab Laras, duduk di sofa ruang tamu. Tangannya masih sedikit gemetar.Adit mengambil dua gelas air dari dapur. Saat kembali, ia melihat Laras sedang memejamkan mata, seperti menikmati sensasi yang masih tersisa di tubuhnya. Pemandangan itu membuat tenggorokannya mengering. Ada dorongan kuat untuk kembali menyentuh gadis itu,
Kamar Adit sama sederhananya dengan bagian rumah lainnya; sebuah ranjang single dengan sprei putih bersih, lemari kayu kecil, dan meja kerja sederhana di sudut ruangan. Ada rak buku di dinding yang dipenuhi berbagai buku sekolahnya dulu, novel silat, dan buku-buku tua milik kakeknya.Larasati masuk dengan langkah ringan, matanya menjelajahi ruangan pribadi Adit dengan penuh ketertarikan. "Kamar yang nyaman," komentarnya sambil duduk di tepi ranjang.Adit berdiri canggung di ambang pintu, jantungnya berdegup kencang. Ini pertama kalinya ada wanita yang masuk ke kamarnya."Jadi... kamu mau kupijit bagian mana?" tanya Adit, berusaha terdengar profesional meski tangannya mulai berkeringat."Bahuku dan punggungku terasa kaku setelah semua kejadian hari ini," jawab Laras sambil menggerakkan bahunya yang terasa tegang. "Mungkin kamu bisa mulai dari situ?"Adit mengangguk. "Baiklah. Kamu bisa berbaring tengkurap."Laras melepas sweaternya, menyisakan kaos tipis berwarna putih yang memperlihat
Rumah Adit memang kecil, hanya berukuran 6x8 meter dengan satu kamar tidur dan ruang tamu yang menyatu dengan dapur sederhana. Dindingnya berwarna putih kusam yang mulai mengelupas di beberapa bagian. Perabotan di dalamnya minimalis; sebuah kursi kayu tua berwarna cokelat, meja kayu, dan lemari kecil tempat beberapa buku tersusun rapi.Laras duduk di kursi kayu tua yang berderit pelan ketika ia menyamankan posisinya. Matanya menjelajahi setiap sudut ruangan dengan penuh minat. Meski sederhana, rumah ini terasa hidup dan hangat; sangat berbeda dengan rumah megahnya yang sering terasa dingin dan kosong."Maaf ya, rumahku hanya seperti ini,” kata Adit sambil membawa dua cangkir kopi dari dapur kecilnya.Laras menggeleng. "Justru aku suka di sini. Rumahku terlalu besar untuk ditinggali sendirian.""Kamu sendirian di rumah?" tanya Adit sambil meletakkan cangkir di atas meja."Ayah dan Ibu jarang pulang. Kamu tahu sendiri, ayahku pejabat. Waktunya di kantor dan entah apa itu jauh lebih bany
Larasati menoleh ke belakang. Iris matanya membesar melihat gerombolan motor yang mendekati mereka dengan kecepatan tinggi."Sepertinya mereka mengarah ke kita," bisik Laras, suaranya tertahan. Tangannya secara naluriah mencengkeram dashboard mobil.Adit mengencangkan pegangannya pada kemudi. "Tenang saja. Mungkin mereka cuma mau lewat."Tapi kalimat Adit tidak sesuai dengan tindakannya. Ia mempercepat laju mobil, matanya terus melirik spion. Gerombolan pemuda itu semakin mendekat, beberapa di antaranya memukul-mukul tongkat ke aspal sambil memacu kendaraan mereka."Adit, mereka semakin dekat," kata Laras, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdegup kencang."Aku tahu," jawab Adit pendek. Keningnya berkerut, mencari jalan keluar dari situasi ini. "Laras menggeleng. "Sepertinya mereka preman kampung sini—" Kata-katanya terpotong saat sebuah motor menyalip dan memepet di samping mobil mereka. Pengendaranya, seorang pemuda dengan tato di lengan, menatap tajam ke arah mereka."Mi
Langit mulai menghangat, menjelang siang, ketika Adit dan Larasati melangkah meninggalkan reruntuhan candi tua itu. Semuanya terasa hening, terlalu hening. Tak ada suara burung, bahkan angin pun enggan bergerak. Daun-daun hanya bergeming, seolah menahan napas.Mereka melintasi pelataran kecil yang dipenuhi lumut. Di ujung jalan setapak berbatu itu, berdiri seorang lelaki tua. Pakaiannya serba putih, lusuh tapi bersih, wajahnya tirus namun tidak menyeramkan; justru teduh, dengan tatapan yang terasa menembus jauh ke dalam dada.Langkah Adit terhenti. Larasati pun ikut berhenti di sampingnya. Lelaki itu bukan penjaga kompleks candi yang di awal menyambut mereka. Pakaian putih yang dia kenakan itu pun terlihat kuno, seperti apakain brahmana jaman dulu, yang mereka lihat di film-film silat.“Kalian telah membuka pintu yang tak seharusnya dibuka. Ada yang kalian dapatkan saat ini, namun juga akan ada yang datang menghampiri kalian berdua. Bersiaplah. Segala sesuatunya, akan dimulai dari sek