"Istri orang nangis mulu, tar kalau ada orangnya cuma nunduk saja diam sambil mengangguk-angguk kayak buruk pelatuk," kata Vira sinis. "Kamu kok jahat, Vir. Teman nangis bukannya dihibur malah diledekin," kata Luna kesal. Vira berdiri menyedekapkan kedua tangannya di depan dada, memandang LUna yang bersimbah air mata di atas ranjang rumah sakit. Setengah jam yang lalu Vira memang datang menjenguk LUna yang baru saja melahirkan, bahkan Vira juga sudah melihat anak Luna yang masih ditempatkan di ruangan khusus. Meski dia masih sedikit heran, kenapa LUna bisa melahirkan secepat ini. "Aku bosan lihat kamu mewek terus, mending kamu mewek depan yang menyakiti kamu, bukan didepanku yang nggak tahu apapun," kata Vira judes. "Kok kamu jahat banget, memangnya nggak mau jadi sahabatku lagi?" "Bosan aku jadi sahabatmu. Mewek mulu. Sudah aku bilang kamu harus tegas sama suamimu, katakan
Setelah makan malam Laksa datang menemui Luna yang dijaga oleh beberapa orang pengawal yang memang dibayar oleh Laksa untuk menjaga anak dan istrinya, Vira sendiri harus pulang setengah jam yang lalu karena ada masalah dengan pementasan di sebuah gedung, membuatnya terpaksa meninggalkan Luna sendiri, sedangkan sang ayah, Luna minta pulang ke rumah dan beristirahat, karena semalaman sudah menjaganya. Mau tak mau memang Luna harus bisa menyesuaikan diri dengan ini semua, dia tidak boleh terus bergantung pada orang lain, saat ini tubuhnya memang masih sangat lemah pasca operasi yang dia jalani, tapi bukan berarti dia boleh manja. "Maaf aku lama meninggalkanmu." "Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Luna yang melihat wajah kusut Laksa."Yah semuanya baik-baik saja." "Lalu kenapa kakak terlihat kusut?" "Ini karena kamu.""Kenapa aku?" Luna memandang sang suami dengan heran, bukankah dia hanya diam saja di atas ranjang rumah sakit, tidak kemana-mana, jadi apa salahnya coba?"Ini karena
Laksa memandang istrinya dengan khawatir, dia percaya Luna bukan wanita yang midah patah, hanya karena gertakan seseorang, dia memang manja dan polos tapi sifat keras kepalanya membuatnya pantang menyerah. Tak ada riak takut dan minder di wajah Luna, yang ada hanya tekad kuat untuk bertahan, diam-diam senyum Laksa langsung terbit, dia ingin tahu apa yang akan dilakukan istrinya itu. Dengan senyum sinis, Raya menyambut uluran tangan Luna dan menjabatnya sebentar. "Itu hanya kecelakaan yang tidak disengaja, dan aku yakin Laksa juga paham akan hal itu." Raya memandang Laksa dengan sorot mata dalam, tapi Laksa malah memandang Luna, dan ikut tersenyum saat sang istri juga tersenyum. "Tentu saja, aku biasanya menyebut itu takdir, dan seingatku aku juga sudah berterima kasih padamu, karena berkat kamu aku sekali sudah memiliki keluarga kecil tempat aku pulang," kata Laksa kalem.Raya memandang mantan kekasihnya itu dengan terperan
“Baiklah kalau itu mau kakak.” “Aku tahu kalian hanya ingin membuatku cemburu, tapi drama murahan seperti ini aku sama sekali tidak tertarik,” kata Raya dengan berang, dia terlihat ingin mencakar Luna. “Apa kamu lupa Laksa kalau kamu juga pernah melakukan aku seistimewa ini, bahkan meski saat itu aku sudah menolak lamaranmu, kamu pasti ingat hubungan kita tak akan semudah itu pupus.”Pengalaman menjadi jomblo sebelum menikah dengan Laksa mengajarkan pada Luna untuk tetap tenang dan sedapat mungkin mengelola sakit hati, dia tahu di sini, dia sedang diposisi yang kuat dan Luna tak ingin itu semua berbalik arah karena emosi yang tidak terkendali.Mungkin benar Laksa memang pernah mengistimewakan Raya, bahkan mungkin lebih dari apa yang dia lakukan saat ini padanya, tapi tetap saja itu bukan tolak ukur kalau mereka akan kembali bersama, Luna merasa dia harus mengeraskan hatinya. Itu hanya masa lalu yang tak akan pernah bisa mereka ubah meski apapun yang ak
"Bangga aku sama kamu, sayang." Luna memandang suaminya yang tersenyum lebar sambil membantunya untuk naik ke ranjang.Dasar orang gila. Istrinya bertengkar dengan mantan kekasihnya malah bangga."Kok malah bangga? Bukannya harusnya kakak marah?" "Kenapa aku harus marah?" "Aku memarahi mantan kekasih kakak." "Itu bukan memarahi tapi bersikap tegas, tapi aku suka cara kamu mempertahankan aku tadi keren banget." Luna mengerucutkan bibirnya mengambil pisau dan sebutir apel lalu mengupasnya dengan muka cemberut. "Biar aku yang mengupas," kata Laksa merebut pisau dan apel dari tangan sang istri. "Aku bisa sendiri." "Aku tahu, tapi kalau kamu mengupas apel sambil cemberut bisa-bisa tanganmu kena pisau." Luna masih memandang Laksa dengan cemberut tapi dia membiarkan saja Laksa membantunya mengupas apel. "Aku suka melihatmu bersikap lebih tegas seperti tadi dari pada kamu na
"Kenapa kamu memandangku begitu, kamu tidak terima aku akan menghancurkan Leon," kata Laksa kesal karena Luna hanya diam saja saat Laksa membicarakan Leon. Luna menggeleng ikut kesal dengan kalimat sembarangan Laksa. "Bukan begitu aku hanya berpikir kenapa kalian bernapsu sekali untuk saling menghancurkan, apa ada dendam di antara kalian?" Laksa tersenyum kecil. "Dariku sebenarnya tidak ada, hanya saja seperti yang aku ceritakan dulu, dia cemburu karena mengira aku merebut pacarnya, dan itu berlanjut sampai sekarang, meski aku dan mantannya sudah menikah dengan orang yang berbeda." "Kalian seperti anak kecil." "Kehidupan di sekitarku memang keras, mungkin masalah itu hanya pemicu, sedangkan masalah sebenarnya adalah harga diri dan uang."Luna kembali meminta Laksa mengupaskan apel untuknya, rasa lapar memang tiba-tiba menyerangnya, padahal dia baru saja makan.Dengan senyum sabar Laksa menuruti keinginan Luna, jarang-jarang j
Luna pernah mendengar kalau rindu itu berat, tapi dia kira itu hanya perasaan lebay dari teman-temannya dulu, gadis-gadis yang masih suka menjerit-jerit saat idola mereka tampil di televisi. Sekarang dia seperti terkena karma dari pikirannya dulu, sampai jam sepuluh malam, Laksa yang tadi berjanji akan datang dan menemaninya di rumah sakit belum juga terlihat batang hidungnya, sedangkan sang mama mertua sudah ikut pulang saat papa mertuanya menjemput lebih dari dua jam yang lalu, dan sekarang Luna sendiri di sini, memang rumah sakit ini banyak dokter dan suster yang bisa dimintai tolong, juga dua orang penjaga yang memang ditempatkan Laksa untuk menjaga sang istri, tapi tetap saja, tidak seperti jika orang terdekatlah yang menemaninya. Rasanya Luna sudah sangat rindu untuk melihat wajah tampan suaminya itu, ah... setelah tahu kalau Laksa punya rasa yang sama untuknya, Luna jadi sedikit memanjakan perasaannya, memanjakan rasa yang ada dihatinya tanpa takut untuk k
Luna tak habis pikir kenapa masalah seolah berlomba untuk hadir dalam hidupnya saat ini. Meski sang mama memintanya untuk tenang dan percaya pada Laksa, akan tetapi sebagai seorang istri tentu saja Luna tidak bisa tenang, padahal saat ini kondisinya sangat butuh ketenangan. Otaknya selalu bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Laksa tidak langsung menghubunginya? Apa memang separah itu masalahnya?Tak bisa dicegah justru pikiran-pikiran buruk merajai, Luna merasa Laksa tak cukup menganggapnya, bukankah sebagai suami istri harusnya mereka berbagi suka dan duka bersama?Hampir tengah malam saat Tuti muncul di pintu kamar rawat Luna, gadis yang seusia Luna, itu terlihat kesal karena dipaksa datang kemari.Yaelah apa tidak ada orang lain? Kalau seperti ini lebih baik dia sendiri saja.Meski Tuti tak lagi sinis dan memusuhinya, tapi tetap saja hubungan mereka sebagai majikan dan pembantu tidak banyak mengalami kemajuan.
Beberapa kali Luna melirik pada suaminya yang sedang serius untuk mengemudikan mobil yang mereka tumpangi untuk keluar dari halaman parkir rumah sakit ini. "Jangan lirik-lirik terus nanti kamu tambah cinta sama aku." Luna langsung cemberut, Suaminya ini memang sangat suka membuatnya penasaran, apa susah coba langsung bicara di rumah sakit tadi, bukannya tidak ada orang lain selain mereka di sana, kenapa harus nanti sampai di rumah coba. "Jangan cemberut juga, nanti kalau ada yang lihat dikira aku nggak kasih kamu makanan, padahal tadi aku sudah bawakan makanan kesukaanmu." Luna hanya bisa mencebik dengan kesal, lihatlah Laksa terlihat begitu santai menanggapi kemarahan. Hah! Jangan bilang suaminya ini sedang mengumpulkan alasan untuk membohonginya. "Kakak sedang menyusun kata untuk mencari alasan ya." Laksa langsung menyemburkan tawanya begitu mendengar kalimat sang istri.
"Luna sudah diperbolehkan pulang, tepatnya karena dia tidak tenang ada di rumah sakit ini." jarang-jarang bukan Vira mau berbaik hati memberi penjelasan untuk orang lain, meski hatinya geram bukan main.Laksa memandang sahabat istrinya yang menampakkan wajah tidak bersahabat padanya, bukan hal yang aneh memang sejak awal memang sahabat istrinya ini terlalu protektif pada istrinya, satu hal yang tidak tahu harus dia syukuri atau tidak. "Terima kasih sudah menjaga Luna." "Tidak perlu, aku memang harus menjaganya apalagi di sini dia sendirian menghadapi nenek lampir," Vira segera menghadap Luna, memandang sahabatnya itu yang terdiam tak tahu harus berbuat apa."Kamu mau aku antar pulang atau bersama suamimu?" "Lebih baik dia pulang bersamaku saja," bukan Luna yang menjawab tapi Laksa.Vira mendelik pada Laksa seolah ingin berkata kalau dia tidak bertanya pada Laksa, dan tentu saja itu membuat Laksa mati gaya. Dasar sahabat istri
“Aku sudah diperbolehkan dokter pulang.” Begitu pesan yang dikirim Luna untuk suaminya, dan pesan itu sudah dia kirim lebih dari satu jam yang lalu, tapi nasibnya sama dengan pesan-pesan Luna yang lain pada suaminya, tetap saja centang dua abu-abu itu tak berubah menjadi biru. Luna menggigit bibirnya dengan resah, bunyi gemericik air dari kamar mandi masih terdengar, tentu saja Vira yang ada di sana, dia sampai tak enak hati pada Luna yang harus menemaninya dari tadi siang. Meski Vira bilang bahwa dia tidak masalah menemani Luna sampai malam. Tapi tetap saja, dia tidak enak hati, Vira pasti juga punya keperluan lain yang harus dia lakukan. Sanggar memang berada di bawah kendali Vira sepenuhnya, sedangkan kakaknya hanya memantau saja. Ayahnya juga sedang banyak pekerjaan dan Luna tidak tega untuk menghubunginya, jadi dia hanya mengatakan supaya sang ayah istirahat di rumah saja. Orang yang seharusnya bertanggung jawab menjaganya malah tidak ad
“Bisa dibilang begitu, kalau saja bukan dia sendiri yang menjebak kami.” “Eh? Dia pelakunya.” “Memang aku nggak pernah bilang ya?” tanya Luna polos, memang seingatnya dia belum memberi tahu Vira, dia bercerita sekarang karena kesal dengan Raya yang terus saja membuat ulah, lagipula dia tak sudi kalau orang mengira dialah yang menjadi orang ketiga rusaknya hubungan Raya dan Laksa, dia nggak ngerebut kok, bahkan Luna sudah berusaha menjauh waktu itu.Vira hanya menggeleng, dan memajukan tubuhnya dengan wajah sangat kepo. Dasar Vira. Luna lalu menceritakan semua yang dia ketahui tentang Raya dan juga hubungannya dengan sang suami yang kandas karena Laksa yang berkeinginan untuk tetap bersama Luna, tapi tidak disangka, Laksa malah melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Raya berselingkuh dengan banyak laki-laki.“Wow...” komentar Vira sambil memandang Luna dengan tatapan mata membulat, wajah cantik dan dari keluarga terpandang memang
“Kenapa tidak ada adegan saling menjambak?” Luna menoleh pada Vira yang masih saja melipat tangannya dengan tenang menatap kepergian Raya. “Kamu kecewa?” Vira mengangkat bahu dengan acuh, gadis itu lalu melangkah menghampiri kursi roda Luna dan meminta sahabatnya itu untuk duduk kembali di atas kursi roda. “Mau jalan saja atau duduk di kursi roda.” Luna mengerucutkan bibirnya dengan kesal, lalu duduk di atas kursi roda, dia tidak ingin terlalu memaksakan diri dan berakibat fatal, meski emosi masih menguasai dirinya. Laksa sedang dalam masalah.Luna sedikit kecewa dengan suaminya yang tidak mengatakan padanya, tapi Raya yang notabene mantan kekasih suaminya malah tahu terlebih dahulu, juga kalimat Raya tadi yang menurutnya sangat ambigu. “Apa wanita itu dirawat di sini karena sakit jiwa?” Luna menoleh pada Vira dengan kening berkerut. “Kenapa kamu berpikir begitu?” tanya Luna heran.
"Aku di sini saja," kata Vira sambil tersenyum semanis racun. "Tidak tahu diri," desis Raya gusar. "Kamu yakin, tidak akan muntah atau ikut marah-marah," goda Luna pada sahabatnya itu."Tenang saja aku akan duduk manis di sini sebagai penonton." Raya bertambah geram mendengar perkataan Vira yang terdengar sangat meremehkannya. "Kampungan." Vira hanya mengangkat alis, dan memandang Luna."Jadi apa yang kamu inginkan, aku tidak tahu kalau kamu sangat sibuk mengurusi urusan kami." "Jaga bicaramu, kamulah yang harusnya tahu diri, kamu hany benalu di hidup Laksa.""Kalau maksudmu itu karena aku tidak bekerja dan hanya mengandalkan hidup pada suami itu benar, tapi kenapa kamu yang marah, suamiku sendiri baik-baik saja, bahkan dia memaksaku untuk membeli apapun yang aku pinta." Luna bukan orang yang sombong memang, tapi menghadapi orang seperti Raya, yang sombong luar biasa, rasanya sah-sah saja menyombo
“Siapa dia, Lun?” tanya Vira heran, mungkin dia bingung kenapa ada mak lampir di sini siang-siang begini. Luna menatap temannya itu dengan ragu, Luna memang pernah bercerita kalau Laksa masih punya kekasih saat mereka menikah, tapi tentu saja mereka belum pernah bertemu, karena selama ini Raya memang tinggal di luar negeri. Luna sangat tahu sifat Vira yang sangat judes dan sedikit bar-bar kalau sedang kesal, dan Luna tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada sahabat baiknya itu. “Kenalan.” Vira menyipitkan matanya saat Luna mengatakan siapa wanita yang sekarang sudah berkacak pinggang dan menatap mereka dengan tajam itu. “Kok gitu nggak ada sopan santunya, memang dia kira ini rumah sakit nenek moyangnya.” Vira sudah akan maju dan berniat mengusir wanita itu, tapi Luna menggenggam tangannya memintanya untuk tidak gegabah. “Kita pergi saja tidak usah meladeni dia,” kata Luna yang meminta Vira mendorong kursi rod
"Aku ada dendam apa sama aku, ngeselin banget hari ini." "Bukan dendam sih, cuma bicara kenyataan saja." "Vira," desis Luna tertahan, takut suaranya akan menganggu bayi-bayi mungil yang sedang terlelap.Tapi dasar Vira, tau Luna sedang kesal dia hanya melirik sekilas lalu memperhatikan putra Luna yang menampilkan wajah tersenyum."Tuh lihat anak kamu saja setuju dibilang ganteng mirip bapaknya." "Kamu sebenarnya sahabat siapa sih?" "Sudah jelas bukan aku sahabat kamu, tapi aku juga harus realistis, kamu memang baik dan tulus tapi soal wajah akan lebih baik anakmu mirip bapaknya." "Terserah kamulah," kata Luna sewot, Vira terkikik geli berhasil membuat sahabatnya ini kesal, bahkan Luna bertambah sebal saat suster yang ada di ruangan itu juga ikut terkikik geli."Nah gitu dong marah-marah, itu lebih baik dari pada nangis-nangis," kata Vira dengan seringai puas di wajahnya. Dasar geblek.Lun
Luna menepuk kakinya yang digigit nyamuk, tapi nyamuk itu berhasil menghindar dan nekad masuk ke dalam rok yang dia kenakan, mungkin karena darah orang-orang di rumah sakit ini terasa pahit, jadi si nyamuk nekad untuk mencari darah yang dia kira terasa manis untuk makan siangnya. "Ngapain sih?" tanya Vira yang siang ini meluangkan sedikit waktunya yang luar biasa padat mengalahkan presiden itu untuk menemani Luna, bukan tanpa alasan Vira melakukannya, apalagi kalau bukan sahabat kurang ajarnya itu menghubunginya dengan memelas karena sang suami yang masih ada pekerjaan dan tidak bisa menemaninya, jadilah Vira terpaksa meninggalkan pekerjaannya dan menemani istri orang yang baru saja melahirkan ini."Ada nyamuk," kata Luna sambil terus menggoyang-goyangkan kakinya berharap sang nyamuk tak semakin nekad."Kamu nggak mandi mungkin makannya nyamuk suka." "Sembarangan, kamu nggak mencium bauku wangi semerbak begini.""Ooo yang semerbak ini