Share

Turun Ranjang
Turun Ranjang
Author: Deva Delia

Bagian Satu

"Mau sampai kapan?"

Anjel menyesap kopinya perlahan. Ia tetap diam dalam posisi duduk menghadap meja bar di dapur dan membelakangi ibunya. Pun ia juga tidak menjawab pertanyaan ibu yang terus menerus diulang tiap hari dan tiap waktu. Telinga Anjel panas rasanya, tapi seperti yang sudah-sudah, ia akan memilih diam seribu bahasa.

"Kamu udah 29 tahun, teman-teman kamu udah punya anak. Kamu?"

Anjel berdiri, memeriksa roti yang ia panggang di atas kompor untuk memastikan kematangannya. Ia benar-benar ingin cepat-cepat pergi ke butik dan bebas dari ini semua. Dan sial! Rotinya belum matang! Kenapa jadi lama sekali?

"Ada apa, Bu?"

Suara berat khas bapak-bapak muncul. Itu artinya, penderitaan ini akan berakhir lebih cepat. Anjel menoleh, dan benar saja. Ayahnya sudah duduk di hadapan ibunya yang sedari tadi tak berhenti mengomel. Padahal beliau sedang menonton berita di televisi—yang semestinya lebih menarik disimak—dari pada membicarakan Anjel yang tak kunjung punya pacar.

Anjel hanya diam, bersiap mematikan kompor dan memindahkan roti ke atas piring. Ia melirik sekilas ke arah dua orang itu. Mereka sama-sama diam, baik ibu atau ayah sama-sama tidak melanjutkan pembahasan. Ujung bibir Anjel tertarik ke atas. Ayah selalu punya cara untuk menyelamatkan Anjel apalagi di situasi semacam ini. Toples selai kacang yang sedari tadi teronggok di atas meja, segera Anjel raih dan mengoleskan isinya. Ia menikmati sarapannya tanpa direcoki oleh ....

"Selamat pagi, semua!"

Suara melengking yang bahkan bisa terdengar sampai ke luar rumah mulai memenuhi ruangan. Anjel terperanjat, menyadari bahaya akan menyerang, ia segera menghabiskan rotinya dan buru-buru lari.

"Anjel berangkat!" Dengan langkah seribu ia meninggalkan Azalea yang menggerutu di depan meja dapur.

"Kakak! Curang! Aku, kok, ngga dibikinin?"

"Bikin sendiri! Udah tua juga!"

Anjel tertawa, dengan setengah berlari ia memasuki mobil dan mulai meninggalkan pelataran rumahnya. Anjel, adalah seorang owner butik terkenal di kotanya. The Dress adalah brand yang ia gunakan untuk melabeli butik sekaligus produknya. Selain itu, ia juga seorang desainer yang top dan berkelas. Maka jangan heran jika ia punya banyak relasi bisnis, baik dalam dan luar negeri.

Mengadakan acara fashion show dan louncing produk rutin ia laksanakan. Karirnya melejit dan bisnisnya sukses. Impian menjadi wanita karir sudah ia kantongi. Hanya saja, apa yang sudah ia capai masih belum bisa membuat ibunya bangga, karena ada satu hal yang belum bisa Anjel wujudkan, yaitu menikah.

Sebenarnya, selama ini sudah banyak lelaki yang menambatkan hati pada Anjel. Bahkan dari kalangan pengusaha, pejabat, aparat hingga anak menteri. Tapi, Anjel tetaplah Anjel. Meski ia seorang perempuan yang anggun dan lembut, ia tetap tegas dan ketat untuk memilih pasangan.

Kegagalan-kegagalan yang ia alamai semasa muda dulu, cukup memberinya pelajaran untuk tidak mudah membuka hati apalagi terhadap lawan jenis. Hal itulah yang membuatnya masih asyik menikmati kesendirian hingga saat ini. 

Setelah sekitar 30 menit perjalanan, sampailah Anjel di butik tempat ia bekerja. "Selamat Pagi, Kak." Seorang wanita muda menyapanya seraya membukakan pintu.

"Pagi," balas Anjel dengan senyuman manis.

"Hari ini baby pink?"

Anjel terdiam, ia memandang wanita itu kemudian tertawa setelah menyadari maksudnya. "Astaga! Tentu saja! Hahaha!"

Ia menepuk pelan pundak wanita itu lalu berjalan menuju ruangannya. Anjel baru sadar bahwa ia tengah mengenakan dress bunga-bunga selutut berwarna baby pink. Entahlah, memasangkan setelah dress dengan sepatu flat terlihat pantas untuknya dari pada kemeja dan blazzer yang menyesakkan.

Anjel selalu begitu, dengan rambut yang hitam legam digerai begitu saja semakin menambah keimutannya. Tak lupa, ia selalu menyelipkan jepit kecil di rambut atas pelipis kanan. Bagi siapapun yang bertemu dengannya, mungkin akan mengira ia masih berusia 19 tahun.

Pintu ruang kerjanya terbuka, hal pertama yang akan ia lihat adalah sesuatu di atas meja itu. Sesuatu yang tadi pagi belum sempat ia habiskan karena Azalea datang mengacau. Anjel mundur beberapa langkah lalu menoleh ke kiri, kemudian melambaikan tangan pada Kristin--wanita muda tadi.

"Terima kasih kopinya!"

Kristin menoleh lalu melipat tangan di dada. "Coffe latte, cocok untuk menahan ngantuk saat kakak merasa lelah dengan tumpukan berkas di atas meja."

Anjel tertawa lalu diikuti Kristin. "Kamu juga jangan lupa ngopi, menghadapi pembeli yang membludak setelah lounching brand akan membuatmu kesal."

Begitulah mereka, saat pertama kali butik ini dibuka lima tahun lalu, saat itulah mereka pertama kali bertemu. Kedekatan yang terjalin antara Anjel dan Kristin sudah selayaknya sahabat, bukan seperti atasan dengan karyawan.

Anjel segera duduk di atas sofa empuk di ruangannya. Melirik arloji yang melingkar di lengan kirinya, lalu menatap lurus lagi. Butik akan dibuka dalam waktu 30 menit, ia masih bisa santai membaca buku seraya menyesap kopi.

***

"Kak, gimana? Mau, ya? Mau, 'kan?"

"Oke oke, tapi aku ngga janji dateng cepat. Toko lagi ramai."

"Yah, trus siapa yang jemput aku?"

Anjel memutar bola matanya. Sebenarnya merasa risih, tapi rasa sayang keburu menguasai.

"Kamu bisa naik ojek online buat ke sini, trus tungguin aku bentar, lalu kita makan."

"Ngga mau, ah! Panas tau, Kak!"

"Terus maumu apa?

Anjel menyangga ponselnya dengan pundak, sementara kedua tangannya sibuk menekan-nekan tombol di depan monitor meja kasir. Beberapa pembeli memperhatikan percakapannya, beberapa lagi memilih acuh dan segera mengambil antrian.

"...."

"Iya, deh. Terserah kamu. Awas ngambek-ngambek, ntar."

Anjel menutup ponselnya dan lanjut melayani pembeli yang semakin banyak. Sebenarnya, duduk di depan meja kasir bukanlah tugasnya. Reyna—Si Mbak Kasir—hari ini sakit dan tak bisa bertugas, alhasil Anjel-lah yang menggantikannya, walau sebenarnya di atas mejanya ada setumpuk pekerjaan yang belum tersentuh. Satu jam berlalu, pembeli sedikit demi sedikit sudah berkurang. Akhirnya ia bisa sedikit meregangkan otot-otot dan bersiap mengisi perut.

"Kalian istirahat dulu gantian, ya!" perintah Anjel pada Kristin, Anna dan Friska.

"Oke, Kak."

Anjel meraih ponsel, dompet dan kunci mobilnya. Ia baru sadar bahwa Si Bawel Azalea mungkin sudah membatu menunggunya di pinggir jalan. Siapa suruh datang kemari tidak mau? Setelah menyalakan mobil, ia segera meluncur ke Universitas Angkasa, tempat Azel berkuliah.

Anjel berkendara cukup kencang hingga begitu sampai di depan kampus. Ia bisa melihat Azel tengah duduk di halte seraya memainkan ponsel. Berbeda dengan Anjel yang suka mengenakan dress, Azel justru lebih suka mengenakan celana jeans yang dipadukan dengan hoodie atau kemeja panjang yang lengannya dilipat. Terkadang, rambut yang dicepol juga menghiasi penampilannya.

"Mau sampe kapan di situ? Sampe lebaran monyet?" Azel mendongak lalu mengerucutkan bibir saat tahu sang kakak meledeknya.

"Lama banget!"

"Aku udah bilang, 'kan, kalo aku masih banyak pembeli dan kamu ngga boleh ngambek?"

Azel diam saja dan langsung membuka pintu mobil. Mobil langsung melaju membelah jalan raya menuju restoran favorit mereka.

***

"Kak, kenapa kakak suka sekali kopi? Kenapa ngga coba minum jus? Bukannya jus lebih sehat?"

Anjel masih asyik menyuapkan potongan ikan nila bakar ke dalam mulutnya. Ia lebih suka mendengar pertanyaan Azel ketimbang menjawabnya. Bahkan, menjawab pun percuma karena sebenarnya Azel sudah tahu jawabnya.

"Terhitung sudah ke-1247 kali kamu menanyakan hal itu dan jawabanku masih sama," ucap Anjel santai dan tenang.

Azel berdecak, kakaknya memang tak bisa diajak bercanda. "Pantas aja kakak masih jomblo, garing banget, sih!"

"Mau jadi kayak ibu?" sindir Anjel seraya menatap ke arah lain.

"Ih, kakak!"

Anjel tertawa dan Azel semakin kesal. Ia lalu mengusap pucuk kepala Azel asal. "Kamu ini, sudah 22 tahun tapi masih saja sifatnya kayak anak SMA."

Lalu ledekan demi ledekan menghiasi suasana makan siang mereka saat ini. Meski begitu, mereka amat menikmati kedekatan ini dan mungkin sampai kapanpun takkan terpisah. Tiba-tiba saat sedang asyik bercanda, Azel malah menatap ke arah seberang jalan. Memandang sebuah toko bunga yang sepertinya lebih menarik untuk dilihat. Apalagi gadis itu juga melihat seseorang tengah memasuki toko bunga tersebut.

"Kenapa, Zel?"

"Kak, kita beli bunga, yuk!"

Anjel mengernyitkan dahi. "Bunga, buat apa?"

Tbc. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status