Debaran di dada Sua makin menjadi, tapi ia tetap menjaga nada suaranya seolah tak terganggu. Ia menghela napas, lalu menjawab dengan lirih namun penuh sengaja.“Bukan … tapi untuk menjadi tabib pribadi Anda, Yang Mulia.”Nada itu datar, tapi pipinya yang kembali memerah, dan cara ia memalingkan wajah cepat-cepat ke arah jendela, mengkhianati ketenangan yang ia ciptakan.Rai menatapnya lama. Senyum di wajahnya tidak memudar, bahkan makin dalam. Tapi ia tidak tertawa. Ia tidak menggodanya lagi. Ia hanya berdiri di sana, seperti gunung yang diam namun memberi rasa aman.“Baiklah! Apapun itu,” ucap Rai akhirnya, lembut. “Asal kau tetap berada di sisiku.”Sua tidak membalas. Tapi sorot matanya yang memantul samar di kaca jendela, memperlihatkan sedikit kelengkungan di ujung bibirnya, senyum tipis yang nyaris tak tampak.Keheningan itu bukan lagi karena jarak, tapi karena mereka tahu, terlalu banyak yang belum mereka katakan … dan terlalu banyak yang sedang mereka pertaruhkan.Akhirnya, Rai
Last Updated : 2025-06-12 Read more