All Chapters of Salah Kirim Paket: Chapter 21 - Chapter 30
140 Chapters
Mega Menagih Janji
Pov AlvanOweekk ... Oweekk .... Tangis Aira semakin kencang dan menjadi-jadi. Sudah satu jam menunggu kedatangan Mega tapi sampai sekarang belum nampak batang hidungnya. Memang keterlaluan dia, sudah tahu anak rewel tapi tak kunjung pulang. Oweek... Oweekk .... Aira masih menangis dalam gendonganku. Hanya saja suaranya mulai pelan. Dan akhirnya dia tertidur karena kelelahan manangis. Kasihan kamu, nak. Kuciumi pipinya perlahan. Aku duduk di sofa dengan bantal sebagai peyangga punggung. Aira masih terlelap dalam gendonganku. Takut jika ku letakkan di ranjang dia akan menangis lagi. Bisa repot nanti. "Istri kamu keterlaluan Van, anak nangis malah kelayapan tidak pulang!" omel ibu yang duduk tak jauh dariku. Kutempelkan jari telunjuk di bibir, memberi isyarat ibu agar mengecilkan suaranya. Bisa repot kalau Aira bangun lagi. Pusing! Pusing! "Iya, iya, habisnya ibu kesel dengan istri mudamu itu!" Omel ibu dengan nada suara yang sudah dikecilkan. Bapak sendiri sudah masuk kamar t
Read more
Rencana Busuk
Pov Alvan"Kok jadi masam begitu, Mas?" Mega menatap wajahku penuh selidik. "Jangan bilang kamu lupa dengan janjimu!"Kan benar, dia memang selalu ingat apa yang aku janjikan terutama menyangkut uang dan liburan. Menghembus akan nafas kasar. Mega sudah duduk di sebelahku dengan tatapan penuh tanda tanya. "Janjinya nanti dulu, ya, sayang. Ada masalah besar.""Kamu itu suka bohong! Katanya mau mengajakku ke Jepang jika aku sudah memberimu anak. Sekarang giliran ku tagih kamu menghindar." "Bukan menghindar, hanya saja ...." Aku bingung harus bagaimana. "Hanya apa?" "Alia melarang Alvan masuk kantor karena dia sudah tahu suamimu korupsi," ucap Ibu. "Apa!" ucap Sasya dan Mega serempak. "Kamu tidak lagi bercanda kan, Mas?" Ku gelengkan kepalaku. Mana mungkin aku bercanda masalah seperti ini. "Aduh, bagaimana dong ini? Mikir dong Mas, jangan diam saja!" Aku diam sambil menyusun rencana agar bisa kembali ke kantor. Kalau aku tidak ke kantor, mana bisa aku memenuhi kebutuhan Mega yang
Read more
Bab 23
Kreeekk .... Pintu dibuka dari dalam saat mobil Bang Rizal telah menghilang ditelan tikungan. Mas Alvan sudah berdiri di pintu dengan pandangan yang sulit untuk kuartikan. Aku berjalan melewati mas Alvan tanpa mengucapkan salam apalagi mencium punggung tangan seperti yang selalu kulakukan. Bayangan tangan itu di cium wanita lain tiba-tiba bergelayut di pelupuk mata. Rasa jijik hadir dengan sendirinya. "Dari mana sayang?" ucapnya lalu menjajari langkahku. Kata yang keluar dari mulut Mas Alvan begitu lembut. Kalau saja aku tak tahu kebusukannya sudah pasti akan meleleh mendengar itu semua. Tapi sayang aku sudah tahu belangnya. Jadi kata lemah lembutnya tak berarti apa pun. "Sayang kok diam? Masih marah ya? Maafkan aku ya soal keuangan kantor. Mas janji tidak akan melakukannya lagi.""Ya, iyalah tak akan mengulangi lagi, kamu kan sudah tidak bekerja di kantor lagi," batinku. "Sayang ...." Mas Alvan memelukku dari belakang, menyandarkan kepala di pundakku. Ingin kulepas tapi tak b
Read more
Bab 24
Sebagian besar karyawan telah duduk di meja kerja masing-masing. "Pagi, Bu." Sapa setiap karyawan yang berpapasan denganku. Selalu kuberikan senyum tulus untuk mereka. Bagiku antara karyawan dah atasan tak ada bedanya. Tanpa mereka mana mungkin perusahaanku masih berdiri kokoh seperti ini. Pemilik perusahan dan karyawan memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan satu dan lainnya. "Pagi Mia." Sekertarisku terlihat gugup hingga benda pipih miliknya terjatuh di lantai. "Pa-pagi, Bu," jawabnya gugup. Keringat nampak di dahinya, padahal cuaca saat ini masih dingin. AC pun sudah menyala. "Rapat nanti jam sembilan, kan?" "Iya, Bu."Kutinggalkan Mia dan masuk ke ruanganku. Duduk dengan nyaman di kursi keberatan. Kunyalakan laptop lalu mulai membaca rincian laporan keuangan setahun ini. Aku ingin mencari bukti tentang penggelapan dana kantor oleh suamiku sendiri. Pintu di buka dari luar tanpa diketuk terlebih dahulu. Seseorang yang yang ku harapkan telah datang dengan
Read more
Kejutan Untuk Alvan
Alia dan Alvan masih duduk di kursi masing-masing. Alvan masih memasang wajah masam, kesal dengan apa yang Alia lakukan. Kedudukannya sebagai seorang suami sudah tak berarti apa pun di mata Alia. Lelaki dengan tubuh atletis itu menyilangkan kedua tangan di dada. Matanya masih awas menatap tajam Alia. "Kemana perginya Alia yang penurut dan mudah dibodohi?" batin Alvan bingung. Alia justru tersenyum menyeringai melihat kemarahan suaminya. Namun rasa marah itu belum sebanding dengan apa yang wanita itu rasakan. Tangan Alia asyik memainkan benda pipih berwarna hitam itu. [Posisi?]Satu pesan dikirim ke nomor ponsel Rizal. Tak butuh waktu lama pesan itu sudah menjadi centang dua berwarna biru. [Menunggu kedatangan kamu, cepat kemari! ]Alia tersenyum lebar setelah membaca pesan yang dikirimkan sang kakak. Ia tak sabar melihat ekspresi Alvan saat mendapatkan kejutan darinya. "Ayo Mas, ada rapat!" Alvan hanya melirik tapi enggan mengangkat tubuhnya. Ia justru menyilangkan kaki denganny
Read more
Keusilan Rizal
Mas Alvan terdiam, wajahnya merah padam menunjukkan amarah yang berusaha ia tahan. Mana berani dia memakiku di depan bang Rizal, bisa habis Mas Alvan nanti. Rapat hari ini telah usai. Para karyawan yang mengikuti rapat telah kembali ke ruangan masing-masing.Kini tinggal aku, bang Rizal dan Mas Alvan yang masih ada di ruang meeting. "Kenapa kamu tega padaku, Al?" tanya Mas Alvan dengan wajah mengiba. Aku hanya diam sambil terus mengamati ekspresi wajah Mas Alvan yang seketika berubah. Kemana wajah angkuh dan penuh kemarahan tadi?"Tega? Tega mana dengan orang yang mengambil uang milik perusahaan untuk keluarganya?" Kutatap tajam Mas Alvan. Lelaki dengan tubuh atletis itu justru membuang pandang ke arah lain. Seolah ucapanku tak ada artinya. "Silahkan kamu kembali ke tempat kerja. Pekerjaan sudah menantimu, Alvan!" Bang Rizal menatap tajam ke arah suamiku. Tanpa permisi dia berlalu begitu saja. Astagfirullah.. Beristigfar dalam hati melihat kelakuan Mas Alvan. Kalau tidak ingat sia
Read more
Satu Bukti
Aku lajukan kendaraan roda empat dengan kecepatan sedang. Kepalaku berdenyut memikirkan laporan penjualan dari ibu Kartika. Harga barang turun dari ketetapan dulu. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa Mas Alvan tak memberitahuku. Ah, dia mana bisa dipercaya."Mia." Sekertarisku menoleh. Wajahnya sedikit gugup saat mata kami saling bertemu. Mia tak lagi sama seperti dulu. Keceriaannya hilang, dia selalu gugup saat beradu pandang denganku. Bukan Mia yang selalu bercerita panjang lebar. Bahkan kita sudah seperti sahabat bukan lagi atasan dan bawahan. Namun sekarang dia menjaga jarak denganku. Seperti ada tembok pembatas diantara kami. "I-iya Bu.""Tak usah terlalu formal, bukankah dulu kamu selalu memanggilku Mbak saat tak ada orang lain. Kita masih bersahabat bukan?" Mia justru memainkan ujung kemejanya. Terlihat jelas jika ia tengah gugup. "I-iya Bu.""Kalau tak ada orang panggil saja Mbak, tak usah Bu. Terlalu formal.""I-iya Bu, eh... Mbak."Lagi dan lagi Mia membuang pandangan saat ma
Read more
Mengelak
Wajah Mia menjadi pucat pasi. Keringat dingin masih membasahi dahinya. Aku justru tersenyum melihat ketakutan di wajah cantik itu. Apa aku kejam tersenyum di atas penderitaan dan ketakutan orang lain. Ah, tentu tidak! Jahat jika yang ku tertawakan orang baik."Turunkan saya di sini, Bu!" "Tidak, tidak akan!""Saya akan laporan Bu Alia ke kantor polisi!" ancamnya. Aku hanya tersenyum sinis melihatnya. "Atas tuduhan apa, Mia?" Ku lirik wanita itu, senyum menyeringai tergambar jelas di wajahku. "Justru kamu akan ku tuntut balik atas tuduhan penggelapan uang perusahaan." Mia semakin gugup dengan ucapanku. Wanita berambut panjang itu akhirnya memilih diam. Diamnya justru memperjelas jika dia salah satu komplotan Mas Alvan. Kami berhenti di sebuah apartemen mewah di kota ini. Seseorang sudah menunggu di luar. Senyum merekah tergambar jelas di wajah penuh kharisma itu. Aku dan Mia berjalan mendekatinya. Sesekali ku lirik Mia. Wanita dengan rambut panjang itu tengah mencuri pada pada
Read more
Rizal Turun Tangan
Kriiingg.... Ponsel di atas meja berbunyi nyaring. Bang Rizal segera mengambil benda pipih itu dan menempelkan di telinga kanan. "Bagus, ikuti dia terus! Jangan sampai lepas!"Siapa yang sedang menelepon Bang Rizal? "Kenapa lihat seperti itu? Baru tahu kalau abangmu ini tampan memesona?" Aku mencebik. Bisa-bisanya dia besar kepala disaat yang tidak tepat. "Kalau abang memesona, kenapa masih jomblo sampai saat ini?" Bang Rizal diam, lelaki itu justru mengalihkan pandangan. Apa aku salah bicara? Seingatku Bang Rizal tak pernah menceritakan tentang wanita yang ia sukai.Bahkan ia tak pernah membawa teman wanitanya ke rumah. Apa tak ada wanita yang menyukainya? Ah, rasanya tak mungkin. Bang Rizal tampan, perhatian dan beruang. Tak ada wanita yang mampu menolak pesonanya. "Alia salah bicara ya, Bang?" "Tak, kamu benar, abang ini jomblo karatan. Hahaha ...." Bang Rizal tertawa, tapi terkesan di paksakan. Pasti ada alasan kakakku tak juga menikah. Mungkin rasa trauma atas kegagalan cin
Read more
Gertakan
Duduk di meja makan yang besar seorang diri. Tak ada suami yang menemani. Mas Alvan memang tak pulang semalam. Aku tahu dia kemana, tentu ke rumah istri barunya. Dulu aku tak pernah curiga jika dia izin untuk menginap ke rumah orang tuanya. Kini aku tahu semua itu hanya alasan untuk menemani gundiknya. Sebuah rumah akan terasa sepi tanpa kehadiran anak. Namun sekarang aku justru bersyukur. Setidaknya tak ada yang membuatku terasa berat untuk meninggalkan Mas Alvan karena tak ada anak di antara kami. Meja makan telah tertata beraneka lauk dan sayur. Ingin makan tapi tak berselera jika sendirian. Rasanya tak enak jika makan seorang diri. "Bik Sum!" teriakku sedikit keras. Bik Sumati sering dipanggil bik Ati atau Bik Sum memang mengalami sedikit gangguan pendengaran. Kalau tidak teriak beliau tak akan mendengarnya. Wanita paruh baya itu segera berlari ke arahku. Langkah Bik Sum memang masih kuat hanya pendengarannya saja yang berkurang. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Bik Sum mengel
Read more
PREV
123456
...
14
DMCA.com Protection Status