All Chapters of Madu yang Kupilih untuk Suamiku: Chapter 21 - Chapter 29
29 Chapters
Sindiran Mbak Wulan
Pagi datang kembali, waktu begitu cepat berlalu silih berganti. Aku terpaksa meminta suamiku untuk mempercepat kembali ke rumah. "Mas, kita pulang hari ini, ya. Mas kan, harus kerja. Kita udah cukup lama disini." Aku menggelayut di pundak mas Tama dengan manja. "Kamu udah bosen disini? Katanya kamu betah di pulau ini?""Iya, Mas. Lain kali kita kesini lagi. Aku kangen mama sama papa dan keluarga kita yang lain." Aku berkilah sembari menahan perutku yang mulai terasa nyeri. "Ya udah, kita jalan-jalan dulu sebentar. Setelah itu mas nyari tiket buat kita pulang." "Iya, Mas. Tapi, aku mau tidur sebentar nggak apa-apa, kan?""Iya nggak apa-apa. Kamu masih ngantuk?" Mas Tama menatapku dan membelai rambutku."Iya, Mas. Semalam aku nggak bisa tidur.""Kenapa nggak bisa tidur? Kenapa nggak bangunin aku, Dek?" Mas Tama terlihat khawatir."Maaf, Mas. Aku nggak mau Mas Tama ikut insom seperri aku. Mungkin semalam itu, aku terlalu asik melihat pemandangan di luar sana sampai aku lupa waktu.""
Read more
Kembali Ke Jogja
Kepanikan terus berlanjut, aku masih belum merasa tenang karena mama belum memberikan aku jawaban. "Mah, istighfar dan ceritakan apa yang terjadi," pintaku. Terdengar tarikan hela nafas panjang dan lantunan istighfar dari balik telepon. "Papamu terkena serangan jantung, Nak. Sekarang papa koma dirumah sakit."Ucapan mama itu membuat jantungku hampir berdiri berdetak, lidahku seketika kelu. Seketika aku matikan telepon dan berusaha untuk menghubungi mas Tama. Namun, handphone suamiku ternyata tergeletak di atas ranjang. "Astagfirullah, mas Tama nggak bawa handphone rupanya." Aku semakin kacau dan bingung, air mataku begitu deras menetes. Rasanya ingin sekali aku meninggalkan kamar dan bertolak ke Jogja. Hampir setengah jam, aku menunggu dalam ketidakpastian. "Mas Tama, kamu kemana sih? Aku takut terjadi sesuatu sama papa." Aku mengeluh dan hampir putus asa. Di sini aku hanya bisa pasrah dan berdoa. "Ya Allah, semoga papa baik-baik saja."Lima belas menit kemudian, suamiku datang
Read more
Berunding dengan Mbak Rara
Ketegangan terjadi cukup lama, peristiwa di udara itu tentu membuat kami merasa syok dan depresi. Hingga beberapa saat kemudian pesawat kembali stabil dan semua penumpang merasa lega. "Mas, perutku sakit." Aku memegang perutku dengan erat. Suamiku terlihat panik. "Sebentar, Dek. Aku carikan obat kamu dulu, ya."Mas Tama membuka tasku dan menemukan obat pereda nyeri yang biasa aku konsumsi saat rasa sakitku tak bisa aku tahan."Minum, Dek." sebutir obat dan sebotol air mineral diberikan oleh Mas Tama."Mungkin karena kamu merasa ketakutan, jadi berpengaruh sama sakit kamu, Dek.""Mungkin aja, Mas.""Mudah-mudahan setelah minum obat, keadaanmu semakin membaik, ya.""Aamiin… iya, Mas.""Yaudah, kamu istirahat. Jangan tegang, yakin pasti selamat sampai tujuan. Hidup dan mati kita ada di tangan Allah. Kalaupun kita harus kehilangan nyawa disini, itu sudah takdir." Suamiku tampak tenang. Meskipun aku merasa sedikit tenang, namun peristiwaa itu sangat membuatku ketakutan. Belasan menit k
Read more
Curiga
Umi melihat kami bertiga secara bergantian. "Apa yang sedang kalian perdebatkan? Kenapa kalian mengobrol disini?" tanya umi dengan mata sayu. Beruntung ibu mertuaku tidak mendengar apa yang sedang kami perbincangkan. "Kami cuma ngobrol hal yang nggak penting aja, Mi. Kok, Umi tiba-tiba ada disini?" ucap Mbak Rara. "Umi mau ke kamar mandi, mau buang air kecil.""Yaudah, ayo Rina antar," ucapku. "Nggak usah, Rin. Biar Rara aja yang ngantar, kamu disini aja sama Wulan." umi menolaku dan mbak Wulan terlihat tersenyum sinis melihatku. Setelah ibu mertua dan kakak iparku meninggalkan kami, mbak Wulan mulai mengejekku. "Sepertinya umi udah mulai nggak respect sama kamu, Rin. Apa umi ngerasa kalau kamu akan menghianati keluarga dengan mencarikan menantu baru untuk istri kedua suamimu?" Sifat asli mbak Wulan perlahan-lahan mulai terlihat. Aku tahu itu hanya tipu muslihat mbak Wulan untuk mengecoh ku, supaya aku mengurungkan niatku untuk mencarikan istri untuk mas Tama. Tapi jujur, aku mer
Read more
Menjenguk Papa
Rasa ingin tahuku mendadak muncul. 'Siapa pria yang sedang berkomunikasi dengan mbak Wulan?' tanyaku dalam hati. Namun dering handphone yang ada di dalam tasku membuat mbak Wulan menghentikan obrolannya dan mencari asal sumber suara itu. Dalam keadaan terpojok, aku pun menyapa iparku. "Mbak… aku sama yang lain mau ke rumah sakit dulu, ya." Aku berusaha menutup telinga dan membuang jauh-jauh kegugupanku. "Kamu sudah dari tadi disini, Rin?""Nggak kok, Mbak. Aku baru saja sampai di dapur. Aku tadi nyari Mbak Wulan ke kamar, tapi nggak ada," kilahku. "Oh gitu.""Sebentar ya, Mbak. Aku angkat telepon dari mas Tama.""Iya, Rin.""Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam, Dek. Kalau kamu kesini, tolong bawakan dompetku yang tertinggal diruang tamu, ya.""Baik, Mas."Aku mengakhiri obrolan dari suamiku. Kepanikan di wajah iparku itu seketika menghilang. Ia menghela nafas panjang dan mengelus dadanya. "Yaudah, Mbak. Kalau gitu, aku pergi ke rumah sakit dulu, ya.""Iya, Rin. Kalian hati-hati,
Read more
Menemui Raya
Setelah beberapa hari kami kembali ke Jogja, keadaan papa mulai membaik. Namun, beliau masih sangat lemah diatas kursi rodanya. Aku dan mas Tama memutuskan untuk tinggal bersama dengan orang tuaku. "Pah, Mah. Rina mau keluar sebentar, ya.""Mau kemana kamu, Rin?" tanya mamaku. "Rina mau ke Panti Asuhan, Ma.""Oh.. Panti Asuhan yang biasa kalian datangi itu?""Iya, Mah.""Yaudah, kamu hati-hati, ya."Aku sudah meminta izin kepada Mas Tama sebelumnya, dan ia mengizinkan aku untuk pergi. Beruntung sahabat baik ku Naira bersedia untuk menemaniku. Pagi itu, aku menjemputnya di rumahnya yang tak jauh dari kediaman orang tuaku. Rupanya Naira sudah menungguku di depan pagar rumahnya. Mobil yang aku tumpangi berhenti tepat dihadapannya. "Assalamu'alaiku.””Waalaikumsalam," jawab Naira sembari memasuki mobilku. Sesaat setelah ia duduk di sampingku, ia terlihat menarik nafas panjang. "Rin, apa kamu yakin akan melakukan ini?" Naira memegang pundak dan menatapku.Kedua netra kami berpandang
Read more
Naira Keberatan
Tanpa mengindahkan permintaan Naira, Rina masuk ke halaman rumah Raya. Kebetulan pagi itu, pagar rumahnya tak terkunci. "Assalamu'alaikum,” ucapku. Tak ada jawaban dari sang pemilik rumah. Namun terdengar suara gaduh dari dalam rumah. "Ibu nggak apa-apa?""Ibu baik-baik saja, Ray. Hanya saja ibu nggak kuat nahan tubuh ayah kamu, makanya ibu ikut jatuh.""Astaghfirullah, kenapa ibu nggak panggil Raya tadi.""Sudahlah, ayo kita bantu ayah kamu naik ke kursi roda lagi."Di luar, Aku kembali mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum."Kali ini aku mendapat jawaban dari sang pemilik rumah. "Waalaikumsalam." Suara telapak kaki Raya terdengar berjalan bergegas menuju ke arah pintu utama dan meraih handle pintu. "Mbak Rina?" Raya seolah terkejut dengan kedatangan ku. "Pagi, Ray. Kamu masih inget saya?" tanya ku. "Tentu saja, Mbak. Silahkan masuk," jawab Raya sembari mengumumkan senyum. Rina dan Naira memasuki rumah sederhana milik orang tua Raya. "Silahkan duduk, Mbak. Saya buatkan minum s
Read more
Kabar yang Tak Terduga
Mungkin apa yang aku ucapkan telah menyinggung perasaan Raya. "Mbak Rina, sebelumnya saya minta maaf. Lebih baik Mbak pergi dari sini. Saya memang belum menikah di usia yang cukup matang. Tapi bukan bearti saya mau dijadikan istri kedua.""Maaf jika kedatangan kami mengganggu kalian, dan maaf jika perkataan saya menyinggung kamu Ray. kami permisi dulu." Naira terlihat lega dengan penolakan Raya. "Ayo kita pergi dari sini," imbuh Naira sembari menarik tangan kananku. Aku pun terpaksa menuruti perintah Naira, sesekali ku arahkan pandanganku melihat Raya dan ibunya. Rasa iba dan bersalah, kian menggelayut di hatiku. 'Ya Alloh, seharusnya aku meminta maaf pada Raya atas kelancanganku ini,' sesalku dalam hati kian berkecamuk. ***Beberapa hari kemudian, sebuah pesan singkat yang tak pernah aku duga mendarat di ponselku. Raya : Mbak Rina, apakah kita bisa bertemu hari ini?Aku : Tentu saja, Ray. Aku akan datang ke rumah sakit tempat ayahmu di rawat. Sekalian aku mau jenguk beliau. Ray
Read more
Memaksa Mas Tama
Pernyataanku dan Raya tentu membuat mbak Rara merasa bingung. "Rina, apa kamu sudah mantap untuk berbagi hati dengan Raya? Sebentar lagi kamu kan mau berobat ke Penang. Jangan buru-buru menikahkan Tama. Siapa tahu setelah kanu berobat, kamu bisa hamil.""Kata dokter butuh waktu lama, Mbak. Aku nggak bisa nunggu lagi. Papa sudah mulai sakit-sakitan, begitu juga dengan umi. Aku mau lihat mereka tersenyum menyambut cucu yang mereka dambakan. Meskipun bukan dari rahimku.""Kalau itu udah jadi keputusanmu, mbak nggak bisa nglarang, Rin. Tapi mbak mohon pikirkan lagi. Pilihan kamu itu nantinya juga akan memberatkan diri kamu.""Aku pasrahkan sama Alloh, Mbak.""Apa Tama setuju?""Setuju nggak setuju, dia harus menikah lagi," tandasku. Aku memang terkesan egois, tak munafik aku pun merasa sakit, namun aku menyadari kekuranganku. Setelah itu, kami pun kembali ke rumah. Tak lupa aku mampir ke supermarket untuk membeli beberapa barang sebelum mengantarkan mbak Rara pulang. Hal itu aku lakukan
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status