Semua Bab Tergoda Pesona Ibu Mertua: Bab 21 - Bab 30

Hari ini pekerjaan di kantor lancar tidak ada halangan apapun. Akhirnya jam pulang kerja tiba. Namun, saat aku baru berjalan ke arah parkiran, Liana kembali muncul.“Raka, mau pulang bareng sama kamu, boleh gak?” tanya Liana dengan antusias.Aku baru ingin menjawab, tapi ponselku berbunyi.Pesan dari Tiara.[Mas, pulang cepat ya. Aku kangen, ingin makan malam bersama. Kita rayakan kepulanganku.]Aku membaca pesan itu, lalu tersenyum sinis.Kangen? Merayakan?Muak sekali dengan kepura-puraannya, tetapi aku tetap membalas seadanya.[Iya, ini mau pulang.]Kemudian, aku kembali menatap Liana.“Maaf, Li, aku harus pulang cepet,” tolakku lansung.“Setelah sampai rumahku, kamu bisa langsung pulang, kok,” kata Liana lagi, masih berusaha merayu.“Gak bisa, Li. Tiara udah nunggu aku di rumah,” jawabku sambil tersenyum tipis.“Oh, dia udah pulang ya?” Wajah Liana tampak berubah menjadi lebih dingin. “Ya udah deh kalau gitu.”Setelah Liana pergi, aku langsung memacu motorku ke arah rumah.Aku sam

Saat Liana pergi, Tiara berbicara, “Liana dari dulu nggak berubah, ya.”“Nggak berubah gimana maksudnya, Ti?” tanyaku, tidak begitu paham dengan maksud Tiara.“Agresifnya itu loh, Mas,” jawabnya dengan nada ketus.Aku menjawab dengan santai, “Biasa aja kok. Dia kan memang begitu orangnya.”“Apa jangan-jangan, perempuan-perempuan di kantormu kayak gitu semua ya? Mereka suka deketin kamu ya?” tanyanya dengan tatapan menyelidik.Aku tersenyum tipis. Dia yang berselingkuh, tapi kenapa aku yang dicurigai dekat dengan perempuan lain?“Teman kantorku gak kayak gitu,” jawabku dengan santai.Namun, aku bisa melihat ekspresi Tiara yang menunjukkan kekesalan. Jelas, dia pasti akan marah sekarang.Karena tidak ingin menambah masalah lagi karena kemarahan Tiara, aku berusaha mengalihkan perhatiannya. “Udah ah, daripada bahas itu, mending kita keliling lagi.”Akhirnya, Tiara berjalan menuju salah satu butik dan melihat beberapa koleksi di sana. Aku hanya membiarkannya saja, selama dia tidak marah,

Keesokan paginya, kami sarapan bersama. Namun, Nayla tampak sedikit berbeda. Matanya beberapa kali melirik ke arahku. Gerakannya juga terlihat lebih gugup.“Kamu kenapa, Nay?” tanyaku langsung.“Eh? Nggak apa-apa kok, Bang,” jawab Nayla sambil menundukkan kepalanya dan menyuap sedikit nasi.“Kamu sakit, Nay? Kok agak pucat gitu?” timpal Tiara yang juga menyadari perbedaan Nayla.“Nayla kamu demam? Atau pusing? Atau kenapa?” tanya Mama Siska yang tampak ikut panik.“Aku nggak ap–”Belum sempat Nayla selesai bicara, aku sudah lebih menempelkan punggung tanganku ke keningnya, dan Nayla langsung terdiam.“Agak hangat, kamu istirahat aja, Nay. Hari ini ada kuliah gak?” tanyaku pada Nayla.Nayla mengangguk pelan, tapi wajahnya justru tampak sedikit memerah. “Ada nanti siang.”“Ya sudah, setelah sarapan kamu istirahat lagi ya, Nayla,” kata Mama Siska yang tampak cukup khawatir.Setelah itu, kami kembali sarapan. Suasana sempat terasa kaku, tapi Mama Siska berusaha mencairkannya.“Raka, kamu

Sore itu, setelah selesai bekerja, aku langsung pulang ke rumah. Langit masih terang meski matahari mulai turun. Aku membuka pintu depan seperti biasa, tapi yang menyambutku bukan suasana tenang, melainkan suara ramai dan tawa-tawa kecil.Begitu masuk, aku langsung tertegun.Ada sekitar lima gadis muda duduk di ruang tengah. Mereka mengelilingi meja rendah yang penuh dengan laptop, catatan, dan camilan. Beberapa langsung menoleh saat aku masuk, dan aku bisa melihat tatapan mereka langsung berubah. Beberapa saling menyikut pelan, yang lain hanya menahan senyum.Di antara mereka, Nayla tersenyum tipis. “Eh, Bang Raka sudah pulang?”Aku mengangguk pelan, masih sedikit bingung. “Iya. Ini... lagi ada apa nih?”Seorang gadis berkacamata langsung berbisik ke temannya, cukup keras hingga bisa kudengar, “Astaga, itu kakak iparnya Nayla? Ganteng banget, sumpah...”Yang lain menambahkan sambil tertawa pelan, “Pantes aja, Nayla jarang bahas cowok. Di rumah udah ada pemandangan!”Aku tersenyum kec

Langit malam dipenuhi cahaya lampu dari ballroom hotel bintang lima tempat pesta berlangsung. Musik klasik mengalun lembut di balik denting gelas dan bisik-bisik para tamu berdasi.Alicia menggandengku masuk, gaun merahnya menyita perhatian seisi ruangan. Tapi bukan hanya dia, karena semua mata juga tertuju padaku. Tak sedikit yang berbisik-bisik, sebagian karena penasaran, sebagian lagi mungkin karena tak tahu siapa aku sebenarnya.Beberapa menit setelah kami masuk, seorang MC berdiri di tengah ruangan dan mengetuk mikrofon, meminta perhatian. Musik dipelankan, para tamu mulai diam."Selamat malam, hadirin yang terhormat. Malam ini kita merayakan tonggak baru dalam dunia kreatif digital dan media, dengan peresmian perusahaan baru dari sosok luar biasa yang tak asing lagi bagi kita semua. Mari kita sambut, Alicia Rinova!"Alicia melepaskan lenganku sebentar dan berjalan ke podium. Ia berdiri anggun di bawah cahaya lampu sorot, wajahnya memancarkan kepercayaan diri."Terima kasih atas