Semua Bab A Pearl Girl (INDONESIA): Bab 31 - Bab 40
49 Bab
BAB XXX
Raja Dimitri, Raja Torigus, Raja Fous, Raja Radin IX dan Ratu Maya menduduki bangku kebesaran yang melingkar dengan sepuluh bangku mengelilingi satu meja batu bundar besar. Mereka berada di tengah ruangan khusus kerajaan. Vivian dan Jemy yang bergabung belakangan dipersilahkan duduk dan mengisi salah satu dari lima bangku yang kosong. Vivian menatap kelima raja itu dengan cemas. Dia tidak mengerti mengapa dibawa ke tempat ini. Raja Dimitri dapat melihat kecemasan Vivian. Raja Agung itu berdiri dari tempatnya dan berjalan ke meja batu bundar besar yang di tengah-tengahnya kosong.“Vivian, kami sudah berdiskusi dan bermaksud untuk mengatakan ini. Mengingat usiamu yang akan menginjak delapan belas tahun,” kata Raja Dimitri sembari menunggu reaksi dari Vivian.Gadis itu masih diam dan menatap Raja lainnya dengan takut-takut. Raja Dimitri menyentuh meja batu besar tadi dan terlihat cahaya berpendar dengan aneka warna bergaris tipis, kini berpadu membentuk jalina
Baca selengkapnya
BAB XXXI
Mata itu menatap nyalang ke arah gadis yang kini menggigil kedinginan disiram air danau buatan yang berada di belakang halaman istana. Suara jerit ketakutannya menggema membangunkan setiap orang di istana. Bulan bulat penuh keperakan menggantung indah di langit malam bertabur bintang, menyinari langkah kaki-kaki ksatria yang bergerak cepat menyusul suara jeritan berasal. Ada tawa di sana, sebuah tawa merendahkan, mengejek penuh cela pada gadis yang masih menggigil nyaris beku di tengah danau. Suara tawanya semakin jelas saat rombongan ksatria sudah mengelilinginya, membentuk barisan bagaikan kumpulan semut memperebutkan gula.“Tolong aku!” jerit Hera dari tengah danau.Air matanya bercampur dengan air danau, tidak terlihat sama sekali bahwa dia baru saja menangis, hanya bengkak merah di pipinyalah yang menunjukkan keadaannya yang sedikit menyedihkan dengan baju basah seluruhnya. Mulai dari kaki hingga kepala, semua tampak kacau. Semakin membuat Silvia puas.
Baca selengkapnya
BAB XXXII
Silvia menepis tangan Aaron, bergerak menjauh dan menenangkan napasnya yang memburu menahan amarah sejak tadi. Setelah menguasai diri barulah dia sadar di mana dirinya saat ini. Ada begitu banyak kepala binatang buas berjejer rapi di dinding ruangan itu, dan terlihat sebuah tempat tidur besar di sudut dengan lemari berwarna hitam terbuat dari kayu maniro yang berusia ribuan tahun, juga perlengkapan perang seperti baju zirah emas dan puluhan pedang aneka bentuk serta ukuran terpajang rapi di sebelahnya.Kamar ini begitu luas dengan dominasi abu-abu kehitaman. Penerangan satu-satunya hanya dari lentera kecil dan beberapa lilin yang terpasang di dinding batu. Penciuman Silvia dapat merasakan bau maskulin dari bunga lilac, kulit kayu troof serta kayu maniro dari lemari, dan keringat? Oh itu keringatnya sendiri, karena upaya memberontaknya. Silvia menatap ke bawah kakinya, dia merasakan bulu-bulu halus di kaki telanjangnya. Gadis itu baru ingat
Baca selengkapnya
BAB XXXIII
Gelap, kata pertama yang terucap dari bibir mungilnya. Tangannya menyilang di atas kepala, menutupi kedua mata dengan telapak tangan halus yang berpeluh hingga membuat wajahnya basah. Dia tersadar saat mendengar derit pintu yang terbuka, menunjukkan sosok menjulang tinggi dengan cahaya terang di balik punggungnya, sehingga menutupi wajahnya yang tersembunyi dari cahaya. Jelas itu seorang pria, dengan jubah kerajaan dan pedang di sebelah celana kiri dengan potongan rambutnya yang rapi berwarna hitam sedikit keemasan dan lambang Moon Kingdom berbentuk bulan dengan dua sayap di tengahnya tampak berkilau terkena bias cahaya dari sarung tangan yang dipakainya.Samar-samar Vivian melihat sudut-sudut bibir pria itu tertarik ke atas saat menatapnya, dan ia dapat merasakan tatapannya yang tajam, namun penuh perlindungan, tidak menyakiti ataupun mengintimidasi, karena memang begitulah cara pria itu memandang sesuatu tanpa emosi tergambar di wajahnya yang tentu saja sangat dipu
Baca selengkapnya
BAB XXXIV
Para ksatria dan petinggi lainnya bergerak meninggalkan ruang pertemuan dan menyisakan enam orang di dalam. Raja Dimitri, Raja Fous, Raja Radin IX, Raja Torigus, Ratu Maya dan Jemy masih duduk di tempat masing-masing. Lima orang lainnya memandang Raja Dimitri yang kini duduk dengan wajah tidak bersemangat.“Apa dia sudah membuat keputusan?” tanya Raja Torigus dengan raut serius.Mendengar pertanyaan itu membuat Raja Dimitri semakin tampak lesu, bahkan gurat di wajahnya semakin menunjukkan wajah tuanya yang dimakan usia. Dia menghembuskan napas berkali-kali, terlihat gusar dan tidak tampak ketenangan yang selama ini ia perlihatkan pada bawahannya saat mereka mengadakan rapat seperti tadi. Dia tetaplah manusia biasa.“Dia ... menolak dengan keras, katanya dia tidak akan mengangkat wanita manapun sebagai selir,” jawab Raja Dimitri penuh penyesalan pada teman sesama aliansinya.Raja Fous mengetuk meja, manarik perhatian mereka semua. &
Baca selengkapnya
BAB XXXV
Gadis itu tertawa dengan suara merdu yang mengalun bagai nyanyian peri di malam purnama. Begitu indah menyentuh hati siapa saja. Tidak ada yang lebih mempesona dari wajahnya yang bersinar di bawah sinar rembulan, dengan rambut hitam cokelat madu dan tubuh tinggi semampai. Bahkan jari jemari lentiknya yang bergerak ringan di udara membuat mata yang melihatnya terhipnotis akan pesonanya.Saat itu dia tersenyum pada pria yang masih duduk tenang di hadapannya, terlalu hanyut dengan nyanyian serta tarian gadis tersebut. Mereka berdua berada di hamparan bunga di dekat sungai yang berarus jernih di bawah sinar rembulan yang menyinari. Pria itu tertawa bahagia saat gadis di hadapannya salah melafalkan lirik, dan begitu seterusnya. Gadis itu sengaja membuat banyak kesalahan hanya untuk mendengar suara tawa dari pria itu dengan berkali-kali melupakan gerakan tariannya yang tidak sesuai dengan nada lagu.“Apa kau akan terus bertingkah kekanakan dengan tarian konyolmu itu?&r
Baca selengkapnya
BAB XXXVI
Jemy menatap nanar pada tubuh Vivian yang berbaring di dipan. Beberapa tabib serta ahli pengobatan lainnya mondar-mandir di sekitar. Mereka bekerja, membalut luka Vivian. merasa tidak kuat dengan pandangan itu, Jemy keluar dari ruangan yang dirasanya menyesakkan dan berjalan terseok-seok ke jalanan berbatu tak jauh dari tempat Vivian diobati.Jemy berhenti sebentar saat matanya mendapati tubuh seorang pria yang meninju pohon oak sekitar sepuluh meter di depan. Tangan pria itu mengepal keras, mengadu kekuatan dengan pohon yang menjadi sasarannya. Dia melampiaskan amarah serta emosinya yang tertahan. Tak dipedulikannya lagi luka yang begitu menggigit kulit serta darah yang mengalir hingga siku dan menodai jubah kerajaannya.“Berhentilah menyakiti diri,” kata Jemy dengan suara tenang meskipun dia juga sama marahnya dengan Aaron saat ini.Jelas sekali Aaron begitu terguncang, tapi jemy bertanya-tanya mengapa. Setahunya, pangeran satu itu tidak p
Baca selengkapnya
BAB XXXVII
Hari itu semuanya berduka, matahari tampak redup ditutupi awan, dan langit tidak lagi biru karena mendung. Hembusan angin seolah memaksa semua orang untuk bersembunyi di balik selimut mereka. Bahkan cuaca mendung seperti ini terasa lebih dingin dibandingkan salju yang turun. Di sana, sepasang mata menatap tubuh tak berdaya itu dengan rasa bersalah dan sesal yang masih mengakar. Bagaikan kuku-kuku elang yang mengoyak tubuh mangsanya hingga tinggal cacahan daging tanpa bentuk.Lihat saja pada wajahnya yang waspada, sesekali mengawasi tubuh di hadapannya jika ada sedikit saja pergerakan yang sebenarnya tidak berarti, karena tubuh itu tetap terbaring di sana. Sudah dua hari ia menunggu tanpa hasil, selama itu pula telah terjadi kehebohan dalam istana. Kerajaan Xurcic mendatangi Moon Kingdom, meminta puteri mereka dibebaskan dan dengan tidak tahu malu melemparkan perjanjian yang menutup mulut para petinggi aliansi. Raja Bernet sendiri yang menemui Raja Dimitri dalam suasana menega
Baca selengkapnya
BAB XXXVIII
Aaron mengikutinya di belakang, dia melihat sekitar, memperhatikan lorong dan tangga yang mereka lewati. Tempat itu begitu gelap, tetapi Aaron bisa melihat dengan jelas saat cahaya dari lentera menyentuh sisi dingin lorong sempit itu dan menyuguhkan pemandangan mengerikan. Berbagai tulang belulang manusia dan tengkorak kepala asli memenuhi setiap sisi, menguarkan aroma yang tidak sedap. Sesekali Aaron menyentuhnya, memastikan keasliannya, dan dia pun yakin itu asli karena Aaron bisa merasakan dulunya tulang belulang itu bernyawa.“Nah kita sudah tiba.” Suara Sue memecah pemikiran Aaron yang sedari tadi asyik mengamati hiasan tulang di lorong. Dia mengalihkan pandangannya pada ruangan yang baru saja dia masuki.Sejenak Aaron menahan napas dan menatap tidak percaya pada ruangan itu. Dia tidak tahu bahwa Moon Kingdom memiliki ruang bawah tanah yang sangat luas dan dipenuhi buku-buku tua dengan rak-rak besar terbuat dari kayu berusia ribuan tahun sehingga masih
Baca selengkapnya
BAB XXXIX
Langit masih berduka, mendung masih menyapa, perlahan kabut menyelimuti, menambah cekam istana Moon Kingdom. Hembusan angin terasa dingin menggigit tulang, menyusp ke sela dan rongga kehidupan. Kini wajah-wajah yang tadinya muram bertambah semakin dalam, tertekuk ke bawah dengan raut ketakutan menatap langit yang tak lagi bersahabat, seolah memberi peringatan badai akan datang.“Apa yang sedang dunia coba katakan dengan tanda-tanda ini?” tanya Raja Fous melihat sekitar pada kumpulan prajurit yang sibuk membentuk barisan panjang, mereka telah latihan sepanjang hari. Memanah, berkuda, adu pedang dan bergulat tanpa senjata secara bergilir.Raja Dimitri ikut memperhatikan prajuritnya dari atas balkon di mana mereka berada saat ini, keningnya berkerut tak senang ketika melihat langit yang semakin hari semakin gelap. Awan hitam menutupi matahari, bahkan malam pun sama gelapnya.Cahaya bulan tak terlihat, tetapi hujan tak kunjung turun meski gumpalan awan h
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status