All Chapters of Cincin terakhir istriku: Chapter 31 - Chapter 40
81 Chapters
31. Perubahan Aya
“Papa!” panggil Sean kencang yang kaget saat terbangun, ia berada di dalam kamar papanya.“Ya, Sean, Papa di kamar mandi…!” sahut Rangga. Sean menyibak selimut, ia berjalan ke arah pintu keluar, dilihatnya rumah sudah ramai dengan suara TV menyala, harum masakan juga tercium.“Bi…, Bibi,” panggil Sean sembari menuruni anak tangga.“Sean, udah bangun, ayok, ke kamar mandi dulu, dong, apa dulu kalau bangun tidur?” ujar Bibi membawa Sean ke kamar mandi di lantai satu. Sean melirik ke meja makan.“Bubur ayam?” tanya Sean.“Iya, yang suka lewat depan rumah, Sean kan, suka, Bibi beliin,” ujar Bibi sembari membantu Sean membuka piyama tidurnya.“Tapi kata Mama, kan—““Boleh, kan ada Papa. Papa izinin, kita sarapan di teras mau?” Rangga mengambil dua mangkok. Sean bingung lagi, ia mengangguk pelan lalu masuk ke dalam kamar mandi
Read more
32. Seolah tak mengenal
“Kamu pura-pura lupa siapa aku, Aya?” suara Rangga terdengar berat saat keduanya berada di ruang rapat kantor. Aya diam, ia membaca surat perjanjian dan dokumen yang sudah disiapkan sekretarisnya.“Apa sepuluh miliar cukup? Karena perusahaan anda masih baru akan dimulai dan mencangkup pembiayaan untuk kalangan mahasiswa dan UMKM, kami tidak berani menyuntikkan dana di atas nilai tersebut, bagaimana?” tatapan Aya serius, ia tak menggubris pertanyaan Rangga sebelumnya. Rangga diam, ia lekat menatap Aya serius, tubuhnya ia sandarkan di kursi, perlahan jemarinya mengusap bibir atas hingga dagunya.“Faraya Cempaka…, Hmm… sejak kapan nama kamu ditambah ‘Cempaka’? Apa Pak Agung yang menyematkan nama itu?” Rangga justru membahas hal lain diluar apa yang Aya ucapkan.“Jadi, gimana Pak Rangga, bisa ditanda tangani sekarang? Atau perlu untuk membahas hal lainnya dahulu seb—““Aya!&
Read more
33. Bukan gossip
Arinda duduk di sofa ruang TV, Ia baru saja berbicara dengan kedua orang tua Mita, menjelaskan duduk perkaranya tapi, kedua orang tua Mita tak mau lagi percaya dengan apa yang diucapkan Arinda. Wanita itu menatap tajam layar TV, tangannya mengepal-ngepal kesal. Ia begitu marah dengan Rangga.Tak lama, muncul tiga orang temannya yang memang akan berkunjung ke rumahnya, membahas tentang liburan ke negara Eropa yang mereka selenggarakan.“Hai, Arinda… Oma cantik yang awet muda,” sapa salah satunya yang berambut sasak tinggi.“Hai…, sini duduk-duduk,” ucap Arinda sembari beranjak, bercipika-cipiki dahulu lalu kembali duduk.“Rin, tadi kita udah urus semua ke travel agennya, dan mereka udah info, kalau nanti semuanya fasilitas kelas atas,” lapor wanita lainnya lagi.“Kita jadi bayar masing-masing enam puluh juta, untuk liburan satu minggu tapi diluar kalau kita mau berkunjung ke restoran mewah, itu
Read more
34. Jangan menghindar
Aya dan Abi sedang berada di toko perhiasan, keduanya tertawa bersama, merasa lucu dengan acara pertunangan mereka yang akan terselenggara beberapa hari lagi. Tangan Aya menghapus peluh yang mendadak muncul di kening Abi. “Thank you,” lirih Abi sembari mengecup pipi Aya. Wanita itu tersenyum, digamitnya lengan Abi, ia juga mengusap lengan pria itu. Abi diam, ia hanya bisa tersenyum mendapat perlakuan itu dari Faraya. Ia tak pernah memanggilnya Aya, selalu Faraya. Cincin sudah di dapat, keduanya segera pulang ke rumah keluarga Agung, karena kedua orang tua Aya juga sudah datang dari kampung. Aya tak sabar bertemu kembali, juga dengan Jani yang kini sudah dewasa dan tak kalah cantik dengan dirinya. “Aku yang nyetir, ya,” ucap Aya. Abi mengangguk. Ia duduk di kursi penumpang, memakai seatbelt, duduk bersandar, lalu melepaskan kancing jas yang ia kenakan, menarik napas dalam lalu menghembuskan pelan. Aya menoleh, lalu memeluk kepala Abi, diusapnya pelan. Abi terk
Read more
35. Wanita sederhana
Cincin itu disematkan Abi di jari manis tangan kiri Aya, wanita itu tersenyum sembari menatap bergantian dari cincin, lalu ke wajah Abi yang tersenyum malu-malu. “Apa sih, Bi, malu-malu gitu?” bisik Aya dengan wajah mendekat ke arah Abi.“Cantik banget kamu, Faraya,” ucap pria dengan pakaian batik lengan panjang dari merek ternama itu. Faraya tertawa renyah, menunjukkan deretan gigi putih terawat dan bersih, membuat Abi segera mencium kening Aya lama dan lekat. Aya memejamkan mata, tapi tak tersenyum, ia justru diam dan mendadak berdebar tak karuan.“Terima kasih, Faraya,” bisik Abi sembari memeluk. Aya membalas pelukan Abi. Pria yang usianya dibawah ia dua tahun itu, begitu tampan dan membuat Aya segera membelai wajah tegas pria itu dengan tangannya.“Aku juga makasih, Bi,” jawabnya lirih. Keduanya saling melempar tawa, menghadap ke tamu dan kedua orang tua sembari memeluk mesra. Aya cantik dengan balutan kebaya w
Read more
36. Sean sakit
“Sabar ya, Nak, biar diperiksa dokter dulu,” ujar Rangga yang memangku Sean sambil duduk di kursi saat menunggu giliran nama putranya dipanggil untuk diperiksa dokter spesialis anak.“Sean…” suara Arinda terdengar. Kepala Sean terloleh dengan gerakan lemas. Arinda segera mengambil alih Sean dan menggendongnya.“Cucu Oma kenapa?” Arinda yang tak merasa kepayangan atau susah menggendong Sean, memeluk lalu mengusap punggung cucu satu-satunya itu.“Pusing,” jawab Sean lemah.“Kangen Mama, ya,” sambung Arinda sembari melirik Rangga. Putranya itu hanya bisa membuang pandangan ke arah lain. Malas meladeni komentar bundanya.“Nggak, Mama udah telepon semalam, Oma,” jawab Sean lirih. Arinda diam, ia duduk di sebelah Rangga. Tak lama, ayah datang. Sean justru cengeng jika sudah melihat Opanya.“Waduh… sakit ya cucu Opa, yuk gendong sini,” ujar Adam.
Read more
37. Kecemasan Rangga
Kedua orang tua Rangga, bahkan Ghania dan reno berada di rumah sakit, mereka ingin mengetahui kondisi Sean yang masih dirawat intensif di ICU. Rangga masih memakai pakaian yang sama, Ghania sudah membawakan pakaian ganti, tapi Rangga belum ingin beranjak dari ruang tunggu itu sejak semalam kecuali untuk ke toilet. “Rangga, kondisi Sean masih bisa dibilang kritis, kamu berdoa, ya,” ucap Adam – ayah Rangga – itu yang begitu terkejut saat mendapat berita tentang cucunya. “Mita udah telepon kamu?” tanya Arinda. Rangga mengangguk. Ia malas menyahut siapa pun yang ada di sana. Langkah kaki dua orang terdengar mendekat, Rangga beranjak karena itu dokter spesialis anak yang akan memeriksa kondisi Sean. “Pak Rangga,” sapanya. Rangga mengangguk. “Bisa bicara sebentar,” pinta dokter itu lalu mengajak Rangga ke dalam ICU, sebelumnya, ia sudah memakai pakaian khusus juga. Tampak Rangga menyimak penjelasan dokter, ia juga mengangguk beberapa kali, karena paham. Pan
Read more
38. Masih punya hati
“Sekarang Sean bobo, ya, udah kenyang, kan? Tante Aya pulang, ya,” bisik Aya. Sean mengangguk pelan, namun mulutnya terbuka seperti ingin mengucapkan sesuatu.“Besok Tante ke sini lagi?” tanyanya dengan suara pelan.“Mudah-mudahan, Tante harus izin Om Abi dulu,” jawab Aya.“Om Abi, siapa?” Sean mengerutkan kening.“Tante mau nikah bulan depan, Om Abi calon suami Tante, jadi… Tante harus bilang ke dia kalau mau ke mana-mana. Udah… Sean bobo, udah malam. Cepat sembuh ya,” lanjutnya sembari mengusap rambut Sean. Rangga hanya bisa tersenyum kikuk menatap ke arah putranya.“Papa antar Tante Aya ke depan dulu ya, Sean, susternya temenin Sean, kok,” sambung Rangga. Aya sudah berjalan lebih dulu, ia melepaskan pakaian khusus untuk masuk ke ruang ICU sebelum berjalan keluar.Langkah kaki Aya pelan karena ia sambil menghubungi seseorang, suara Rangga memanggilnya mem
Read more
39. Tinggal terpisah
Arinda mondar mandir di dalam kamarnya, Adam, suaminya hanya bisa tertawa sinis. “Kamu mau bikin rencana apa lagi? Kamu lihat sendiri, kan, Aya sekarang bukan sosok yang bisa kamu injak-injak seenaknya.” Adam menutup buku yang sedang ia baca. Menghela napas sembari menatap lekat istrinya. “Belum kurang, kamu bikin Rangga menderita dan Aya, harus diam saja kamu perlakukan buruk?” Arinda melirik tajam ke suaminya. Bersedap dengan begitu angkuh. “Saya kan sudah selalu bilang. Saya tidak akan suka dengan Aya sampai kapan pun. Sekarang dia bisa petantang petenteng seperti orang kaya raya. Tapi—“ Arinda tersenyum sinis. “Itu semua punya Agung dan Sari. Aya hanya diangkat anak dan sebagai balas budi, dia kelola perusahaan itu sampai sebesar ini dalam kurun waktu kurang dari lima tahun. Dan sebentar lagi go public. Nilai saham mereka juga mulai baik. Banyak investor melirik. Apalagi kalau bukan karena Aya yang dijadikan senjata dan boneka mereka. Murahan.” Geram Arinda. Ada
Read more
40. Sosok yang tulus
Ghania menyiapkan makan malam untuk Adam, tampak pria tua itu tengah duduk sembari menonton acara TV yang menyiarkan laporan nilai saham perusahaan besar. “Ayah, makan dulu, nanti Bang Rangga pasti ke sini, kok,” ujar Ghania sembari mengusap bahu ayahnya.“Iya. Ayah mau bahas untuk beberapa anak perusahaan kita yang mulai goyang, kita perlu rekrut orang yang lebih kompeten lagi. Rangga nggak akan bisa kalau sendirian, Ayah  nggak tega.” Adam beranjak, berjalan ke arah meja makan. Ghania menghidangkan sop seafood dan juga bakwan jagung, ia membuatnya sendiri.Adam tertawa pelan sembari duduk di kursi. “Kamu bisa masak?” ledek pria itu.“Bisa, dong, Ayah aja yang selama ini nggak tahu.” Ghania menyeret kursi di sebelah ayahnya, lalu duduk.“Kamu, tuh, kelihatannya cuek, tomboy, hobi olahraga, tapi urusan kayak gini… ternyata mampu,” tangan Adam mengusap kepala Ghania. Wanita itu terseny
Read more
PREV
1234569
DMCA.com Protection Status