Gadis yang kini muncul di layar tampak lebih polos dari sekadar kata polos. Polosnya bukan dalam pengertian naif semata. Namun, seperti selembar kertas yang belum sempat diisi dan belum sempat memilih warna hidupnya sendiri.
Dia belum lulus sekolah menengah atas. Belum genap tujuh belas tahun. Belum cukup umur untuk memahami perbedaan kenikmatan dan kejahatan. Belum benar-benar paham makna percintaan. Belum cukup pintar untuk menjadi pusat dari rekaman sehina itu.
Dan kini, di layar yang menyala dengan cahayanya yang kejam, tubuhnya terpampang tanpa penutup. Kulitnya, sorot matanya, bahkan napasnya terekam dengan terlalu jelas. Semua yang menyaksikan pastinya tahu kalau ini bukan lagi sekadar skandal. Ini adalah bentuk lain dari sebuah kejahatan.
“Shandy Liana, putri kandung Saudara Farraz. Terhitung masih di
Nayla berdiri menantang pria yang tingginya cukup jauh di atasnya. Dia tahu betul, selama ini, Damian pasti sudah sering berdiri di luar jendela ketika malam datang. Menyimak denyut lampu. Menghitung langkah. Merekam suara napas. Mengintai dalam diam.Kini, hari ini, di hari pertama dia resmi bebas dari ikatan pernikahan, Damian tak lagi berdiri di luar. Dia masuk dengan cara dan waktu yang dia pilih sendiri. Terang-terangan, seperti seseorang yang memang selalu merasa punya hak.“Amore.”Damian berucap selirih bisikan. Kali ini, tampak sekali kalau setiap langkahnya bukan datang untuk menerkam. Begitu dia berdiri tepat di hadapan Nayla, wajahnya langsung menunduk.“Aku tahu kamu butuh sendiri,” bisik Damian. “Tapi aku tidak bisa membi
Rumah itu sunyi. Sunyi yang sengaja dipilih. Bukan karena kesepian, tapi karena Nayla memang membutuhkannya.Adrian telah kembali ke rumahnya sendiri setelah sempat makan malam bersama, setelah memastikan Nayla baik-baik saja. Carina, meski sempat menemaninya, memutuskan untuk pulang ke apartemen untuk mengurus pekerjaan yang sempat tertunda. Dan urusan hukum dengan Hartono pun sudah rampung. Tidak ada lagi yang perlu dia tanda tangani. Tidak ada lagi dokumen yang harus dibaca atau didebatkan.Malam ini, Nayla hanya butuh diam.Dia melepas sepatunya perlahan. Menaruh tas di atas meja kecil dekat pintu, lalu mengusap tengkuknya yang pegal. Isi kepalanya masih asing oleh fakta bahwa dirinya telah resmi menjadi wanita bebas. Kosong, tapi tidak hampa. Gelap, tapi bukan muram.
Gadis yang kini muncul di layar tampak lebih polos dari sekadar kata polos. Polosnya bukan dalam pengertian naif semata. Namun, seperti selembar kertas yang belum sempat diisi dan belum sempat memilih warna hidupnya sendiri.Dia belum lulus sekolah menengah atas. Belum genap tujuh belas tahun. Belum cukup umur untuk memahami perbedaan kenikmatan dan kejahatan. Belum benar-benar paham makna percintaan. Belum cukup pintar untuk menjadi pusat dari rekaman sehina itu.Dan kini, di layar yang menyala dengan cahayanya yang kejam, tubuhnya terpampang tanpa penutup. Kulitnya, sorot matanya, bahkan napasnya terekam dengan terlalu jelas. Semua yang menyaksikan pastinya tahu kalau ini bukan lagi sekadar skandal. Ini adalah bentuk lain dari sebuah kejahatan.“Shandy Liana, putri kandung Saudara Farraz. Terhitung masih di
Adrian bukan pria yang kali ini akan Damian bunuh. Sama sekali bukan. Namun, melihat bagaimana gerak-gerik Damian, sekujur urat seperti menegang seolah dirinya yang akan menjadi korban.Kedua kakinya melangkah lebih dekat ke arah meja. Dengan sebelah tangan yang bertumpu pada kursi, Adrian menajamkan pandangan. Sorot matanya berubah saat melihat folder itu. Dia masih mengingatnya. Masih ingat bagaimana folder itu pernah disebut Damian sebagai satu senjata yang akan mengakhiri semuanya dengan sekali sayat.Tanpa ragu, Damian mengklik ikon merah itu. Folder terbuka serupa menampakkan isi peti kutukan. Di dalamnya, ada satu paket berkas. Tak pernah disentuh, tak pernah dibagikan. Disimpan jauh dari sorotan. Dibiarkan tidur sampai waktunya tepat.Begitu video muncul di layar, Ad
“Tentu saja,” ucap Adrian tiba-tiba..Damian hanya menaikkan sebelah alis. “Apa maksudmu?”Adrian menatap Damian tanpa langsung menjawab. Matanya menelisik, seolah mencari celah kemanusiaan di balik sorot yang terlalu iblis untuk disebut manusia biasa.Dua detik lantas terlewat. Hening merambat, lalu Adrian akhirnya bersandar ke kursi dengan gerakan lambat. Napasnya berembus panjang seperti seseorang yang baru saja menemukan kesimpulan.“Aku bilang, tentu saja,” ucap Adian kemudian. “Tentu saja kamu begitu. Aku hampir lupa kalau kamu bahkan pernah mengalahkan beberapa petinggi di beberapa negara. Jadi, tentu saja kamu masih punya sesuatu untuk ikut menghabisi pengacara dari pria yang akan terus kamu habisi.”Damian tersenyum
Nathan menghilang. Tak ada kabar, tak ada unggahan. Bahkan, kini, dia tak hadir di ruang sidang. Kursinya kosong, seperti bentuk pengakuan diam-diam atas semua yang sudah terjadi. Dunia mencari, media berspekulasi, tapi Nathan memilih sunyi.Mata-mata wartawan berdiri di luar pagar, sementara kamera-kamera diarahkan ke pintu masuk seperti senjata yang siap ditembakkan. Namun, ruang sidang tetap hening. Tertutup rapat, jauh dari sorotan publik.Nayla duduk di sisi kiri ruang sidang. Wajahnya tenang, seperti sudah tahu siapa yang akan tenggelam. Di sampingnya, Hartono berdiri dengan postur tegap ala seseorang yang paham arah dan medan. Satu tangannya menyentuh meja, satu lagi memegang berkas.Sementara itu, di seberang, Farraz tampak tidak terguncang. Setelan armaninya licin,